Dukung Penguatan DPD RI, Margarito Kamis: Politik Tidak Ada Minta, Yang Ada Mainkan!
TRANSINDONESIA.CO | Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, mendukung upaya penguatan kelembagaan DPD RI untuk mendapatkan kesetaraan hak di Senayan. Hal tersebut disampaikan Margarito pada acara Obrolan Senator (Obras), Rabu (6/10/2021).
Namun Margarito mengingatkan, penguatan itu tidak bisa diminta baik-baik. Karena dalam politik tidak ada minta. Yang ada harus dimainkan. Lakukan Skak Ster dulu. Baru kemudian bicara. “Jadi DPD harus mainkan kartunya. Misalnya tidak berikan DIM atau pendapat, maka DPR juga tidak bisa meneruskan pembahasan, karena akan cacat hukum,” tukasnya.
Acara yang merupakan rangkaian dari HUT ke-17 DPD RI, mengambil tema ‘Amandemen dan Bikameral: Upaya Penataan untuk Mewujudkan Demokrasi Modern Berdasarkan Konstitusi Kenegaraan’.
Selain Margarito Kamis, kegiatan ini juga menghadirkan sejumlah tokoh. Di antaranya adalah Wakil Ketua III DPD RI Sultan Baktiar Najamudin, Anggota DPD RI Tamsil Linrung, Anggota DPR RI Zulfikar Arse Sadikin serta Pakar Hukum Tata Negara Prof Denny Indrayana.
Menurut Margarito apa yang dialami DPD RI saat ini merupakan refleksi dari keangkuhan DPR RI. Katanya, keangkuhan dari DPR yang menyebabkan DPD tidak memiliki hak yang kuat di parlemen.
“Saya dukung DPD RI. Karena itu, DPD harus menunjukkan keangkuhannya juga. Tidak bisa nasibnya diserahkan atau berharap kebaikan hati pada orang orang yang ‘di sana’. Dalam politik tak ada kasihan. Iya ya iya, tidak ya tidak,” ujar Margarito.
Ia menilai saat ini DPD RI harus menunjukkan taringnya. Salah satunya dengan membuat stuck sistem ketatanegaraan.
“Bila ada pembahasan undang-undang di suatu daerah, jangan bahas. Mana ada politik pakai saling pengertian di awal. Karena berurusan dengan kepentingan-kepentingan yang berlawanan, itulah yang dipertandingkan,” tutur dia.
Sebagai contoh pada saat seleksi anggota BPK RI beberapa waktu lalu. Margarito jelas mencatat, bahwa DPD tidak memberikan rekomendasi kepada si A, tetapi yang dipilih DPR justru si A tadi. “Coba kalau DPD tidak membahas dan tidak mengeluarkan surat, tidak bisa itu (disahkan) dan macet,” ujar dia.
Menurut dia, suka atau tidak suka, postur ketatanegaraan kita saat ini terlihat betul terjadi perbedaan. DPR RI didesain dengan kekuasaan penuh.
“Ada lembaga tata negara, secara demokrasi yang kita desain menjadi sub-ordinat. Dalam kata lain, ada lembaga yang full otoriti atas yang lain, seperti hubungan DPR dengan DPD ini. DPR itu menjadi tiran atas DPD,” tegas Margarito.
Katanya, siapapun yang belajar ilmu tata negara dan ilmu politik mengerti bahwa harkat dan esensi dari lembaga adalah soal keadilan politik. Itulah cara mencegah suatu organisasi menjadi tiran terhadap organ yang lain.
“Jadi karena itu, untuk alasan apapun ini harus diubah, tidak bisa tidak. Tidak bisa kita terus menerus hidup dengan satu lembaga yang lebih besar dari lembaga lain,” ujar dia.[rls/sfn]