TRANSINDONESIA.co | Oleh: Chrysnanda Dwilaksana
Peradaban itu apa? Itu abstrak sulit ditunjukan. Peradaban secara pragmatis dspat ditunjukan adanya keteraturan sosial yang ditandai dengan tidak adanya premanisme, adanya keamanan dan rasa aman warga masyarakat serta semakin manusiawinya manusia. Hukum dipatuhi dan dapat ditegakan sebagaimana seharusnya.
Keteraturan sosial menunjukan pada pembelaan akan manusia dan kemanusiannya serta mendukung produktifitas. Premanisme merusak peradaban karena di dalam memperebutkan sumberdaya dan pendistribusiannya akan menggunakan anarkisme. Merusak, membunuh, mengancam, menakut nakuti, mengeroyok ala gerombolan dsb. Perebutan sumberdaya dan pendistribusian sumber daya akan menjadi potensi konflik. Tatkala hukum dan peraturan perundang undangan tebang pilih apalagi dipermainkan maka pepercayaan publik akan menguap perlahan. Mulai muncul issue ketidak adilan, labeling dan tatkala sudah sampai pada puncaknya yaitu kebencian maka akan mudah tersulut terjadinya kejahatan. Biasanya dapat dimulai dengan konflik pribadi dan ditunggangkan pada primordialisme maka akan mendapatkan legitimasi dan solidaritas.
Dalam konflik sosial yang lemah atau yang dianggap sebagai biang keladi akan dijadikan kambing hitam. Pembenaran mengalahkan kebenaran. ” asu gede menang kerah e”. Mereka tidak lagi mempedulikan efek atau dampaknya yang penting menang senang dan moralitas, religiusitas, rasionalitas hilang kerasukan ” pokok e yang memaksakan walau isinya pekok e “. Hukum dan aparatur serta perangkatnya yang dianggap sebagai simbol peradaban tidak lagi dianggap. Merusak, menyerang simbol hukum maupun aparat penegak hukum dengan tindakan anarkis merupakan suatu kebiadaban yang melecehkan hukum dan menginjak injak peradaban. Kekerasan secara apapun entah fisik, simbolik, verbal akanbberdampak pada kejahatan dan tidak menyelesaikan masalah.
Di era poat truth, media menjadi arena menyebarkan hoax, mengobok obok opini publik. Fenomena dikemas dengan berbagai pembenaran dan diviralkan dianggap sebagai kebenaran. Issu, labeling hingga kebencian ditaburkan dan menunggu waktu tepat meledakannya. Di dalam masyarakat yang majemuk konflik sangat mudah disulut dengan primordialisme, loyalitas es prit de corps dsb karena merasa senasib sepenanggungan, di situ lemah rasionalitasnya dan mengandalkan emosional dan spiritual. Anarkisme tatkala menjadi pilihan menyelesaikan konflik menunjukan kelemahan atau ketidak mampuan berdialog.
Dialog peradaban menjadi bagian penting dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyelesaikan konflik secara beradab. Tatkala hukum tidak lagi dianggap panglima maka sejatinya premanisme anarkisme menjadi suatu pembenaran dalam menyelesaikan konflik yang dampaknya luas yang bisa meluluhlantakan sendi sendi kehidupan tentu saja kontra produktif dan rakyat lagi lagi menjadi korban. Gajah demgan gajah entah bercinta entah berkelahi entah berjalan tetap saja rumput yang terinjak injak.**
Fajar Tegal Parang 270423