Dilema Penanganan Fakir Miskin (Part of “Robohnya Pilar Pembangunan Kessos”)
TRANSINDONESIA.co | Perintah UU Dasar 1945, sudah sangatlah jelas terkait keberpihakan Negara Republik Indonesia untuk mengatasi persoalan fakir miskin di Indonesia.
Kebijakan negara itu harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara. Mulai dari Presiden sampai dengan pembantunya (para menteri).
Salah satu kebijakan negara dimaksud tercantum dalam pasal 34 ayat 1, 2, 3 dan 4. Pada ayat 1, dikeluarkan UU untuk mengatur bagaimana dan siapa perangkat penyelenggara negara untuk melaksanakan dan bertanggung jawab. Terbitlah UU Nomor 13/2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, yang memberikan mandat kepada Mensos untuk melaksanakan UU Nomor 13/2011.
Lantas bagaimana dengan ayat 2? Diterbitkanlah 2 UU yaitu UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan pembentukan Badan Penyelenggaranya dalam UU Nomor 24/2011. Terkait dengan ayat 3, diterbitkan UU tentang Kesehatan Nomor 36/2009.
Ketiga pilar UU sudah berjalan sesuai dengan tupoksi masing-masing lembaga dengan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk PP maupun Perpres.
Sekarang ini musibah menimpa Kemensos. Perpres 110/2021 tentang Kementerian Sosial, nomenklatur Direktorat Jenderal yang menangani fakir miskin dihapus.
Hal itu berarti Kemensos tidak boleh lagi menangani fakir miskin. Kerjaannya cukup memberikan bantuan social untuk korban bencana alam, korban bencana social, jaminan social dalam skema PKH, pemberdayaan social dan rehabilitas social.
Perubahan itu sangat mendadak. Karena dalam APBN 2022 dan RKKL Kemensos 2022 masih mencantumkan Ditjen PFM. Pihak Bappenas dan Kemenkeu belum bisa menindaklanjuti Perpres itu, karena regulasi lanjutan untuk struktur di bawahnya belum diterbitkan oleh MenPAN, sebagai alas aturan Mensos untuk menerbitkan Permensos tentang struktur baru dimaksud.
Dari informasi yang diperoleh, Dirjen dan Direktur terkait dari Direktorat Jenderal yang hendak dilikuidasi dan pejabat Eselon I lainnya tidak mengetahui dan tidak diajak bicara oleh Mensos Risma. Informasi itu sejalan dengan pernyataan Mensos pada media, bahwa Mensos membubarkan Ditjen PFM karena tidak berprestasi. Jadi ada keputusan sepihak dari seorang Menteri saja. Siapa yang menjadi advisor keputusan Mensos, merupakan pertanyaan besar yang perlu digali lebih lanjut.
Ada beberapa persoalan besar yang dihadapi Kemensos ke depan, sebagai implikasi dari terbitnya Perpres Nomor 110/2021 tentang Kemensos antara lain:
1. Berpotensi untuk dilakukannya _Judicial Review_ ke Mahkamah Agung, karena Perpres 110/2021, bertentangan dengan UU Penanganan Fakir Miskin Nomor 13/2011 yaitu hilangnya tugas dan tanggungjawab Kemensos menangani fakir miskin yang diamanatkan dalam UU 13/2011.
2. Hilangnya program dengan nomenklatur Penanganan Fakir Miskin di Kemensos, termasuk target sasaran, dan indikator keberhasilannya tidak bisa lagi diukur.
3. Ditjen PFM untuk tahun 2022, alokasi program BPNT bagi Fakir Miskin, APBN mengalokasikan sebesar Rp. 48 triliun. Skema Penanganan Fakir Miskin itu terstruktur, terukur, dan jelas target penerima manfaat, _by name by address_ sesuai DTKS.
4. Jika dana Rp. 48 triliun untuk sasaran penerima fakir miskin dialihkan ke Ditjen Linjamsos (Perlindungan dan Jaminan Sosial) dengan skema bantuan sosial, penggunaan dana lebih fleksibel, karena sasaran dan lokasi penerima manfaat sangat longgar dan dengan mudah dialihkan.
5. Pada Ditjen Linjamsos, sudah ada program PKH dengan dana sekitar Rp. 30 triliun. Mendapatkan dana limpahan Ditjen PFM sebesar Rp. 48 triliun, akan menimbulkan _over load_ beban kerja dan berpotensi terjadinya penyimpangan, jika sistem pengendalian tidak kuat.
6. Pendataan fakir miskin melalui DTKS yang dilaksanakan oleh Pusdatin akan kehilangan legalitas, karena tidak ada lagi fakir miskin dalam kamus Pusdatin.
7. Kemensos juga akan kehilangan legalitas menerbitkan Permensos tentang PBI JKN untuk dasar Kemenkes membayarkan peserta PBI JKN kepada BPJS Kesehatan.
8. Kemensos kehilangan fungsi koordinasi terhadap kementerian lainnya yang menangani fakir miskin dari aspek kesehatan, pendidikan, dan aspek lainnya yang tercantum dalam UU PFM.
9. Kemensos harus mampu menjelaskan kepada Komisi VIII DPR RI, tentang perobahan struktur organisasi dan rencana pergeseran Program dan Anggaran, dalam rangka pengawasan yang harus dilakukan DPR.
10. Terjadi kondisi birokrasi yang serba tidak pasti melanda ASN Kemensos, dengan jabatan eselon 2 dibiarkan kosong. Dari 6 jabatan eselon 2 di lingkungan Setjen, 4 Kepala Biro ( Keuangan, Perencanaan, Kepegawaian, Hukum) di biarkan kosong. Ibu Risma harus mengisi formasi itu dengan ASN yang _career path_ nya jelas, profesional, dan menguasai persoalan teknis di lingkungan jabatan yang akan di isi.
Dengan sepuluh persoalan yang dihadapi Kemensos, tentu tidak mudah mengatasinya. Apalagi proses konsolidasi kelembagaan dan birokrasi di internal Kemensos tidak berusaha untuk diperbaiki. Kita berharap Kemensos dapat menghindar dan melepaskan diri dari jepitan kepentingan politik tertentu, yang mengorbankan fakir miskin dan “penghuni” Kemensos.
Cibubur, 8 Februari 2022
Oleh : Chazali H Situmorang
[Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS]