Pesantren Kilat Lansia

"Kami ingin mendirikan Komnas Perlindungan Lansia, seperti halnya Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan."

TRANSINDONESIA.co | Kringgg… kringgg… Suara HP terdengar nyaring di sore hari yang mendung. Kusambar perangkat kecil itu, mendekatkannya ke telinga.

“Assalamu’alaikum…”

Suaranya akrab, seorang sahabat lama.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku.

“Posisi di mana?” tanyanya singkat.

“Di rumah. Ada apa? Apa cerita dan apa arahan?”

Di seberang sana, suaranya sedikit tergesa, namun tetap ramah.

“Nanti malam kita ada acara. Mengisi ceramah dan pimpin sholat qiyamul lail di pesantren kilat lansia.”

Aku terdiam sesaat. Kening berkerut.

Berita Terkait:

“Apa? Pesantren lansia? Maaf, apa benar ini? Bukankah biasanya pesantren kilat untuk anak-anak SD, SMP, atau SMA?”

Ia tertawa kecil. “Benar. InsyaAllah jam 22:00 kita berangkat.”

Aku masih mencerna. Pesantren lansia? Rasanya baru kali ini kudengar. Namun, semangat di ujung telepon itu menular.

“Baik, insyaAllah.”

Malam merayap. Setelah pukul 22:00, kami berangkat dengan mobil menuju lokasi acara. Jalanan lengang, hanya sesekali ditemani lampu jalan yang meredup. Kami singgah di pom bensin untuk mengisi bahan bakar.

Di dalam mobil, pembicaraan mulai hangat. Kami membahas pesantren lansia ini.

“Kira-kira kita bakal ketemu mantan pramugari tahun 70-an dan 80-an,” canda seorang teman.

Tawa pecah, membayangkan betapa uniknya pengalaman kali ini.

Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Prof. Arif Satria memberi materi sekaligus membuka Pesantren Kilat Lansia dengan tema “Menata Hari Depan Husnul Khotimah” yang diselenggarakan Perempuan ICMI menyemarakan Ramadhan 1446 H/2025 di salah satu hotel di kawasan Senen Jakarta, Sabtu 22 – Ahad 23 Maret 2025. Transindonesia.co /Syafruddin

Setiba di lokasi, suasana terasa khidmat. Aku disambut oleh Ibu Wellya, pelaksana acara yang penuh semangat. Dalam perbincangan panjang lebar dengannya, terungkap fakta menarik.

“Pesantren lansia ini sudah berjalan lebih dari 60 angkatan,” katanya.

Aku mengangguk kagum. Ada ketulusan di balik program ini. Sebuah tempat bagi para lansia untuk tetap merasa berharga, belajar, dan mendekatkan diri kepada Allah.

Namun, tak hanya itu. Ada impian lebih besar yang ingin diperjuangkan oleh Ibu Wellya.

“Kami ingin mendirikan Komnas Perlindungan Lansia, seperti halnya Komnas Perlindungan Anak dan Perempuan.”

Aku terdiam. Merenungi niat baik itu.

Di usianya yang senja, manusia butuh lebih dari sekadar kasih sayang keluarga. Ia butuh ruang untuk tetap merasa berarti. Butuh tempat yang mengapresiasi perjalanan hidupnya, memuliakan masa tua, dan menjaga martabatnya.

Malam itu, aku belajar sesuatu.

Pesantren bukan hanya milik anak-anak. Ia adalah rumah bagi siapa saja yang ingin terus mencari makna—di usia berapa pun. (Din&Ai)

Share