Pemberantasan Korupsi Era Disrupsi

Big data mempermudah KPK menemukan kaitan-kaitannya

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dan Guru Besar UI Prof Rhenald membagi pandangannya bersama pegawai KPK mengenai era disrupsi.[IST]
TRANSINDONESIA.CO | JAKARTA – Masihkah kita berbelanja di toko offline di zaman seperti ini? Mayoritas dari kita pasti akan menjawab tidak. Rhenald Kasali membuka cara pandang era disrupsi dengan contoh toko luring (offline) yang perlahan ditinggalkan dan toko daring (online) yang mulai menjamur dan lebih banyak digemari.

Dalam diskusi berjudul “Korupsi Atau Anti-Korupsi Yang Tetap Bertahan Di Era Disrupsi?” pada 1 Nopember 2018 di Gedung Merah Putih KPK, Guru Besar Universitas Indonesia yang akrab disapa Prof Rhenald membagi pandangannya bersama pegawai KPK mengenai era disrupsi ini.

Apa itu disrupsi? Prof Rhenald dengan mudah menyederhanakan istilah ini sebagai sebuah inovasi yang mengubah kehidupan yang membuat segala yang lama menjadi obsolete (ketinggalan zaman). Ia mengatakan disruption bukanlah teori baru, ini telah ada sejak 1997, namun tak terdengar karena contohnya kurang menarik. Padahal pertanyaan dasar dari riset disruption tersebut sangat menarik yaitu “why do great company failed?”

Kebangkrutan Krakatau Steel yang dikalahkan dengan bisnis baja sekelas pabrik baja Pulo Gadung yang lebih bisa mendapat untung belum cukup menjadi sorotan sebagai contoh era disrupsi mulai merajai. Pada 2012, sejak beredar kisah ambruknya perusahaan fotografi besar dunia, Kodak, barulah disrupsi menjadi hal yang menarik. Disusul dengan bangkrutnya Nokia, telepon pertama yang kita genggam sejak tahun 1990-an.

Saat ini? Pertukaran uang tak lagi terjadi di toko-toko luring yang dijejali manusia setiap akhir pekan untuk belanja kebutuhan sehari-hari, melainkan terjadi di toko daring setiap harinya dengan ragam aplikasi yang dengan mudah hadir di layar telepon hanya dengan satu klik. Menurut Prof Rhenald, orang lama (atau generasi terdahulu) menganggap daya beli masyarakat menurun, padahal, ”Wah gede pak, semuanya online sekarang,” ujar Prof Rhenald.

Cara pandang ini cukup merisaukan. Lalu setelah disrupsi kemana muaranya? Prof Rhenald menjawab bahwa muaranya adalah shifhting (bergeser). Penjelasannya begini, belanja daring itu adalah hal kecil dari satu kumparan perubahan besar. Yang sebenarnya terjadi dari perubahan itu adalah perubahan kehidupan. Perubahan kehidupan selalu digerakkan oleh teknologi.

Sama halnya dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Perlu perubahan besar bagi komitmen pemberantasan korupsi di negeri ini. Prof Rhenald bicara mengenai big data dan open data. Banyak IT (Information Technology) yang perlu dipakai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mempermudah penindakan maupun pencegahan yang selama ini dijalankan. Teknologi informasi yang semakin canggih akan mempersempit ruang gerak bagi para pelaku koruptif.

Di samping itu hukum dan politik pun berubah, semuanya menggunakan big data dan artificial intelligence karena itulah pemberantasan korupsi akan sangat mengandalkan big data. “Big data mempermudah KPK menemukan kaitan-kaitannya,” tutup Rhenald Kasali.[KPK/TRS]

Share