Isra’ Mi’raj: Refleksi Teologis Spiritual dan Prespektif Sain Modern
TRANSINDONESIA.co | Isra Mi’raj di 2025 ini menjadi sebuah fenomena tersendiri, dia hadir mengapit sebuah hari besar dari umat lain yang datang lusanya dan efeknya libur panjang, bermacet-ria sembari menghilangkan esensi peristiwa sebenarnya, awal perintah sholat yang 5 waktu itu dimulai. Namun, sejatinya saat peristiwa itu terjadi, lebih dari empat belas abad yang lalu, prosesnya pun terbilang sulit dan bahkan sangat tidak bisa diterima nalar manusia: Melewati batas ruang dan waktu dan harus disikapi secara spiritual dan teologis yang mumpuni.
Sebuah perbincangan intens terjadi pada Ahad (26/1/2025) dengan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sosiologi Hukum Islam UIN Syech Nurjati Cirebon, Prof. Dr. H. Achmad Kholik, M. Ag., membahas tentang fenomena Isra Mi’raj ditinjau dari sudut Teologis Spiritual dan Prespektif Sain Modern.
Dalam konteks spiritual, Isra’ dan Mi’raj bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga simbol perjalanan batin seorang hamba yang ingin lebih dekat kepada Tuhannya. Kedua peristiwa ini mengandung pesan-pesan mendalam tentang pentingnya kesalehan pribadi, kedekatan dengan Allah, serta penyerahan diri dalam ibadah dan kehidupan. Selain itu, kedua peristiwa ini juga memberikan pelajaran penting mengenai kewajiban umat Islam untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual. Menjadi menarik, tatkala peristiwa yang hanya bisa dipahami dalam perspektif spiritual itu ditarik ke ranah sains modern.
“Banyak orang berupaya untuk menarik korelasi Isra Mi’raj,peristiwa yang hanya bisa dipahami secara utuh lewat pendekatan Teologis Spiritual namun coba dihadirkan lewat pendekatan Sains Modern,” Prof. Achmad Kholik memulai perbincangan itu.”Padahal peristiwa itu sendiri (Isra Mi’raj) sebuah perjalanan spiritual luar biasa yang terjadi pada malam hari, yang melibatkan perjalanan dari Mekkah ke Yerusalem (Isra’) dan kemudian kenaikan ke langit (Mi’raj) dan dari sana kita diajarkan tentang keseimbangan antara kesalehan pribadi dan sosial”.
Dalam sains modern, salah satu hal yang menjadi tantangan besar adalah mencoba untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang tampaknya melanggar hukum alam yang dikenal, seperti yang terjadi dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Ilmu pengetahuan modern, berkembang dengan dasar pemikiran rasional dan empiris, memandang ruang dan waktu sebagai dua dimensi yang saling terikat dalam satu kesatuan yang dikenal sebagai ruang-waktu. Perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem dalam semalam, tampak sangat bertentangan dengan hukum fisika yang ada.
Secara umum, perjalanan antar dua lokasi yang sangat jauh tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu satu malam menggunakan metode transportasi yang dikenal oleh manusia(saat itu).
Namun, dalam konteks spiritual dan teologis, banyak yang berpendapat bahwa Isra’ merupakan bentuk mukjizat yang hanya mungkin terjadi dengan izin Allah, yang tidak terikat oleh batasan hukum alam. Konsep ruang waktu dalam fisika modern yang dipengaruhi oleh teori relativitas Albert Einstein dapat mengarah pada ide bahwa perjalanan dalam waktu atau ruang bisa saja dilakukan dalam cara yang tidak kita pahami sekarang.
Memahami teori relativitas yang memungkinkan adanya kelengkungan ruang-waktu dan kemungkinan perjalanan antar dimensi atau melalui “lubang cacing” (wormholes), beberapa orang mulai berusaha mengaitkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan teori-teori fisika tersebut. Sedangkan Mi’raj, yaitu perjalanan Nabi Muhammad SAW naik ke langit dan bertemu dengan Allah, tampaknya juga sulit dijelaskan melalui sains. Kenaikan menuju langit yang sangat tinggi dan melintasi berbagai lapisan langit bisa dianggap sebagai metafora spiritual, tetapi secara fisik, peristiwa tersebut tampaknya bertentangan dengan pemahaman kita tentang atmosfer dan gravitasi. Dalam sains, perjalanan semacam ini memerlukan kecepatan yang sangat tinggi dan kondisi luar angkasa yang ekstrem, seperti kekurangan oksigen dan tekanan yang sangat rendah, yang tidak mungkin dialami oleh manusia tanpa teknologi dan persiapan khusus.
Nah, dalam pandangan teologis dalam Islam menyatakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib dan kekuasaan Tuhan berada di luar batasan akal manusia yang terbatas. Mi’raj, dalam hal ini, dilihat sebagai perjalanan spiritual yang menunjukkan kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan kedekatannya dengan Allah, yang tidak dapat dijangkau oleh sains.
Menghubungkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan sains modern, penting untuk diingat bahwa sains dan agama beroperasi dalam ranah yang berbeda. Sains berfokus pada fenomena yang dapat diuji, diamati, dan dibuktikan melalui eksperimen dan pengamatan. Sementara itu, agama, khususnya dalam konteks Islam, lebih berfokus pada dimensi spiritual dan keyakinan yang melampaui keterbatasan dunia fisik.
Sehingga peristiwa Isra’ dan Mi’raj lebih dipahami dalam kerangka mukjizat dan wahyu yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Pandangan yang mencoba menghubungkan Isra’ dan Mi’raj dengan sains modern tetap menarik untuk dipertimbangkan, terutama dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berlanjut. Namun pada akhirnya, sains dan agama masing-masing memiliki peran dan cakupan yang berbeda.
Sains berfokus pada dunia fisik yang dapat diamati dan diuji, sementara agama berfokus pada dimensi yang melampaui dunia material dan memberi makna yang lebih dalam bagi kehidupan manusia. Dalam pemahamannya, Isra’ dan Mi’raj, meskipun tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui perspektif sains modern, tetap menjadi bagian integral dari keyakinan dan spiritualitas dalam Islam. Sains mungkin menawarkan wawasan baru tentang alam semesta, namun peristiwa ini tetap berada di luar jangkauan pengukuran ilmiah, lebih kepada pemahaman spiritual dan teologis.
Penting untuk menghormati perbedaan pendekatan antara ilmu pengetahuan dan agama dalam memahami peristiwa yang melibatkan aspek-aspek transendental dan mukjizat.
Isra’ dan Mi’raj bukan hanya merupakan mukjizat yang mengagumkan, tetapi juga memiliki kedalaman makna teologis yang luar biasa. Lewat peristiwa itu, bahkan saat di Sidratul Muntaha, tempat yang sangat tinggi di mana beliau bertemu langsung dengan Allah SWT.
Perjumpaan agung ini digambarkan jelas dengan dialog antara Allah Swt dan Rasulllah lewat bagian awal dari Narasi Takhyat awal dan akhir di saat sholat yang kita baca. Kedua peristiwa ini bukan hanya menjadi simbol kebesaran Allah, tetapi juga memiliki implikasi besar bagi ajaran dan praktik Umat Islam, khususnya dalam hal ibadah dan hubungan antara manusia dan Tuhan.
Dalam momen Isra’-Mi’raj memperlihatkan dengan jelas bagaimana Allah, yang Maha Kuasa, mampu melakukan sesuatu yang melampaui batas-batas fisika dan hukum alam yang kita kenal. Contoh, perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Yerusalem dalam semalam, serta kenaikan beliau ke langit yang sangat tinggi, adalah dua hal yang secara rasional tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan Allah.
Mi’raj, yang mengikuti Isra’, merupakan puncak dari perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW. Kenaikan beliau ke langit untuk bertemu dengan Allah SWT memiliki makna yang sangat penting dalam ajaran Islam, terutama dalam konteks kewajiban ibadah bagi umat Islam.
Salah satu hasil utama dari peristiwa Mi’raj adalah pemberian wahyu mengenai kewajiban shalat lima waktu bagi umat Islam. Shalat, sebagai ibadah yang paling penting dalam Islam, diatur langsung oleh Allah dan menjadi simbol hubungan langsung antara hamba dan Tuhan.
Nabi Muhammad SAW dipilih untuk menerima wahyu tersebut di langit, menandakan kedekatannya dengan Allah dan kedudukan beliau sebagai rasul penutup. Selain itu, Mi’raj juga menggambarkan keutamaan dan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhir. Dalam perjalanan Mi’raj, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan para nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim, Musa, dan Isa, dan beliau diberi kedudukan yang sangat tinggi di hadapan Allah SWT.
Hal ini mengindikasikan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan nabi penutup juga sebagai pemimpin umat manusia yang terakhir.
Isra’ dan Mi’raj juga memberikan pelajaran moral dan spiritual yang sangat berharga bagi umat Islam. Pengingat, tentang pentingnya ketekunan dalam beribadah dan menjaga hubungan dengan Allah. Dalam konteks Mi’raj, shalat yang diwajibkan merupakan simbol dari kebutuhan manusia untuk terus-menerus mendekatkan diri kepada Tuhan, sebagai bentuk penghambaan dan pengakuan terhadap kekuasaan-Nya.
Shalat bukan hanya sebagai ritual ibadah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh kedamaian batin dan kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup. Ini juga mengajarkan umat Islam bahwa meskipun hidup di dunia penuh dengan ujian dan cobaan, hubungan dengan Allah harus tetap dijaga dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.
Ada yang menarik, Isra’ memperlihatkan kebesaran Allah dalam mengatur alam semesta, sementara Mi’raj mengajarkan umat Islam tentang pentingnya kedekatan dengan Allah dan kewajiban untuk terus menjaga hubungan yang baik dengan-Nya.
Selain ini menjadi sejarah penting kehidupan Nabi Muhammad SAW tetapi juga menjadi landasan bagi ajaran-ajaran yang sangat penting dalam Islam, seperti kewajiban shalat, pentingnya ibadah, dan pengingat akan kehidupan akhirat. Sekaligus pengingat bahwa Mukjizat ini yang melampaui logika manusia, Isra’ dan Mi’raj tetap menjadi salah satu peristiwa terpenting dalam ajaran Islam yang menghubungkan umat Islam dengan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Isra’ dan Mi’raj mengajarkan banyak hal, bukan hanya membawa dampak spiritual bagi individu, tetapi juga memiliki implikasi besar bagi pembentukan masyarakat yang lebih baik. Mengajarkan Umat Islam untuk menjaga keseimbangan antara kesalehan pribadi (ibadah kepada Allah) dan kesalehan sosial (berbuat baik terhadap sesama). Keduanya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya menjadi pondasi dalam membentuk kehidupan yang harmonis, baik secara individu maupun dalam konteks sosial.
Kesalehan pribadi, tergambar dari pribadi Rasulullah SAW yang jauh dari segala bentuk kemaksiatan dan godaan duniawi, ini pula yang sebaiknya yang harus dimiliki setiap individu Muslim. Tidak hanya melaksanakan kewajiban agama dengan baik, tetapi juga berusaha untuk menjaga hati dan pikiran agar selalu dekat dengan Allah. Perjalanan Isra’ mengajarkan bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju tujuan akhirat, dan setiap langkah dalam hidup harus dilalui dengan penuh kesadaran spiritual serta ketulusan dalam beribadah.
Sedangkan lebih jauh lagi, Mi’raj yang menyusul Isra’ yang mengangkat Beliau ke Langit untuk bertemu dengan Allah SWT dan menerima wahyu tentang kewajiban shalat lima waktu.
Shalat, sebagai ibadah yang terpenting dalam Islam, merupakan simbol dari kesalehan pribadi yang terus-menerus dilakukan oleh umat Islam untuk menjaga hubungan mereka dengan Tuhan.
Namun, Mi’raj juga mengandung makna yang sangat dalam terkait dengan kesalehan sosial. Shalat bukan hanya ritual ibadah pribadi, tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial yang mengajarkan umat Islam untuk memperbaiki diri dalam hubungan dengan sesama (masyarakat sekitar). Sehingga kesalehan pribadi dan sosial berjalan seiring sejalan. Kesalehan pribadi peristiwa Mi’raj menekankan pentingnya ketulusan dalam beribadah, termasuk dalam pelaksanaan shalat yang merupakan sarana untuk mencapai ketenangan batin tapi ada kesalehan sosial yang terkandung dalam ajaran Islam juga menuntut umat untuk tidak hanya fokus pada kepentingan diri sendiri, tetapi untuk peduli terhadap sesama dan berusaha untuk mengatasi permasalahan sosial.
Dalam kehidupan modern, banyak tantangan yang mempengaruhi kedua dimensi ini—kesalehan pribadi dan sosial. Masyarakat semakin individualistis dan materialistis, banyak orang yang terjebak dalam pencarian harta dan kekuasaan, mengabaikan pentingnya hubungan sosial dan kebaikan terhadap sesama. Sementara itu, ketidakharmonisan sosial, ketidakadilan, dan ketimpangan ekonomi memperburuk situasi ini. Di sinilah relevansi Isra’ dan Mi’raj menjadi sangat besar, karena kedua peristiwa ini mengajarkan umat Islam untuk selalu mencari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial.
Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa yang memiliki kedalaman makna, baik dari sisi teologis maupun ilmiah. Secara teologis, peristiwa ini mengingatkan umat Islam tentang pentingnya kedekatan dengan Allah, kesalehan pribadi, dan kesalehan sosial. Sementara itu, dalam perspektif sains, meskipun tidak bisa sepenuhnya dijelaskan, Isra’ dan Mi’raj membuka ruang bagi dialog antara iman dan ilmu pengetahuan. Keduanya saling melengkapi dalam membangun pemahaman yang lebih holistik tentang alam semesta, kehidupan, dan tujuan akhir manusia. [mic]