e-Tilang, Siapa Penilangnya?
TRANSINDONESIA.CO – Tatkala program pemerintah untk melaksanakan reformasi hukum tahap pertama, perbaikan sistem penindakkan terhadap pelanggaran lalu lintas (tilang) menjadi salahsatu program tersebut.
Dalam prosesnya, tarik ulur dan sejarah perbaikan sistem tilang tanpa ujung kesepakatan. Tanpa riset mendalam dapat dilihat akar masalah pada perebutan kewenangan, ego sektoral dan lagi-lagi sumber daya yang menjadi biang keladi birokrasi menjadi tidak rasional.
Proses pengembangan e-tilang ini berjalan cukup baik dan luar biasanya bisa tersosialisasi ke seluruh provinsi di Indonesia.
Isu-isu yang menunjukkan adanya pemikiran konvensional dan tidak visioner tetap saja ada. Dari isu merubah undang-undang dan kewenangan penengakkan hukum yang tidak lagi harus melalui polisi bila pelanggaran ini sebagai pelanggaran administrasi. Ada juga yang berakar dari masalah pribadi dibawa ke ranah e-tilang. Ada yang terang-terangan menolak membuat tabel karena akan menumpulkan dan melemahkan hakim yang independen.
Perilaku-perilaku di lapangan yang masih beralasan e-tilang belum bisa dijalankan, maka cara lama digunakan sebagai bargaining. Tatkala direnungkan, lucu-lucu juga pemikiran dan perilaku anggota birokrasi ini. Menjalankan program elektronik maunya masih cara manual. E-tilang hanya sebagai bunga bibir atau keperluan seremonial semata. Rasa ikhlas melepaskan zona nyamanya belum nampak atau kalaupun mau lepas kepala ekor tetap di pegang.
Menerapkan e-tilang bukan hal mudah perlu perjuangan panjang, beberapa hal yang harus dilakukan antara lain:
- Political will: kebijakan untuk menerapkan e-tilang tidak hanya di level atas, melainkan di semua level bisa memahami dan menyepakati. Rela memangkas bérbagai previledgenya. Tentu kebijakan ini bukan sekedar konsep tetapi dijabarkan melalui program-program implementasinya. Merubah mind set dan culture set penerapan e-tilang ini bertahap melalui cara manual (diutamakan pelanggar diberikan lembar biru), dibangun dengan cara online yaitu membangun aplikasi penindakan melalui smart phone yang berbasis android, penilangan dan camera yang dipasang di jalan.
- Menyiapkan tim transformasi sebagai wadah representative dari para pakar, praktisi, media, pengamat, untuk bisa menjadi soft power dalam mengimplementasikan e-tilang.
- Membangun sistem aturan atau peraturan, infrastruktur dan pedoman implementasinya.
- Menyiapkan sumber daya bagi aparaturnya baik untuk manual, online maupun elektronik yang akan mengawaki back ofice dan menjalankan aplikasi dengan sistem networking online secara elektronik.
- Melakukan sosialisasi dan pelatihan serta uji coba. Ini sudah diterapkan diberbagai kota seluruh Indonesia.
- Membangun pilot project pada kota-kota besar dan melihat kemampuan para pemimpinnya untuk berani menerapkan e-tilang ini secara elektronik. Mengapa pemimpin menjadi suatu standar? Karena tanpa kegigihan sang pemimpin tidak akan terwujud. “Kambing dipimpin Singa akan mengaum, sebaliknya juga Singa dipimpin Kambing akan mengembik”.
Menerapkan e-tilang merupakan bagian dari restorative justice dan juga hukum yang progresif. Cara elektronik ini adalah sarana mencapai tujuan dari penegakkan hukum itu sendiri, yaitu: 1. Terwujud dan terpeliharanya keamanan, keselamatan, kelancaran dan ketertiban berlalulintas. Karena lalu lintas merupakan urat nadi kehidupan. 2. Meningkatnya kualitas keselamatan dan menurunya tingkat fatalitas korban kecelakaan. 3. Terbangunya budaya tertib berlalulintas. 4. Ada pelayanan prima dibidang lalulintas dan angkutan jalan.
Sejalan dengan pemikiran di atas, tatkala e-tilang diterapkan yang menindak adalah mesin-mesin dari camera. Semua sistem data yang ada dalam back office mwnganalisa bahkan bisa memberi prediksi, antisipasi dan solusi.
Birokrasi yang sudah mapan menjadi bagian dari rapuhnya birokrasi itu sendiri yang semakin tidak rasional mempertahankan ego sektoral, parsial, konvensional dan manual. Saatnya berani membangun one gate service and say: the end of beaurocration.[CDL]