Studi Tunjukkan Perempuan Masih Tertinggal dalam Sektor AI
TRANSINDONESIA.co | Laporan dari UNESCO dan platform Women for Ethical AI pada akhir Oktober lalu menyoroti bahwa terlepas dari kemajuan dalam teknologi dan kecerdasan buatan alias Artificial Intelligece, atau AI, keterlibatan perempuan dalam hal pengembangan dan kepemimpinan mereka dalam bidang tersebut belum meningkat secara signifikan. Padahal, pengaruh AI semakin dirasakan berbagai kalangan dan aspek kehidupan, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi.
UNESCO juga melaporkan hanya 12% dari total peneliti perempuan di dunia yang bergerak di bidang AI, dan 30% profesional perempuan yang berkecimpung di sana. Kesenjangan gender dalam ranah tersebut juga tinggi dalam hal kepemimpinan, di mana hanya 18% perempuan yang memegang jabatan eksekutif dalam perusahaan rintisan AI.
Rizka Amalia, ilmuwan data di lembaga riset Populix, adalah salah satu dari segelintir perempuan di Indonesia yang bekerja di sektor AI.
“Saat ini, satu tim itu ada sebelas orang. Saya sendiri perempuannya. Di tim sebelumnya juga demikian; (dalam satu tim) ada lima sampai enam orang, dan saya sendiri juga yang perempuan,” jelas Rizka dalam dialog program Perempuan Inovasi, yang diinisiasi lembaga swadaya masyarakat Markoding, Yayasan Dian Sastrowardoyo, dan Magnifique Indonesia pada awal Desember lalu.
“Tantangannya itu bukan ke masalah teknisnya, (tapi) lebih ke masalah komunikasinya. Malah, terkadang cara laki laki dan perempuan berkomunikasi itu kan beda,” lanjutnya.
Dalam laporannya, UNESCO juga menyebut, di sektor teknologi yang didominasi laki-laki, praktik-praktik patriarki cenderung membuat perempuan “merasa tidak diterima, tidak nyaman, dan bahkan tidak aman”. Contohnya di AS, jumlah perempuan yang meninggalkan sektor teknologi dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki, tambah lembaga itu.
Kepada VOA, Bernadetta Sri, teknisi AI dan ahli RPA (Robotic Process Automation) di Astra International, mengungkapkan meski belum pernah mengalami diskriminasi, ia pernah menghadapi tantangan lain sebagai perempuan di industri tersebut.
“Cuma memang awal saya bekerja itu, saya pernah sempat kurang percaya diri karena saya merasa saya perempuan sendiri dalam tim, sedangkan yang lainnya laki-laki,” kata Bernadetta.
Meski demikian, Bernadetta mengaku bekerja di lingkungan yang suportif, di mana rekan-rekan kerjanya memberikan kesempatan untuk berpendapat ketika membahas ide-ide proyek selama rapat.
Hal senada juga disampaikan Rizka. “Malah ide kita, pemikiran kita sangat ditunggu sama mereka. Mungkin yang tadi saya bilang saya satu-satu ya perempuan, mereka tuh pengin tahu, misalkan kita bikin fitur dengan langkah A, B,C, para lelaki itu mau tahu pandangan dari perempuan, apakah ada sesuatu yang sebenarnya bisa diperbaiki, (atau) ada yang salah,” ungkapnya.
Pentingnya Keterlibatan Perempuan dalam AI
Menurut Bernadetta, perempuan memberkan sudut pandang yang lebih beragam sehingga menciptakan teknologi yang lebih inklusif. Ia mencontohkan, dalam pengembangan desain sistem AI, perempuan bisa memberikan perspektif yang membantu menciptakan solusi yang lebih adil dan tidak bias.
“Dampak yang saya juga lihat secara langsung adalah peningkatan kesadaran di lingkungan kerja tentang pentingnya representasi gender ketika lebih banyak perempuannya terlibat. Jadi, lingkungan pekerjaan bisa lebih kolaboratif, lebih kreatif dan mungkin bisa membantu juga nih menghasilkan solusi yang lebih inovatif.”
Pemerintah juga mengharapkan lebih banyak keterlibatan ilmuwan AI perempuan di tanah air. Belum lama ini, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie menekankan pentingnya bagi perempuan untuk menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan kognitif yang setara dengan laki-laki, dan bahwa inovasi sering kali berasal dari kemampuan untuk mengidentifikasi masalah di lingkungan sekitar.
Dengan begitu, perempuan diharapkan dapat melihat isu-isu yang mungkin tidak selalu diperhatikan oleh laki-laki, dan mengolahnya menjadi solusi yang inovatif, tambah Stella.
Meningkatkan Representasi
Di Indonesia, upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam sektor digital, khususnya AI, juga semakin banyak, termasuk yang dilakukan komunitas Perempuan Inovasi, yang memiliki misi menghubungkan para perempuan di seluruh Indonesia yang memiliki minat di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).
Sementara itu, berdasarkan pengalaman Rizka sebagai ilmuwan data senior yang telah berpengalaman di ranah AI, peluang karir untuk menjadi ahli AI terbuka lebar bagi mereka yang ingin eksplorasi dan belajar. Menurutnya, perusahaan-perusahaan kini mencari kandidat yang memiliki pemahaman kuat tentang dasar-dasar AI dan pembelajaran mesin (machine learning), serta kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam praktik.
Oleh karena itu, Rizka menekankan, latar belakang pendidikan bukanlah satu-satunya aspek yang menentukan terbukanya peluang perempuan untuk berkarir di sektor AI, karena banyak individu dari berbagai latar belakang, seperti fisika atau biologi, berhasil beralih karir. Ini menunjukkan bahwa keterampilan dan pengetahuan yang relevan tidak hanya dapat diperoleh melalui pendidikan formal.
Hal serupa disampaikan Bernadetta, yang mengatakan bahwa pengalaman praktis dan portofolio proyeklah yang menjadi faktor penting dalam berkarir di bidang AI. Untuk itu, ia mengingatkan bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar soal AI.
“…dan juga jangan takut untuk gagal ya, teman-teman, karena gagal itu juga salah satu proses kita untuk bisa jadi lebih baik. Saya juga ada di tempat saya saat ini, itu saya juga sebelumnya sudah banyak mengalami kegagalan,” pungkas Bernadetta. [voa]
Sumber: VOA Indonesia