Dari Rumah Negeri Digenah: Catatan Buku ‘Ayat Perumahan Rakyat’
TRANSINDONESIA.CO, JAKARTA – Ketika mulai menulis buku “Ayat-Ayat Perumahan Rakyat” (AAPR), patik belajar kepada senja, dari sepenggal sketsa Cikini di tapal magrib. Magrib menjadi alasan orang pulang ke rumah, walau berdesakan menjadi “jemaah” kemacetan. Siluet senja ilustrasi buku ini.
Ketika menyiapkan catatan peluncuran buku AAPR , lagi saya belajar kepada senja: manusia dicipta bukan makhluk malam (Nocturnal Creature). Cones dan Rods, 2 syaraf mata foto reseptor yang berada di retina dan terhubung optik, bekerja sensitif cahaya. Pilot tak boleh terbang malam hari dengan Visual Flight Rules (VFR), tanpa bantuan “mata yang lain”: Instrument Flight Rules. Bukan Nocturnal Creature menjadi kodrat manusia –yang Diurnal Creature– berhajat pada tempat tinggal, berada dalam hunian. Menjadi makhluk bermukim.
Ketika HUD Institute Studi Banding Perumahan ke Malaysia (2017), saya dan pak Zulfi Syarif Koto sempat mengunjungi ‘Muzium Budaya Cheng Ho’ Melaka. Dari museum itu saya belajar, Cheng Ho tak hanya memimpin ekspedisi bahari, namun membangun perumahan dan perkotaan serta properti lain seperti gudang penyimpanan logistik dan menara: pelengkap properti dan teknologi bahari.
Bersumber dari tulisan Ma Huan, penerjemah Cheng Ho itu menuturkan, “Apabila armada kapal karun tiba di Melaka, mereka segera mendirikan sebuah kota bertembuk dua lapis”. Konsisten dengan jejak Cheng Ho di Simongan, dekat Semarang jejak historis itu mewariskan “navigasi takdir” manusia makhluk bermukim. Ya…, sekali lagi, manusia makhluk bermukim!
Jadilah bertempat tinggal, yang dikonseptualisasi sebagai rumah itu identik dengan kodrat manusia. Tatkala pendataan atau survei statistik, setelah kolom nama atau identitas, selalu ada kolom alamat tempat tinggal pada borang. Identitas dan tempat tinggal tak terpisahkan. Rumah adalah jatidiri manusia.
Pada ayat ke 66, buku AAPR mengambil titel ‘Dari Rumah Negeri Digenah’. Dalam bahasa Indonesia, kata “genah” sinonim patut, layak. Dalam bahasa Inggris “proper”. Ajaran Islam menyebut baiti jannati, rumahku surgaku.
Membuat negeri yang genah, proper dan jannati, gemahripah loh jinawi, sudah lama dikumandangkan founding fathers Mohammad Hatta sang proklamator, yang masa mudanya menggemakan ‘Indonesia Vrij’, dan tak lama setelah Indonesia merdeka, Hatta menyerukan “Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga” pada Kongres Perumahan 1950.
Alam Pemikiran Hatta itu lugas menghendaki rumah sebagai defenisi dan mesin kesejahteraan, dan keluarga sebagai entitas menggiatkan kebahagiaan, tak sekadar pangkalan pertumbuhan.
Pandangan Hatta ini aseli, gagasan itu lebih awal dikumandangkan dari ECOSOC Right (1966) yang kemudian diaksesi dengan UU No. 11 Tahun 2005. Merujuk ECOSOC Rights, pemenuhan haknya dengan 2 pendekatan: Progesively and Full Achievement. Ya… dilakukan dengan extra ordinary effort bukan upaya biasa (ordinary effort). Artinya segenap potensi digeliatkan demi pencapaian penuh. Kedua pendekatan ECOSOC Rights itu disinggung dan diulas dalam beberapa ayat dalam buku ini.
Lebih fundamental lagi dengan amanat pemenuhan hak bertempat tinggal dalam konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Walaupun hanya satu ayat, malah hanya 2 frasa “hak bertempat tinggal”, namun Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 kuat bertenaga dan bergelora bak samudera bagaikan pepatah lama “Sekali ombak datang, pantai berubah”. Artinya, ayat konstitusi atas hak bertempat tinggal itu mustinya mengubah keadaan permukaan “pantai” pembangunan perumahan, utamanya kebutuhan hunian. Tentunya hunian yang layak, terjangkau (affordable), untuk semua (for all) dan berkelanjutan.
Kua normatif, kewajiban (dan tanggungjawab) itu dilekatkan kepada Pemerintah, vide UU No. 1 Tahun 2011 (UU PKP) dan UU No. 20 Tahun 2011 UU Rumah Susun), sehingga tidak ada lagi halangan yuridis dan politis memenuhi hak hunian.
Dengan ayat konstitusi, berikut UU PKP dan UU Rusun, sepatutnya pembangunan perumahan rakyat yang memiliki inner strength lebih diandalkan dalam arah pembangunan nasional, bukan lagi portopolio kuandran/lapis ketiga. Ini catatan ke-1 dari buku AAPR.[JON]