Kekalahan Guru Gembul dalam Debat Akidah: Post-Truth dan Pentingnya Kebenaran yang Berbasis Ilmu
TRANSINDONESIA.co | Diskusi terbuka “Bisakah Keshahihan Akidah Islam Dibuktikan Secara Ilmiah”. Debat antara Ustadz M Nuruddin versus Guru Gembul diselenggarakan oleh Keira di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/10/2024).
Di tengah era digital yang sarat dengan informasi cepat dan opini tanpa dasar, perdebatan tentang akidah antara Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin menjadi sorotan publik. Fenomena ini mengungkapkan bagaimana post-truth, di mana opini sering kali dianggap sama kuatnya dengan fakta, mengubah cara kita memandang diskusi yang serius. Namun, perdebatan ini juga menjadi contoh kuat bahwa, meskipun opini bisa menarik perhatian, kebenaran tetap membutuhkan dasar yang kuat—ilmu dan referensi.
Guru Gembul, seorang konten kreator yang sering berkomentar tentang berbagai isu di kanal YouTube-nya, menghadapi tantangan besar ketika ia bertemu dengan Ustadz Nuruddin dalam debat terbuka di Universitas Indonesia. Meski terbiasa menyampaikan opini dengan penuh percaya diri, kali ini Gembul harus menghadapi argumen yang dibangun di atas referensi agama, logika, dan filsafat yang kokoh. Hasilnya? Kekalahan yang tidak bisa dihindari.
Dalam unggahan di akun Facebook-nya, Ustadz Nuruddin menyampaikan refleksi tajam tentang perdebatan itu. “Di kanal YouTube-nya dia berani bicara tentang banyak hal… Tantangan saya terima. Dan sekarang terbukti bahwa orang ini bicara agama tanpa referensi. Referensi logika nggak ada, filsafat nggak ada, akidah juga nggak ada. Arab nggak ada. Inggris juga nggak ada. Terus gimana? Ya terpaksa jadi bikin rujak,” tulisnya, Jumat (11/10/2024).
Komentar ini tidak hanya menyindir argumen Gembul yang dangkal, tetapi juga mencerminkan kelemahan besar dari fenomena post-truth. Di mana opini pribadi sering kali dianggap cukup, tanpa memerlukan referensi ilmiah atau teologis yang mendalam. Gembul, yang selama ini terbiasa berbicara secara bebas di dunia maya, harus menghadapi kenyataan bahwa berbicara tentang topik serius, seperti akidah, tanpa dasar ilmiah atau agama yang sahih adalah kesalahan fatal.
Di dunia post-truth, banyak orang merasa bahwa opini mereka dapat bersaing dengan fakta ilmiah hanya karena informasi cepat mudah diakses. Namun, seperti yang ditunjukkan Ustadz Nuruddin, dalam diskusi mendalam tentang agama, logika, dan filsafat, referensi adalah pondasi utama yang tidak bisa diabaikan.
Menariknya, Guru Gembul sendiri mengakui kekalahannya dalam debat tersebut. Dalam tangkapan layar yang diunggah oleh Ustadz Nuruddin, Gembul menulis, “Ya sejujur ya meski saya masih meyakini pendapat saya, tapi tadi emang saya kalah debat. Saya harus akui.” Pengakuan ini menunjukkan sikap yang patut diapresiasi, meskipun pada awalnya Gembul mengandalkan argumen tanpa referensi yang memadai.
Kekalahan ini menjadi pelajaran penting bahwa dalam ruang debat publik, terutama yang melibatkan topik keagamaan dan filsafat, pendapat pribadi tanpa dasar yang kuat akan mudah runtuh. Apalagi, ketika lawan bicara datang dengan argumen yang didukung oleh logika dan sumber otoritatif yang jelas.
Fenomena post-truth yang berkembang di era digital sering kali membuat kita percaya bahwa semua orang dapat menjadi ahli hanya dengan melakukan pencarian cepat di internet. Guru Gembul, dengan gaya kritik yang menantang dan sering mengandalkan frasa seperti “googling saja,” mencerminkan tren ini. Namun, debat dengan Ustadz Nuruddin menunjukkan batas dari pendekatan ini. Dalam topik serius seperti akidah, ilmu tidak bisa digantikan oleh opini atau narasi instan.
Ustadz Nuruddin tidak hanya menggunakan logika dalam argumennya, tetapi juga mendasarkan pandangannya pada wahyu, Al-Qur’an, dan Hadis—sumber utama dalam tradisi keislaman. Ini memberikan kekuatan besar dalam argumennya, karena selain membuktikan logika, ia juga menunjukkan bahwa pandangannya didukung oleh literatur otoritatif yang diakui oleh umat Islam secara global. Referensi ini tidak bisa begitu saja digantikan oleh opini pribadi.
Istilah “mengulek rujak” yang digunakan oleh Ustadz Nuruddin dalam komentarnya adalah sindiran cerdas yang mencerminkan apa yang terjadi dalam perdebatan itu. Argumen yang tidak memiliki dasar ilmiah atau teologis yang kuat, di hadapan publik, akan dengan mudah terpecah-pecah dan dihancurkan layaknya bahan rujak. Ini menunjukkan bahwa dalam diskusi yang terbuka, hanya kebenaran yang berlandaskan ilmu yang dapat bertahan dari tantangan.
Ustadz Nuruddin berharap agar debat-debat seperti ini terus dilakukan, karena ia percaya bahwa hanya dengan cara ini, orang-orang akan berpikir dua kali sebelum berbicara sembarangan tentang topik yang bukan keahliannya. “Di balik layar orang bisa bicara apa saja. Tapi di hadapan banyak orang, kebenaran akan tampak dengan wajah aslinya,” tulisnya.
Debat antara Guru Gembul dan Ustadz Nuruddin menjadi pelajaran berharga di era post-truth, di mana narasi sering kali lebih dihargai daripada fakta. Meski opini dan pencarian cepat di internet bisa membantu dalam diskusi sehari-hari, dalam debat serius tentang topik mendalam seperti akidah, kebenaran hanya dapat ditemukan melalui ilmu, referensi sahih, dan logika yang kokoh.
Ustadz Nuruddin membuktikan bahwa kebenaran membutuhkan dasar yang lebih kuat daripada sekadar opini pribadi. Dengan mengandalkan referensi agama yang otoritatif dan logika ilmiah, ia berhasil menunjukkan bahwa debat bukan hanya tentang siapa yang bisa berbicara lebih banyak, tetapi siapa yang dapat membuktikan argumennya dengan bukti yang sahih.
Di tengah fenomena post-truth, di mana opini sering kali beredar lebih cepat daripada fakta, perdebatan ini mengingatkan kita bahwa kebenaran sejati hanya dapat dicapai melalui pemahaman yang mendalam dan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. (Aris Yulianto)