Akal Imitasi (AI) dan Pemimpin di Era Digital
TRANSINDONESIA.co | AI (artificial intellegent) merupakan akan buatan atau akal imitasi namun bisa lebih cerdas, lebih komprehensif, namun tak punya jiwa. Jepang berjuang untuk menggelorakan society 5.0 agar manusia sebagai aset utama bangsa tidak diperbudak atau dijajah mesin atau robot.
Karya karya AI sebatas tangible tidak mampu menembus yang intangible. Kekuatan jiwa akan muncul tatkala ada imajinasi. Karya karya AI bisa digolongkan craft, bukan art. Craft sebangsa kerajinan yang bisa diulang ulang bahkan bagai industri.
Bagaimana manusia menang dari AI? Perjuangan membangun kreatifitas dan imajinasi untuk dapat menunggangi AI. Mengapa demikian? AI itu alat atau tools dan cara. Cara tentu saja bukan tujuan.
Cara seringkali diagungkan dan di nomor wahidkan tak jarang mengabaikan bahkan melupakan tujuan. Cara akan menyerempet dan berkaitan dengan sumber daya. Cara akan menjadi idola dan sesuatu cita cita atau tujuan semu. Tujuan sejatinya hal yang hakiki dan menjadi keutamaan. Cara bisa mempemgaruhi pencapaian tujuan yang sebagaimana semestinya.
Cara memang lebih menarik daripada pencapaian tujuan. Cara akan banyak pengolahan di sana sini. Tumpangan kepentingan pun akan menambah sexynya cara. Cara bisa dilakukan secara cara walau harus mengorbankan dan mengabaikan pencapaian tujuan. Cara akan terus dioleh dibolak balik dibuat modeling dari stempel jalanan sampai stempel akademik semua bisa dilakukan.
Mungkinkah manusia kecanduan AI? Mungkin saja tatkala literasi tidak dibangun. Menjafi beku otak dan harinya tatkala tidak dibantu AI.
Apa kata Rene de Crates :” Cogito Ergo Sum”
Ketika saya berpikir maka saya ada. Berpikir bukan produk hafalan atau produk Kutisani (kutip sana sini), bukan juga sebatas dibisiki AI. Kemampuan berpikir inilah yang semestinya diperjuangkan dan ditumbuhkembangkan agar bisa menjadi penunggang AI. Kalau tidak maka yang terjadi sebaliknya, manusia ditunggangi AI.
Bagaimana dengan pemimpin digital (digital leadership)? Prinsipnya sama dengan pemimpin yang bajik agar kebijakannya tetap bijaksana sekalipun menghadapi berbagai permasalah yang tidak terprediksi, kompleks, tidak menentu dan berdampak luas yang berubah dengan begitu cepat. Di sinilah pentingnya pemimpin memiliki spirit : ” pantas dan benar, layak dan menyelamatkan” yang memiliki kepekaan, kepedulian dan bela rasa bagi semakin manusiawinya manusia.
Kalau kita melihat AI, robot, mesin bisa untuk berbagai hal positif maka pertanyaannya bisakah untuk sesuatu yang negatif dan kontraproduktif yang berdampak luas ? Jawabannya tentu bisa. Pemimpin yang transformatif di era digital akan mampu : belajar dan memperbaiki kesalahan di masa lalu. Siap di masa kini dan mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian Digital leadership bukan pemimpin dari AI, robot atau mesin, melainkan pemimpin di era digital sebagai orang bajik yang kebijakannya bijaksana.
Pemimpin di era digital tetap menjadi sumber energi, sumber inspirasi, memotivasi, memberi solusi, berpandangan luas visioner proactive and problem solving.
Revolusi industri 4.0 diikuti dengan society 5.0, agar manusia tidak dijajah atau dipimpin AI, robot atau mesin. Manusia tetap menjadi aset utama banga. Bagaimana SDM yang menjadi aset utama bangsa? Tentu SDM yang tangguh, memiliki karakter, berjiwa patriot, orientasinya bagi meningkatnya kualitas hidup masyarakat, keteraturan sosial dan peradaban. Karakter pemimpin dan kepemimpinan dibangun berbasis literasi.
Literasi dipahami adanya perubahan mind set atau setidaknya cara pandang atau pendekatan akan pemimpin dan kepemimpimannya sebagai pilar kedaulatan dan peradaban bangsa. Di dalam literasi ada pencerahan, pengkayaan, pemberdayaan dan segala sesuatu untuk mendukung profesionalisme, kecerdasan, moralitas bahkan modernitas yang dengan sadar, bertanggung jawab untuk mencapai keutamaannya.***CDL