Kesehatan Mental di Indonesia: Lonjakan Kasus Bunuh Diri dan Pentingnya Saling Mencurahkan Hati

TRANSINDONESIA.co | Kesehatan mental adalah hal yang begitu krusial dalam hidup kita, namun sering kali terabaikan, dianggap remeh, atau bahkan dijadikan bahan olok-olokan. Mungkin kita tidak tahu, tapi ada begitu banyak jiwa di sekitar kita yang diam-diam berjuang, menanggung beban yang tak terlihat oleh mata.

Sayangnya, tidak semua orang mampu bertahan. Pada tahun 2024, Indonesia mencatatkan 287 kasus bunuh diri hanya dalam rentang waktu tiga bulan pertama. Sebuah angka yang menggambarkan betapa pilunya kenyataan ini, namun mungkin hanya segelintir dari kita yang benar-benar memahami apa yang ada di baliknya.

Di balik setiap kasus bunuh diri, ada hati yang terluka, ada suara yang tak terdengar, dan ada cerita yang tak sempat diceritakan. Banyak dari mereka adalah anak-anak muda yang merasa terjebak, seperti seorang dokter muda di Universitas Diponegoro yang memilih untuk mengakhiri hidupnya setelah mengalami perundungan. Apakah kita pernah bertanya-tanya, berapa banyak orang di sekitar kita yang mungkin merasa seperti itu? Berapa banyak dari mereka yang merasa sendirian di tengah keramaian, tanpa ada tempat untuk mencurahkan isi hati?

Menangis dalam Kesunyian

Ketika kita berbicara tentang kasus bunuh diri, kita sering kali terjebak pada angka, statistik, dan data. Tapi, apakah kita pernah berhenti sejenak untuk merasakan kesedihan di balik setiap angka itu? Apakah kita pernah membayangkan betapa perihnya hati yang tak mampu lagi bertahan?

Ada seseorang yang mungkin malam itu menangis sendirian di kamar, merasa bahwa dunia ini terlalu kejam dan berat. Tidak ada lagi yang mendengar, tidak ada lagi yang peduli. Hingga akhirnya, keputusan pahit itu diambil—mengakhiri semuanya, untuk selamanya.

Bayangkan, perasaan seorang ibu yang menemukan anaknya sudah tak bernyawa. Bayangkan, betapa hancurnya hati orang tua yang merasa mereka gagal melindungi buah hatinya.

Rasa kehilangan itu begitu dalam, seperti lubang hitam yang tidak pernah bisa terisi lagi. Namun, mereka yang pergi sering kali merasa bahwa dunia ini sudah tidak memberikan ruang untuk mereka lagi. Mereka merasa bahwa tidak ada yang mendengarkan, tidak ada yang memahami.

Apakah kita sudah cukup mendengar mereka?

Tantangan Kita Bersama

Stigma adalah musuh terbesar dalam upaya kita melawan bunuh diri. Di Indonesia, masalah mental sering kali dianggap sebagai aib, sesuatu yang memalukan. “Dia lemah,” atau “Dia kurang iman,” adalah kalimat-kalimat yang sering kali kita dengar, padahal mungkin yang dibutuhkan hanyalah telinga yang mau mendengarkan. L

Bagaimana kita bisa membantu jika kita masih menutupi kenyataan bahwa kesehatan mental adalah masalah serius? Jika kita terus mengabaikan seruan mereka yang merasa terasing, kita hanya akan menyaksikan lebih banyak hati yang hancur tanpa pernah menyadarinya.

Akses terhadap layanan kesehatan mental juga masih menjadi tantangan besar.

Di banyak daerah, khususnya pedesaan, sangat sulit untuk menemukan psikiater atau psikolog yang bisa membantu mereka yang membutuhkan. Banyak yang akhirnya terpaksa menyimpan masalah mereka sendiri, berharap semua bisa selesai dengan sendirinya.

Tetapi, tanpa dukungan, masalah itu justru semakin besar dan akhirnya mereka merasa bahwa mengakhiri hidup adalah satu-satunya solusi

Pentingnya Saling Mencurahkan Hati

Namun, kita bisa memulai dari hal sederhana. Mendengarkan. Saling mencurahkan hati bukanlah hal yang sulit, tapi efeknya bisa luar biasa.

Kadang-kadang, apa yang seseorang butuhkan hanyalah telinga yang mau mendengarkan mereka tanpa menghakimi. Kita tidak perlu menjadi ahli untuk membantu. Yang kita butuhkan hanyalah kepedulian.

Bayangkan, jika saja kita lebih sering bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” kepada orang-orang terdekat kita. Jika saja kita lebih sering menawarkan waktu kita untuk mendengarkan mereka.

Betapa banyak nyawa yang bisa kita selamatkan hanya dengan menjadi sahabat yang mau mendengarkan?

Harapan dan Perubahan

Pemerintah dan berbagai organisasi telah mulai bergerak dengan memperluas akses layanan kesehatan mental melalui Puskesmas dan platform telemedicine. Namun, perbaikan tidak bisa datang hanya dari pemerintah.

Kita semua punya peran untuk menciptakan dunia yang lebih peduli. Dunia di mana tidak ada orang yang merasa sendirian dalam kesulitan mereka. Dunia di mana setiap suara didengar, setiap hati yang terluka dirawat, dan setiap jiwa yang merasa hampa diberi harapan.

Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Jadilah pendengar yang baik. Jadilah seseorang yang bisa diandalkan oleh orang-orang terdekat kita ketika mereka merasa tidak ada lagi yang memahami mereka. Kadang, tindakan kecil seperti itu bisa membuat perbedaan besar dalam hidup seseorang.

Bunuh diri bukanlah solusi, tapi bagi mereka yang sedang dalam kegelapan, itu bisa tampak seperti satu-satunya jalan keluar. Mari kita berikan mereka cahaya—melalui kepedulian, melalui waktu, dan melalui hati yang selalu siap mendengarkan.

“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’,” (QS. Az-Zumar [39]: 53)

 

Selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, 10 Oktober 2024

 

Aris Yulianto
Pemimpin Redaksi Transindonesia.co

Share