Paetongtarn Shinawatra Terpilih Sebagai Perdana Menteri Thailand Termuda
TRANSINDONESIA.co | Thailand punya perdana menteri baru dengan wajah segar tetapi namanya tidak asing.
Paetongtarn Shinawatra, yang didukung oleh partai berkuasa Pheu Thai, terpilih dengan suara bulat pada Jumat (16/8) oleh parlemen Thailand. Dia adalah perdana menteri Thailand ke-31, yang termuda dalam sejarah dan perempuan kedua yang menduduki jabatan tersebut.
Namun dalam hal ini, Thailand sudah pernah berada dalam situasi yang sama. Paetongtarn adalah anggota ketiga keluarga Shinawatra yang menjabat sebagai perdana menteri sejak 2001, mengikuti jejak bibinya Yingluck Shinawatra, dan ayahnya, Thaksin Shinawatra.
Paetongtarn memperoleh 319 suara di Dewan Perwakilan Rakyat Thailand setelah dicalonkan sebagai kandidat tunggal oleh anggota parlemen dari koalisi partai Pheu Thai yang berkuasa.
Setelah pemilihannya, Paetongtarn yang tampak semringah berbicara kepada wartawan, mengungkapkan rasa terima kasihnya. Dia juga bersikeras akan mampu memimpin (dengan baik) di bawah pengawasan publik yang ketat.
“Saya bisa mengatasi tekanan. Dalam pendekatan saya terhadap politik, saya tidak memandang diri saya sebagai orang terbaik atau paling berbakat. Sebaliknya, saya fokus pada tujuan yang jelas dan membangun tim yang kuat dan bersatu,” katanya.
Paetongtarn masih membutuhkan dukungan Raja Maha Vajiralongkorn yang diperkirakan akan datang pada Minggu (18/8) malam. Setelah itu, dia resmi menjabat dan dapat mengangkat Kabinetnya.
Reaksi dari Berbagai Kalangan
Anutin Charnvirakul, pemimpin Partai Bhumjaithai, menyatakan bahwa anggota parlemennya sangat mendukung Paetongtarn, dan usianya menjadi.
Natthaphong Ruengpanyawut, pemimpin Partai Rakyat, penerus Partai Move Forward yang dibubarkan, mengatakan perdana menteri baru harus menyelesaikan masalah yang menjadi akar permasalahan Thailand.
Dalam usianya yang ke-37 tahun, Paetongtarn mungkin menawarkan pendekatan baru terhadap jabatan perdana menteri Thailand.
Dia menggambarkan dirinya sebagai “liberal secara sosial” dan mendukung hak-hak LGBTQ+ dan undang-undang kesetaraan pernikahan yang baru-baru ini disahkan di Thailand. Namun Paetongtarn juga mengatakan dia ingin Thailand mengambil sikap lebih keras terhadap narkoba dan menentang amandemen apa pun terhadap undang-undang lèse majesté Thailand.
Namun, tak bisa dipungkiri, dia adalah putri Thaksin Shinawatra.
Thaksin, miliarder pendiri Pheu Thai, kembali ke Thailand tahun lalu setelah 15 tahun dalam pengasingan menyusul tuduhan korupsi usai dia digulingkan dari jabatan perdana menteri pada 2006.
Seorang pengamat politik mengatakan Thaksin masih sangat berpengaruh di kalangan pendukung dan rekan-rekannya, dan itu berarti akan sulit untuk mengetahui sepenuhnya pengaruhnya terhadap Paetongtarn.
“Bagaimana kita bisa yakin bahwa Paetongtarn, sebagai perdana menteri, melayani kepentingan rakyat Thailand dan bukan ayahnya?” kata Napon Jatusripitak, peneliti tamu di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura.
“Tampaknya tak terelakkan lagi bahwa hubungannya dengan ayahnya, dan segala asimetri kekuasaan yang melekat dalam hubungan ini, akan berdampak signifikan terhadap arah politik dan kebijakan pemerintah ini,” katanya kepada VOA melalui telepon.
Pravit Rojanaphruk, jurnalis veteran di Khaosod English dan analis politik di Thailand, mengatakan kepada VOA bahwa kehadiran Thaksin terlalu sulit untuk diabaikan.
“Bahwa Paetongtarn adalah putri Thaksin merupakanberkah sekaligus kutukan. Suatu berkah karena orang tahu dia mewakili Thaksin, dan jika Anda seorang pendukung Thaksin, Anda akan memberikan semua dukungan Anda kepada Paetongtarn.
“Dan sebuah kutukan karena orang-orang tahu dia mewakili Thaksin dan jika Anda seorang pembenci Thaksin, atau anti-Thaksinnite, Paetongtarn tidak akan melakukan apapun dengan benar. Thaksin itu seperti durian, Anda suka atau tidak suka kepadanya,” katanya.
Ditambah lagi dengan bibi Paetongtarn, Yingluck, yang mengasingkan diri setelah ia juga digulingkan sebagai perdana menteri pada 2014, posisi Paetongtarn tetap rentan dalam pemerintahan Thailand. Pencopotan mantan Perdana Menteri Srettha Thavisin yang dilakukan Mahkamah Konstitusi secara mengejutkan menunjukkan betapa brutalnya politik Thailand.
Pengadilan segera mencopot Srettha dari jabatannya pada Rabu dengan hasil pemungutan suara 5 berbanding 4. Dia dituduh melakukan “pelanggaran etika” dengan menunjuk seorang anggota parlemen ke kabinetnya yang sebelumnya dipenjara karena dugaan upaya menyuap seorang pejabat.
Seminggu sebelumnya, Mahkamah Konstitusi Thailand membubarkan Partai Move Forward. Partai tersebut memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum Thailand pada tahun 2023 tetapi dilarang membentuk pemerintahan oleh Senat Thailand. Pengadilan memutuskan bahwa janji partai tersebut untuk mereformasi undang-undang lèse majesté bertujuan untuk menggulingkan monarki. [voa]