KPK Ungkap Indikasi Banyak Pendapatan Daerah yang Hilang dari 3 Gili di Lombok

TRANSINDONESIA.co : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui kolaborasi Satgas Pencegahan dan Penindakan Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V mengungkap banyak potensi pendapatan yang tak maksimal dari pengelolaan aset di Gili Trawangan, Meno, dan Air alias Gili Tramena, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Hal ini disampaikan Kasatgas Direktorat Korsup V Dian Patria, usai mengadakan rapat koordinasi terkait tindak lanjut penertiban aset Gili Tramena di Gedung Graha Bhakti Praja, Kantor Gubernur NTB, Jumat, 16 Agustus 2024.

Menurut dia, potensi pendapatan dari pengelolaan di Gili Tramena cukup besar, tapi pendapatan daerah dari pengelolaan itu sangat kecil.

“Diakui tadi memang banyak sekali potensi pendapatan yang tidak bisa dimaksimalkan. Jadi Gili Tramena dari 700 ribu pengunjung setahun, Pemda cuma dapat kecil, target Rp5 miliar tahun 2024,” ujarnya.

Belum lagi, kata Dian, ada perjanjian kerja sama antara Dinas Perhubungan (Dishub) NTB dengan Koperasi Karya Bahari yang tidak memiliki payung hukum. Dian menyebut, diduga ada temuan-temuan yang belum disetorkan dan saat ini sedang dilakukan audit.

Lebih lanjut, Dian menegaskan bahwa aset yang berada di Gili tidak bisa dialihkan kepada masyarakat. Aset tersebut hanya boleh dilakukan pemanfaatan oleh masyarakat dengan melakukan perjanjian kerja sama bersama Pemda, sehingga akan mendapat pendapatan daerah.

“Itu tidak mungkin diberikan hak milik. Ini punya negara, tidak akan mungkin. Makanya jangan sampai ada janji, masyarakat dapat sertifikat, enggak mungkin,” tuturnya. Terkait hal ini, disebut-sebut ada oknum warga yang menyewakan lahan milik daerah secara ilegal kepada investor asing.

Dalam pertemuan yang berlangsung kurang lebih tiga jam itu, Dian mengaku telah berkoordinasi lintas kementerian. “Pemda, ada KLHK, ada KKP, BPN provinsi memastikan jangan sampai ada kebijakan-kebijakan yang ada mens rea (niat jahat) di sana,” ucapnya.

Dia menegaskan, jangan sampai kementerian atau siapapun yang memiliki kewenangan itu melanggar aturan. “Jika ada pelanggaran, ditegakkan aturannya. Jangan ada pembiaran,” kata Dian. [tempo]

Share