Manusia di Tengah Duka

TRANSINDONESIA.CO | Hanya kata duka diiringi dengan doa. Tatkala membuka media berita duka seakan bagai diaspora ada di mana mana. Ucapan duka cita diiringi doa tanpa air mata. Baru saja bertemu bergembira ria tak lama kabar mendahului kita tinggallah nama. Apa mau dikata hidup seakan dalam kabut duka. Kelam tiada sesuatu yang tahu apa di balik yang tak kasat mata mencabuti jiwa.

Raung ambulan memecah kesunyian kota. Pertanda ada yang terseret dalam duka. Petugas makam kelelahan seakan iapun ingin pulang. Manusia hanya jasad saja yang tersisa. Karya dan perjuangannya entah dicatat siapa. Onggokkan daging tanpa jiwa sesederhana itukah manusia? Kaya miskin besar kecil berpangkat sampai orang orang sekarat tak ada lagi pembeda semua bisa kena. Yang waspada sampai yang durhaka bisa di babatnya, yang jumawa sampai yang penuh jiwanya tak lagi beda kapan waktunya saja.

Pandemi ini membuat kita berserah bukan untuk pasrah. Ingat akan yang Maha Kuasa Sang empunya kehidupan. Tak ada lagi label anti corona. Semua kesombongan akan di koprolkan. Dibanting dengan cara cara yang di luar dugaan. Manusia tetap saja manusia hasrat serakah dan jumawanya tetap ada. Masih saja merasa paling bisa paling tahu paling paling dan paling lainnya. Masih saja lupa terus saja mengeluh menghakimi menyalahkan seolah olah menjadi paling benar paling suci pemegang kunci Surga dan menjadi tangan kanan Tuhan. Nafasnya kebencian akan tetap terucap walau sudah di ujung kematian.

Duka cita sebatas kata doa. Itu saja karena Yang Maha Kuasa punya tata yang di luar ukuran manusia. Cintanya tetap sama kepada ciptaannya walau cara memanggilnya berbeda beda.

Dalam Kabut Pagi 080221
Chryshnanda Dwilaksana

Share