Dari Rasulullah SAW Kita Belajar Komitmen dan Etika dalam Kehidupan
TRANSINDONESIA.CO – Kita memperingati Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beragam ucapan hilir-mudik. Mengajak untuk meneladani Nabi Akhir Zaman itu.
Saya melihat ada sikap yang dapat kita ambil sebagai suri teladan dari Rasulullah SAW. Yakni soal komitmen dan etika dalam kehidupan.
Sungguh menyedihkan. Ketika kita bicara komitmen dan etika dalam menjalani kehidupan. Seakan-akan mustahi diterapkan. Ibarat mencampur minyak ke dalam air. Tak bisa melebur. Selalu terpisah.
Begitulah faktanya hari ini. Saat pagi seseorang mengatakan A. Siang berubah jadi B. Kemudian sore kembali berubah jadi C. Hingga akhirnya jadi D ketika malam hari.
Manuver semacam ini masih terus mewarnai kehidupan kita. Baik di dunia bisnis, sosial hingga politik. Hampir di semua lini kehidupan.
Padahal seharusnya ini tidak terjadi jika saja kita bisa meneladani tindak-tanduk Nabi Muhammad SAW. Komitmen dan etika menjadi nilai-nilai yang dipegangnya dan ditanamkan kepada para sahabat-sahabatnya.
Lihatlah Perjanjian Hudaibiyah. Ini adalah perjanjian antara kaum Muslimin Madinah dengan kaum musyrikin Mekah. Ditandatangani di Lembah Hudaibiyah, pinggiran Mekah, pada tahun ke-6 setelah Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah.
Kala itu, rombongan kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW akan beribadah haji. Namun mereka tidak dibolehkan masuk ke Mekah oleh kaum musyrik Quraisy warga Mekah. Rasulullah SAW pun mengajak mereka bernegosiasi sampai akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai.
Ketika Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani oleh Nabi SAW, banyak para sahabat yang protes. Termasuk Umar bin Khaththab. Sebab, kesepakatan tersebut dinilai merugikan kaum muslimin. Salah satu hasil kesepakatannya adalah orang-orang kafir yang telah masuk Islam dan berhijrah, harus dikembalikan ke Mekah dan orang Islam yang murtad dari Islam lalu lari ke Mekah tidak dikembalikan ke kaum Muslimin.
Dampak perjanjian tersebut menimpa Abu Bashir dan Abu Jandal, dua sahabat Nabi SAW. Sebelum perjanjian itu disahkan, Abu Jandal yang telah ditahan, disiksa, dan dirantai oleh kaum kafir karena keislamannya, berulangkali dia mencoba hijrah bertemu dengan Rasulullah SAW. Ia berharap dapat bergabung dengan kaum muslimin dan terbebas dari siksaan yang dialaminya.
Namun Abu Jandal terpaksa harus kembali ke Mekah.
“Aku datang untuk masuk Islam, banyak penderitaan yang aku alami. Sayang, aku akan dikembalikan lagi,” ucap Abu Jandal penuh kesedihan.
Nabi Muhammad SAW hanya mampu menghibur hatinya dan memintanya bersabar.
“Dalam waktu dekat, Allah akan membukakan jalan bagimu,” pesan Nabi SAW.
Ada lagi kisah Abu Bashir. Setelah Perjanjian Hudaibiyah disahkan, dia melarikan diri ke Madinah setelah keislamannya. Orang-orang kafir mengutus dua orang untuk membawanya kembali ke Mekah. Sesuai dengan perjanjian, Rasulullah SAW mengembalikan Abu Bashir kepada mereka.
Abu Bashir berkata, “Ya Rasulullah, aku datang setelah menjadi Muslim, dan engkau kembalikan aku kepada kaum kafir?”
Nabi SAW menasehatinya agar bersabar, “Insya Allah, sebentar lagi Allah akan membukakan jalan bagimu.”
Begitulah Rasulullah SAW berkomitmen terhadap sebuah janji. Juga beretika terhadap musuh-musuhnya sekalipun. Nilai-nilai yang seharusnya diteladani oleh kita, umatnya di masa kini. Janji tetaplah janji. Harus ditepati. Walaupun terasa tidak menguntungkan.
Hari ini, ketika kita memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW, jejakilah sikap dan perilakunya sebagai pemimpin. Ikuti dan praktekkan. Sebab, bangsa ini masih menghadapi banyak masalah, salah satunya sumbangan kita yang tak berkomitmen pada janjinya dan tiada memiliki etika, hampir di semua bidang kehidupan.
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu…” (QS. An-Nahl; 91-92).
[Catatan Harian Ahmad Syaikhu]