Pemimpin dan Reformasi Kultural

TRANSINDONESIA.co | “Keberadaan polisi menjadi bagian dari masyarakat yang dilayaninya. Keberadaannya diterima dan mendapatkan dukungan dari masyarakat”

Prof Satjipto Rahardjo mengatakan : ” polisi yang baik adalah polisi yang cocok dengan masyarakatnya “. Keberadaan polisi dalam masyarakat adalah sebagai sahabat (mitra). Keberadaan polisi dalam masyarakat berfungsi memberikan pelayanan, perlindungan dan pengayoman. Polisi menjadi tempat bertanya, berkomunikasi, berdiskusi untuk mencari akar masalah, dan menemukan solusi yang tepat dan dapat diterima semua pihak. Keberadaan polisi sebagai mitra masyarakat menjadi simbol keutamaanya : kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Yang ditunjukkan dalam keamanan dan rasa aman, ketertiban, keteraturan, keselamatan yang menjadi coproducer. Hal ini dapat dimaknai bahwa kerja polisi dalam pemolisiannya adalah mendukung produktifitas masyarakat. Dalam masyarakat yang demokratis dituntut adanya produktifitas ubtuk dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam proses produktifitas tersebut ada ancaman, hambatan bahkan gangguan yang dapat menghambat, merusak bahkan mematikan produktifitas. Untuk melindungi dan mendukung masyarakat yang produktif diperlukan adanya aturan, nilai nilai, etika, moral dan hukum. Untuk mengajak masyarakat mentaati dan menegakannya diperlukan institusi yang menanganinya. Salah satunya adalah polisi.
Dari semua konsep tadi dapat dipahami bahwa polisi dalam pemolisiannya demi semikin manusiawinya manusia. Karena sumber daya manusia adalah aset utama bangsa. Demikian juga bagi kepolisian.

Modernisasi polisi dalam pemolisiannya menunjukkan dinamika polisi atad perubahan yang begitu cepat. Di era kenormalan baru diperlukan adanya harmoni antara model pemolisian yang konvensional dengan pemolisian yang kontemporer ( electronic policing maupun forensic policing ). Polisi bekerja dengan tulus dan bereaksi dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.

Kebudayaan dapat dipahami sebagai cetak biru (blueprint) yang dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan sebuah masyarakat dalam menghadapi Iingkungan hidupnya dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang terkandung di dalamnya bagi pemenuhan kebutuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Operasionalisasi dari kebudayaan itu dalam kehidupan sehari-hari berlangsung melalui dan di dalam pranata-pranata yang ada dalam masyarakat. Kita memahami bahwa pranata-pranata tersebut berada dalam suatu hubungan saling terkait yang menyeluruh.
Kebudayaan juga dimiliki oleh organisasi, termasuk organisasi kepolisian. Maka, untuk memahami bahwa keberadaan konsep polisi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom, pelayan masyarakat, serta aparat penegak hukum dalam kebudayaan suatu organisasi, hal itu ditentukan oleh relevan atau tidaknya konsep tersebut bagi institusi kepolisian dalam pemolisiannya. Relevan atau tidaknya konsep konsep tersebut tercermin dari pikiran, perkataan dan perbuatan dalam melayani masyarakat.

Polisi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom, pelayan masyarakat dan sebagai aparat penegak hukum dan keadilan. Reformasi kultural dalam institusi kepolisian sejatinya sebagai upaya agar kebudayaan yang ideal dapat dikatakan relevan dengan yang aktual. Walaupun dalam kenyataannya atau implementasinya, budaya pemolisianya antara yang idel dengan yang aktual bisa tidak sama bahkan bertentangan.
Dengan demikian, reformasi birokrasi secara kultur agar yang kebudayaan yang ideal dan aktual sejalan dan tidak terjadi gap yang jauh setidaknya dapat dilakukan dengan :
1. Melihat tingkat profesionalisme sebagai bagian integral dari kebudayaan atau cetak biru yang menjadi pedoman bagi para petugas polisi dalam menyelenggarakan tugasnya dari pangkat yang terendah sampai yang tertinggi.
2. Mendorong terciptanya institusi yang rasional fungsi dengan menekankan pada profesionalisme dan pendekatan kinerja yang kompetitif serta dengan pendekatan yang inpersonal. Berbasis pada SOP untuk menghindarkan dari kepentingan-kepentingan perorangan atau kelompok.
3. Melakukan transformasi budaya dalam organisasi kepolisian adalah bertahap yaitu tahap mengetahui, tahap memahami, tahap memanfaatkan, dan tahap mengembangkan. Suatu transformasi memerlukan proses, komitmen, dan sikap konsisten dengan integritas yang tinggi.

Proses reformasi kulturan bukanlah hal mudah. Diperlukan pemimpin dengan kepemimpinan secara konsisten, terpadu dan berkesinambungan.
Kebudayaan yang ideal yang merupakan pedoman untuk pengorganisasian dan bagi berbagai kebijakan dan penerapannya secara internal maupun secara eksternal yang terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan pemolisiannya.

Kebudayaan kepolisian merupakan pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang mereka punyai sebagai petugas, sebagai fungsi maupun institusi kepolisian mengenai diri mereka, baik secara perorangan maupun secara kolektif, dan mengenai bagaimana menyesuaikan dengan lingkungan kepolisian dimana mereka hidup dan dan bertugas. Di dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungannya beserta isinya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai polisi dalam kegiatan-kegiatan pemolisian, ataupun dalam berbagai tindakan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup secara biologi, sosial, dan adab sebagai manusia.

Dengan demikian untuk menyelaraskan antara yang ideal dengan yang aktual, langkah pertama dan utama hendaknya dilandasi dengan edukasi untuk membangun pengertian, membangun logika maupun cara-cara pendekatan kinerja yang rasional dengan pendekatan yang inpersonal. Tanpa pemahaman tidak mungkin dilakukan perubahan, dan sikap resisten untuk mempertahankan status quo akan besar dan kuat. Pengertian-pengertian tersebut harus banyak dan mudah didapat serta menjadi isu yang teru menerus tumbuh dan berkembang di semua lapisan, hal ini membutuhkan sikap dan kepedulian pemimpinnya. Pemimpin sebagai kepala yang mempelopori dan menjadi penjuru.
Pemimpin dalam Reformasi Kultural menjadi soko guru yang menginspirasi untuk melakukan suatu perubahan. Pada tahap awal reformasi kultural, figur pemimpin yang bijaksana adalah model yang akan mampu membawa perbaikan atau menuju kebaikan. Bagaimana dengan pimpinan yang masih berorientasi pada kekuasaan, jaim, ditakuti? Pemimpin yang demikian akan otoriter, kebijakannya biasanya cenderung cari selamat sendiri. Dapat dipastikan suasana kerja tidak nyaman, tidak kompetitif, yang ada hanya ketakutan dan tentu yang terjadi adalah kepura-puraan (supervisial) dan sikap asal bapak senang (ABS).
Pemimpin yang transformatif akan membangun hubungan stimulasi timbal-balik dan elevasi yang membuka kemungkinan bagi anak buahnya untuk bekerja dengan baik dan benar. Pemimpin yang transformatif mampu menjadi moral agent bagi kemajuan dan perbaikan organisasi yang dipimpinnya. Konsep moral kepemimpinan tersebut mengasumsikan pada tiga hal mendasar yaitu :
1. Pemimpin dan yang dipimpin tidak semata-mata dipertautkan oleh hubungan kekuasaan, tetapi oleh visi, misi, kebutuhan, aspirasi dan nilai dari kedua belah pihak pada tujuan bersama.
2. Dalam merespon seorang pemimpin, memiliki pengetahuan yang memadai mengenai berbagai alternatif memimpin dan program yang ada. Juga memiliki kapasitas untuk memilih di antara alternatif-alternatif yang tersedia. Oleh karena itu, pemimpin bertanggung jawab atas komitmennya. Jika seorang pemimpin menjanjikan sesuatu pada para pengikutnya, maka ia wajib bertanggung jawab untuk mewujudkannya.
3. Moralitas dari pemimpin. Tatkala kita sabar mendengar, maka akan dengan mudah kita menangkap suara sayup-sayup di tengah anak buahnya atau masyarakat kita tentang citra pemimpin atau moralitas dari pemimpin. Seorang pemimpin dihormati bukan karena kepandaiannya, bukan karena pangkatnya, bukan karena kekayaannya, bukan pula karena pendidikannya, tetapi karena moralnya.

Konsep kepemimpinan tersebut dapat dikatakan pemimpin yang transformatif yaitu moralitasnya sebagaj landasan reformasi kultural. Tanpa moralitas maka yang ada hanya ketakutan, ketaatan semu dan penuh kepura-puraan, tipu-tipu dengan make up yang tebal untuk memoles dan menutupi kebusukan dan kebobrokan yang ada.

Moral pemimpin dalam kepemimpinannya senantiasa tumbuh dan akan kembali pada visi, dan nilai-nilai yang fundamental keutamaan dari organisasi yang dipimpinnya. Dengan demikian legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi moral.

Kepemimpinan yang transformasional menunjuk pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para anggotanya maupun masyarakat untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Teori transformasional mempelajari juga bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasional.
Secara konseptual, kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian, suatu proses transformasional terjadi manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi, serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama yakni kepentingan organisasi.
Pemimpin transformasional berupaya melakukan transforming of visionary menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan plus pemimpin) bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan, seperti attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration. Secara ringkas perilaku dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Attributed charisma. Pemimpin yang memiliki ciri ini memperlihatkan visi, kemampuan, keahlian, serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain (masyarakat), daripada kepentingan pribadi. Oleh karena itu, pemimpin kharismatik bersedia dan rela berkorban atau berkorban lebih banyak dibanding orang-orang yang dipimpinnya. Dia dapat dijadikan suri tauladan, idola, dan model panutan oleh bawahannya.

2. Idealized influence. Pemimpin ini berupaya mempengaruhi bawahannya melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang dibuat. Ia memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya. Dia berprinsip: berani karena benar. Legitimasi kepemimpinannya adalah legitimasi moral.

3. Inspirational motivation. Pemimpin ini bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi peran untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan, memberi visi mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan yang jelas dan transparan.

4. Intelectual stimulation. Pemimpin ini mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja serta mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pimpinan menerima dan mendukung bawahan untuk menilai cara-cara kerja lama, menguji coba cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugas, dan memantapkan cara-cara kerja baru yang teruji mempercepat tugas-tugas dan mampu mewujudkan polisi sebagai organisasi pembelajar (learning organization) yaitu mampu menggeser kekuatan oot menjadi kekuatan otak.

5. Individualized consideration. Pimpinan ini mampu memanusiakan manusia lainnya, bersedia dan mampu mengangkat harkat dan martabat manusia. Dia memperlakukan bawahannya sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli dan kreativitas mereka terhadap organisasi. Bawahan tidak hanya sebagai obyek yang dimarah dan diperintah, tetapi sebagai pribadi yang utuh untuk mampu berperan dan berpartisipasi dalam organisasi dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Kelima ciri kepemimpinan tersebut dapat menjadi inspirasi untuk membangun model pemimpin Polri yang tidak hanya memperbaiki kinerja saja, tetapi juga mampu memperbaiki citra dan menumbuhkembangkan kepercayaan masarakat, dengan tujuan supaya keberadaan polisi menumbuhkan rasa aman, menyenangkan, dan bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini berarti seorang pimpinan polisi harus mempunyai pengetahuan yang luas dan bukan hanya sebagai praktisi saja, tetapi juga sebagai ilmuwan.
Dalam organisasi Polri dapat meneladani Jenderal Polisi (Purn) Prof. Awaloedin Djamin. Beliau mempunyai keberanian dan nyali yang tinggi untuk berbuat kebaikan dan melakukan perbaikan sebagai bagian yang dituntut untuk terus berinovasi mengembangkan wawasannya polisi. Polisi dapat bercermin pada figur Jenderal Polisi (Purn) Dibyo Widodo. Beliau berhati nurani yaitu bukan orang yang egois, bukan cari selamat sendiri (safety player), tidak serakah dan tentu humanis dan tidak korup. Teladan yang bisa kita banggakan selanjutnya adalah Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso.
Mungkinkah tiga pribadi Awaloedin, Dibyo Widodo, dan Hoegeng Imam Santoso ada dalam satu pribadi pimpinan? Prof Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa : ” polisi bekerja berdasarkan Otak, Otot dan Hati Nurani (O2H) dalam pemolisiannya”. Ketiga karakter itu merupakan suatu model analogi dalam membangun suatu sistem yang saling mempengaruhi dan saling mendukung untuk mewujudkan visi organisasi tersebut dan terjadi suatu transformasi kepolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai pelindung, pengayom, pelayan masyarakat, aparat penegak hukum dan keadilan.

Budaya polisi berwatak Sipil dan demokratis maka polisi mau tidak mau harus mencermati : supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan HAM, transparan, akuntabel, berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan adanya pengawasan serta pembatasan kewenangan pokisi.

Profesor Parsudi Suparlan mengatakan dalam tulisan “Kebudayaan Polri: Struktur dan Anti Struktur” (Ilmu Kepolisian, Jakarta: YPKIK, 2008), menjelaskan bahwa:
Diantara ciri-ciri kebudayaan Polri yang merupakan perpaduan antara kebudayaan militer dan kebudayaan polisi yang universal adalah organisasinya yang dibangun dengan jenjang kekuasaan dan kewenangan yang terpusat, seperti sebuah piramida, dan pesan-pesan melalui komunikasi satu arah dari atas ke bawah dan dari pusat ke daerah-daerah seperti sistem administrasi kekuasaan teritorial militer dari TNI di Indonesia. Pengorganisasian administrasi melalui jalur komando dan koordinasi dengan rentang kendali yang ketat, mantapnya jenjang kepangkatan dan kewenangan kekuasaan yang ketat batas-batasnya, keharusan taat pada disiplin tinggi, dan ketaatan pada atasan yang mirip dengan model birokrasi tradisional Max Weber yang bercorak paternalistik atau feodalistik.
Parsudi Suparlan menegaskan bahwa budaya polisi dan kepemimpinannya dipengaruhi watak militeritik dan budaya paternalistik atau feudal. Bagaimana dampak budaya demikian dengan polisi secara umum? Parsudi Suparlan menjelaskan:
Para petugas polisi yang bertugas di lapangan terbiasa untuk menggunakan kewenangan diskresi dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Yang mereka lakukan adalah hukum tindakan, bukan hukum sebagaimana yang tertera di buku. Mereka adalah kelompok bawahan yang terbiasa mengemban dan menjalankan perintah atasan, yang langsung berhadapan dengan dunia nyata dengan segala bentuk kejahatan dengan ancaman bahaya yang harus mereka tanggung, dan berbagai bentuk penghinaan yang mencoreng kehormatan mereka. Mereka mengembangkan kebudayaan praktis, yang berkembang dan mantap sebagai kebudayaan okupasi mereka sebagai polisi. Kebudayaan tersebut membedakan diri mereka dari atasan (para manager). Mereka melihat atasan hanya sebagai memberi perintah dan menerima hasil bersih dari jerih payah mereka. Mereka juga merasakan hampir tidak pernah merasa mendapat penghargaan dan pujian untuk membangkitkan kebanggaan sebagai polisi. Yang ada hanya perintah dan marah serta mengancam.
Berdasarkan dua pandangan di atas, para petugas di lapangan mempunyai kebudayaan polisi yang berbeda dari kebudayaan dari para manager atau atasannya. Para petugas di lapangan mengembangkan sendiri dan berupaya mencari hal yang parktis. Mereka tidak ingin memikirkan tujuan jangka panjang. Hal yang ada dalam benaknya adalah yang penting melaksanakan tugas, tidak ditegur, atau tidak dimarah, cukuplah sudah.

YB. Mangun Wijaya (Romo Mangun), Menuju Indonesia Serba Baru, Jakarta: Gramedia, 1998; pernah menyatakan: “Pada Pendidikan lah tergantung masa depan bangsa”.
Apakah masa depan Polri juga ditentukan dari pendidikan anggotanya? Jawabannya ya, segala sesuatu ada karena dimengerti. Dr. Budi W. Sucipto mengatakan: ”Bagaimana mau menjadi polisi sipil kalau polisinya tidak pernah belajar di lingkungan sipil?”. Kalau kita lihat dan amati Polri sering terjebak hanya untuk kepentingan sesaat, seremonial, cepat, praktis, cash and carry. Hal yang dibangun hanya kulit-kulitnya alias ganti cashing. Lebih senang membangun yang ada di luar kepala, dibanding yang ada dalam kepala.
Saya teringat kata-kata Tumpak Panggabean (mantan wakil ketua KPK) yang mengatakan kita ini masih menganut sistem Pinter Goblok Penghasilan Sama (PGPS). Ada lagi istilah orang pintar kalah dengan orang yang pintar-pintar (licik atau orang yang pandai menjilat). Jelas tidak ada kompetensi yang dapat dianut, sikap apatis, masa bodoh,cari selamat, ABS akan terus tumbuh dan berkembang.

Profesor Parsudi Suparlan pernah memberi nasehat kepada saya: ”Kalau saudara mau tetap eksis, saudara harus mampu menggeser kekuatan otot menjadi kekuatan otak”. Saya pikir nasehat tadi dapat juga berlaku bagi organisasi Polri, bila ingin profesional, cerdas, bermoral, dan dapat diunggulkan juga harus mampu menggeser nilai-nilai kebanggaannya atau setidaknya mau mengapresiasi pada kemampuan otak atau pemikiran-pemikiran untuk mencerdaskan anggotanya. Atau setidaknya memberi ruang dan penghargaan bagi karya intelektual yang mendukung penyelenggaraan tugas Polri, baik internal maupu eksternal. Berarti para pimpinan tidak lagi mengganggap anggotanya sebagai kelas rendahan atau kelompok pesuruh.
Tulang punggung kepolisian adalah pada tingkat petugas pelaksana di lapangan atau kelompok bintara. Kalau kita cermati, terdapat anggota bintara yang sejak lulus Sekolah Polisi Negara (SPN) sampai pensiun tidak pernah mengikuti pendidikan sama sekali. Kita bandingkan dengan kelompok manajer atau kelompok perwira yang terus sekolah bahkan untuk level tinggi pun masih ada sekolahnya.

Transformasi budaya merupakan bagian yang utama dan pertama dalam membangun kepolisian yang profesional, cerdas, bermoral, dan modern dalam masyarakat yang demokratis. Dasar atau pilar utamanya antara lain adalah pemimpin dengan kepemimpinannya yang kebijakannya bijaksana yang setidaknya mencakup pembinaan sumber daya manusia (SDM). Pembinaan SDM ini wajib berdasar kompetensi, serta berbagai pedoman atau petunjuk tertulis, yang dapat dijadikan panduan atau setidaknya dapat menginspirasi dalam penyelenggraan tugas polisi baik tingkat manajemen maupun tingkat operasional.
Dalam memantapkan reformasi kultural dan transformasinya.

Para pemimpin polisi dituntut untuk :
1. Berwawasan luas untuk memajukan organisasi Polri jauh ke masa depan dan mampu menjadikan unggulan atau dapat diunggulkan
2. Mempunyai nyali dan keberanian berkorban (bukan safety player) untuk berbuat baik dan melakukan perbaikan
3. Berhati nurani karena menyadari dan sadar jabatan adalah amanah, bukan kekuasaan atau alat untuk mencari keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu. Jabatan harus membawa berkah bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, karena polisi adalah kumpulan orang baik, dan keberadaanya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Melakukan transformasi juga setidaknya dilandasi pendidikan atau pemahaman, dengan prinsip: “segala sesuatu ada karena dimingerti”. Mungkinkah melakukan transformasi tanpa pengertian dan kesadaran? Kalaupun pun mungkin, pasti karena terpaksa atau ketakutan. Tatkala yang memaksa dan yang menakut-nakuti menghilang, maka akan kembali seperti yang dulu.
Tahapan melakukan transformasi setidaknya adalah melalui: tahap mengetahui; tahap memahami; tahap dapat memanfaatkan; dan tahap mengembangkan. Selain itu, sistem komunikasi yang kaku (formal) dan top-down mulai digeser atau diimbangi dengan komunikasi non-formal dan juga bottom-up . Implementasi transformasi budaya bukan semudah membalik tangan, tetapi memerlukan proses panjang dan sistem terpadu dan berkesinambungan. Menjadi pelindung, pengayom, pelayanan masyarakat, dan penegak hukum yang profesional, maka Polri harus mampu menggunakan otot, otak dan hati nuraninya, dan lebih maju dari masyarakatnya, atau setidaknya satu langkah lebih maju dari masyarakat yang dilayaninya.**

 

 

Chrysnanda Dwilaksana

Puasa hari pertama 230323

Share