Stunting “Otak” Anak, Alarm Kencang Lost Generation
TRANSINDONESIA.co | Sengaja meluangkan waktu dan akal, saya menghadiri “audiensi seminar” ikhwal profil sumberdaya manusia Indonesia –yang mengubak bahaya stunting anak bangsa.
“Daripada hanya audiensi, kita boboti dengan seminar data”, sebut penggagas acara dr.Abidinsyah Siregar yang Ketua Umum IHO, Indonesia Health Observer, Kamis, (13/7) di gedung Rektorat Universitas YARSI, Jakarta.
Menurut takwil KBBI, ‘abidin’ artinya orang-orang yang taat bekerja-mengabdi. ‘Syah’, bahasa Persia, artinya pemimpin/ raja. Shah Iran terakhir Reza Fahlevi digulingkan dalam revolusi Iran, 11 Februari 1979
Kami menikmati “gizi” data dan narasi pakar –yang sebenarnya pakar. Dengan menghadirkan data dan analisa tajam dari Prof Dr.Fasli Jalal, Sp.GK., Ph.D, yang kini Rektor Universitas YARSI. Juga, Dr. Ir. Dida Salya, MA., dan Dr.Wendi Hartanto, MA.
Temanya menarik, membaca profil besar human capital Indonesia, resiko bonus demografi, dan mengubak detail solusinya. Itu ikhwal krusial cita & citra orang Indonesia di era 2045: Human Capital Index Indonesia.
Majelis diskusi pun menyorotkan mata pada slide data prevalensi stunting anak yang angkanya masih tinggi: 21,6% (tahun 2022). Sedikit turun dari 24,4% (2021). Jangan gembira dulu. Angka itu masih jauh dari target RPJMN: 14% (2024). Target itu berat, dan beresiko gagal seperti diingatkan Kepala BAPPENAS. “..program stunting itu mestinya juga menjadi perhatian daerah, sekarang kita sama-sama targetnya harus 14%”, kata Menteri Suharso Monoarfa seperti diliput detiknews, (6/6). Kuatir juga tersirat dalam roma-roma narasi diskusi.
Walau jago dalam disain program –yang menghasilkan “kertas” dokumen teknokratis sangat bagus– namun eksekusi masih kurus. Bagus dalam presentasi, lemah dalam eksekusi. Ada gap lebar antara: Coverage versus Complience. Begitu istilah Prof Fasli Jalal curcol di depan peserta, sembari mengubak data dan pengalaman pakar gizi itu mengemas instrumen PUGS: Pedoman Umum Gizi Seimbang. Yang menggantikan 4 Sehat 5 Sempurna.
Ohya, interupsi sebentar. Apa penjelasan gamblang dari stunting? Kekira, anak stunting bukan sekadar fisik yang kerdil, tetapi lebih kepada kapasitas bertumbuh otak anak yang mengecil. Akibatnya, sang anak hanya sanggup sedikit mencerna, dan sulit berpikir abstrak dan kempis daya analitika.
Menurut data, dampak stunting itu dahsyat kepada Human Capital Index Indonesia. Dipaparkan: Lima (5) juta anak Indonesia kehilangan IQ 10-15 poin. Terlambat masuk sekolah & prestasi akademis lebih buruk. Anak kehilangan 1% tinggi badan & kelak 1,4% produktifitas.
Yth.Pemerintah, Indonesia kehilangan potensi GDP 2-3%; itu buruk! Pun, stunting menjadi kausal kemiskinan antar generasi semangkin memburuk.
Prevalensi stunting anak Indonesia tertinggi kelima di dunia. India (48%) dipuncaknya. Di ASEAN, ya bisa diterka negara mana. Narasinya, 1 dari 3 anak balita Indonesia, adalah stunting. Ngerih!
Mencerna data dan analitika terhadap kengerian yang bukan lagi baru itu, dalam diam saya sedikit berpikir dan lebih bayak kuatir. Jangan sampai adanya generasi anak yang tersisih, dan selanjutnya hilang, lesap peran.
Resume personal saya usai menyesap paparan dan tanggapan interaktif berdurasi 2,5 jam itu, bahwa: potensi sumber daya insani turun nilai, walau jumlah membesar, bukan malah menikmati “rizki” bonus demografi, namun beban. Tersebab itu, perlu kebijakan “lindung nilai” otak anak bangsa.
Gerakan sayangi otak anak Indonesia, itu kebijakan mutlak. Jika tidak, anak-anak bangsa pasti kalah telak, apalagi dalam kompetisi liberal di era digital.
Pas jam 16. Audiensi seminar usai. Kengerian stunting anak belum usai. Ketika momen foto bersama saya menyalami dan berujar perlahan ke Prof Fasli Jalal, “perlu transformasi mutlak tata kelola (memerangi stunting)”. Pak Fasli Jalal yang teduh, seperti biasa, melemparkan senyum penuh makna. Saya membatin, combating stunting harus prioritas utama dan gerakannya kudu lebih kencang lagi dalam RPJPN 2025-2045, yang drafnya tengah difinalisasi. Istilah ‘combat’ itu bukan asal-asalan, karena dibunyikan dalam Pasal 24 ayat (2) Konvensi PBB tentang Hak Anak (UN’s Convention on the Rights of the Child) 1989. Negara Indonesia sudah lama meratifikasi (1990).
Waspadalah. Gagal menurunkan prevalensi stunting pada anak, bisa pemicu masalah ketahanan bangsa, dan goyahnya pilar negara kesejahteraan (wobly pillar of welfare state). Apalagi derap penetrasi liberalisasi di sini cenderung bergerak taktis dan frontal. Tanpa tedeng aling-aling kepada substansi kebijakan sosial pro-poor, maupun politik anggaran pro-subsidi rakyat alias mandatory spending.
Apalagi jika sama sekali tanpa proteksi kepada bumi putera. Mudahnya masuknya orang asing bekerja, dengan visa kunjungan sembari kerja. Jika tanpa kebijakan dan aksi affirmatif dalam skala besar dan omnibus. Tanpa subsidi dan tidak pro-poor.
Kurangnya pemihakan kepada masyarakat yang kurang beruntung, maka orang Indonesia yang kena stunting paling merana.
Apalagi tanpa mandatory spending, seperti (R)UU Kesehatan ombibus law yang kontroversial, walau dikemas dengan “abc-xyz” alasan-alasan transformasi. Namun, agenda yang “itu ntu”, harus jalan.
Kembali ke soal stunting. Jangan lengah duhai Pemerintah. Patuhi lah Pancasila dan UUD 1945.
Indonesia jangan kalah dari tekanan agenda liberalisasi subsider komersialisasi pendidikan pun kesehatan. Patuhi lah amanat mulia Pembukaan UUD 1945: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Agar kepercayaan (trust) rakyat tidak habis-kikis, itu berbahaya.Begitu nasihat Confusius.
Ayo kita gulingkan stunting. Perangi pemiskinan human capital. Cerdaskan kehidupan bangsa –secara revolusioner. Itu bukan narasi asal. Sebab Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dilakukan “setjara revolusioner” kata Bung Hatta dalam bukunya ‘Sekitar Proklamasi’ (1970).
Besarkan prestasi otak anak Indonesia. Itu mutlak. Juga, mulia dan berpahala. Anak-anak berotak besar kini, calon “syah” pemimpin besar bangsa ini, nanti.
Ingat perintah Tuhan YME dalam Al Qur’an, jangan kalian tinggalkan generasi yang lemah. Cegah stunting itu penting! Tuhan dan semesta meng-observer perilaku kebijakan negara. Buatlah semacam: omnibus policy on combating stunting, yang disusun terbuka. Jangan abaikan meaningfull participation. Itu bisa masuk cacat formil.
“Kita gerakkan aksi combating stunting dalam kalimat positif, bang”, bisik saya. “Sayangi Otak Anak Indonesia”, begitu bisik kedua beta kepada Ketua Umum IHO di gerbang dalam kampus YARSI. “Disingkat SOAI, buatlah TOR-nya”, ujar dr.Abidinsyah Siregar menyambar ligat narasi spontan itu.
Epilog esai ini: Negara besar adalah negara yang menghargai otak anak bangsa. Yang tak mewariskan generasi lemah. Jika tidak, anak-anak yang hidup dengan stunting menjadi the Lost Generation.
Pulang acara, saya disambar bunyi alarm imajiner. Terngiang data dan analisa resiko stunting tadi, bagaikan kabar-kabar kengerian resiko stunting nasional. Jika prevalensi stunting tak turun, dan bisa menjadi resiko struktural tak terentaskan, maka siklus genetis anak dengan stunting pun berlanjut. Ngerih.
Ayo gulingkan stunting secara revolusioner. Saatnya, orang-orang yang bertaraf ‘abidin’ meluangkan waktu dan akal, tabah berjuang menyokong perubahan dan perbaikan, bukan untuk cuan. Untuk merah putih negara kesejahteraan Indonesia raya, ayok combating stunting.
Tabik. (Muhammad Joni, Advokat Pro Kesehatan Rakyat)