Ketut Murtika: Seni Rupa Tradisi Bali Gaya Batuan
TRANSINDONESIA.CO | Hampir di setiap wilayah di Bali memiliki gaya seni yg bervariasi satu dengan lainnya. Walau dengan gaya tersendiri namun tetap menunjukkan ke khasan seni dari Bali. Utuk seni rupa misalnya berbagai gaya dari ubud, penestaan, pejeng, batuan, keliki, kamasan dll memiliki gaya sendiri sendiri.
Di setiap wilayah ada yang mempelopori dan menggerakkan seni menjadi tradisi. Tokoh yang peduli akan seni budaya dan pariwisata adalah Tjokorda Gde Agung Sukawati Raja Puri Agung Ubud, yang mengundang seniman seniman besar seperti Walter Spies, Rudolf Bonet, Antonio Blanco, dll, untuk tinggal di Ubud. Dan beliau membuka gerbang pariwisata untuk tamu tamu manca negara. Perkembangan seni di Bali terus berkembang dengan berdirinya Pita Maha, Young Artis dsb. Hal tersebut membuat kesadaran berkesenian yang juga menjaga tradisi. Para pelukis dan penjaga seni rupa tradisional gaya Batuan salah satunya adalah I Ketut Murtika.
I Ketut Murtika, Lahir 31 Desember 1952 di banjar Pekandelan desa Batuan Kec.Sukawati Kab.Gianyar Bali. Wafat tanggal 25 September 2019. Alm I Ketut Murtika belajar melukis kepada pamannya I Made Djata yang juga seorang Pelukis. Ia juga pernah belajar kepada Pelukis Johan Rudolph Boney (Ruan Bonet) yang tinggal di Ubud. Tema dalam Lukisan yang ditampilkan dalam karyanya I Ketut Murtika tentang cerita Mahabaratha, cerita Ramayana dan Kehidupan Masyarakat Bali. Karya karyanya memiliki gaya dan karakter sendiri walau tetap setia pada gaya Batuan. I Ketut Murtika melukis dengan sangat detail yang memerlukan kemampuan teknik dan ketelitian serta kesabaran yang tinggi. Tentu saja memerlukan waktu yang lama dalam proses pengerjaannya. Karya-karyanya banyak dikoleksi di museum, seperti Museum Puri Lukisan, Museum Arma, Museum Neka dan juga dikoleksi oleh banyak kolektor seni didalam negeri maupun diluar negeri.
Sebagai pelukis yang tergolong senior, karya-karyanya juga sering dipamerkan didalam acara Pesta Kesenian Bali ( PKB), di Museum Puri Lukisan (2009),(2011),(2014),(2016),(2019). Dimuseum Arma (2011),(2015). Bantara Budaya Denpasar (2019). Royal Pitamaha (2018). Dan sering juga mengikuti pameran di Jakarta dan luar negeri.
Didalam kesehariannya I Ketut Murtika tetap mengedepankan konsep ngayah ( menyumbangkan tenaga dan keahliannya). Ia bersama sama pelukis lainnya sering ngayah di pura, misalnya melukis dinding praba Pura Desa Pura Puseh Batuan, Pura Dalam Alas Arum Batuan dan wantilannya, juga melukis kober dan umbul-umbul untuk perlengkapan upacara agama Hindu. Selain itu juga banyak mendidik anak-anak disekitar rumah tempat tinggalnya untuk belajar melukis tradisi gaya batuan dengan tujuan supaya ada penerus dimasa depan. Ia merasa senang dan bangga, bila anak-anak didiknya mampu menyerap apapun yang telah dia ajarkan. Seperti yang telah dia ajarkan kepada anaknya sendiri bernama I Wayan Win yang telah ia didik dari usia 9 tahun untuk menjadi penerusnya sebagai seorang Pelukis.
I Ketut Murtika terus berkarya hingga akhir hayatnya. Dalam kondisi sakitnya yang cukup beratpun ia terus melukis. Ia banyak menuliskan kesedihan, kesakitannya dan harapannya pada bagian belakang tulisannya. Semangatnya sebagai pelukis begitu besar walau raganya tak lagi mampu menopangnya. Apa yang telah dilakukan I Ketut Murtika patut kita apresiasi dan interpretasi atas karya yang luar biasa sebagai penjaga penerus seni tradisi Bali gaya Batuan. Walau kini ia telah tiada, anak dan murid muridnya terus bekerja keras melanjutkan perjuangannya. Seni merupakan tanda adanya hidup dan kehidupan masyarakat bahkan menjadi pencatat peradaban.*
Ahad Senja 290821
Chryshnanda Dwilaksana