ITW Ingatkan Pemerintah Jangan Lagi Beternak Konflik Lalin

TRANSINDONESIA.co | Indonesia Traffic Watch (ITW) belum melihat  indikasi adanya kepedulian Pemerintahan Prabowo-Gibran terhadap lalu lintas (Lalin) dan angkutan umum yang saat ini sedang berada dalam  kondisi memprihatinkan. Bahkan buku Prabowo Subianto bertajuk Paradoks Indonesia dan Solusinya, tidak menyebut soal lalu lintas dan angkutan jalan. Padahal lalu lintas adalah budaya bangsa, potret modrenisasi dan urat nadi kehidupan. Semestinya mendapat perhatian serius dari pemerintah.

“Apalagi kemacetan dan kesemrautan serta kecelakaan lalu lintas menjadi momok bagi masyarakat khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya serta Medan. Bahkan kemacetan dan permasalahan lalu lintas menimbulkan kerugian mencapai ratusan triliun per tahun,” kata Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan di Jakarta, Ahad (27/10/2024).

Seperti diungkapkan Direktur Lalu Lintas Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub bahwa kemacetan yang terjadi di wilayah Jabodetabek berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp100 triliun per tahun.

Sementara kemacetan di kota besar lainnya seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Medan masing-masing menimbulkan kerugian mencapai Rp 12 triliun per tahun. Sedangkan kemacetan di Jakarta berdasarkan kajian Bank Dunia pada 2019, potensi menimbulkan kerugian mencapai Rp 65 triliun per tahun.

“Sayangnya, hingga saat ini Pemerintah belum memberikan penekanan secara khusus terkait upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mengatasi kemacetan dan berbagai permasalahan yang secara kasat mata dapat dilihat di hampir seluruh ruas jalan raya yang ada,” ungkap Edison.

ITW mengingatkan agar ke depan  pemerintah memperhatikan dan menerapkan prinsip Accesibility yaitu menciptakan infrastruktur transportasi yang mudah diakses publik dan terintegrasi ke seluruh penjuru serta terjangkau secara ekonomi.

“Bukan seperti sebelumnya yang memilih prinsip Car mobility yaitu lebih fokus pada pembangunan sarana jalan seperti tol layang, sehingga mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Disusul dengan pertumbuhan industri otomotif dalam lima tahun terakhir khususnya di Jakarta mencapai 4 sampai 5 persen,” ujarnya.

ITW memastikan, penyebab utama kemacetan adalah faktor jumlah kendaraan yang tidak terkontrol, sehingga ruas dan Panjang jalan yang ada tidak mampu menerima kendaraan yang setiap hari terus bertambah.

“Hendaknya pemerintah mulai melakukan pembatasan jumlah kendaraan, minimal dengan cara menerapkan setiap pembelian kendaraan baru harus disertai dengan surat keterangan kepemilikan garasi,” tambahnya.

Kemudian faktor kondisi jalan yang kerap mengganggu kelancaran lalu lintas, seperti galian tapi abai akan koordinasi dengan steakholder lainnya.

Selanjutnya adalah faktor human error, karena rendahnya kesadaran berlalu lintas dan keselamatan masyarakat. Pelanggaran rambu lalu lintas dan sikap tidak peduli memicu terjadinya kesemrautan hingga kecelakaan di jalan raya.

“Pemerintah hendaknya terus meningkatkan kualitas sosialisasi dan melibatkan berbagai pihak dalam melaksanakan upaya untuk meningtkan kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat,” kata Edison.

ITW juga mengingatkan agar pemerintah jangan terus ‘beternak konflik’ dengan membiarkan praktik illegal di bidang lalu lintas yang terus berlangsung tanpa ada tindakan maupun solusi.  Sebab bila beragam pelanggaran tetap dibiarkan hingga terlihat seperti legal, bisa memicu terjadinya konflik yang potensi mengganggu Kamtibmas.

ITW mengajak seluruh lapisan masyarakat agar terus mengingatkan pemerintah bahwa mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas) dan pengadaan transportasi umum adalah pelayanan publik yang menjadi kewajiban negara. “Bukan pelayanan atau kegiatan bisnis apalagi digunakan menjadi mesin pencari untung,” pungkasnya. [rls]

Share