Pusat-Pusat Penipuan di Asia Tenggara Curi Miliaran Dolar

TRANSINDONESIA.co | Sebuah laporan baru menemukan bahwa di Asia Tenggara terdapat peningkatan jumlah pusat penipuan online yang meraup miliaran dolar dari masyarakat.

Laporan berjudul “Kejahatan Transnasional di Asia Tenggara” yang diterbitkan pada Mei oleh Institut Perdamaian Amerika Serikat (United States Institute of Peace/USIP), menguraikan ancaman yang semakin besar yang menurut mereka ditimbulkan oleh jaringan kriminal terhadap perdamaian dan keamanan global.

Laporan itu juga memuat temuan mengenai pusat-pusat penipuan yang beroperasi di seluruh kawasan, termasuk di Myanmar, Kamboja, dan Laos, serta keterlibatan mendalam jaringan kriminal China.

Laporan USIP itu dipresentasikan di Bangkok pada bulan Juni di sebuah acara yang diadakan di Foreign Correspondents’ Club of Thailand.

“Salah satu temuan besar dari laporan ini adalah betapa besarnya masalah ini. Kami membingkainya sebagai krisis keamanan global,” kata Jason Tower, direktur USIP untuk wilayah Myanmar.

“Ada tiga negara khususnya yang kini telah mencapai titik di mana kelompok-kelompok kriminal asal China dapat melakukan penipuan kerja paksa secara online dalam skala industri. Ketiga negara itu adalah Myanmar, Laos, dan Kamboja. Ada lebih dari 300.000 orang yang terlibat dalam praktik mengerikan ini,” tambahnya.

Sebanyak 305.000 penipu di Myanmar, Kamboja, dan Laos menyumbang $39 miliar dana curian setiap tahunnya, dari total $63,9 miliar di seluruh dunia, menurut laporan tersebut. Laporan tersebut memperkirakan setengah juta orang bekerja sebagai penipu.

Namun, para penipu sendiri pada awalnya sering kali menjadi korban. Banyak dari mereka yang terpikat pada peluang bisnis palsu di luar negeri dan dipaksa masuk ke dalam kompleks penipuan, yang seringkali terletak di daerah pedesaan terpencil, dan dihukum berat jika mereka mencoba melarikan diri.

Bridget Welsh, seorang analis politik di Asia Tenggara yang berbasis di Malaysia, berbicara pada acara tersebut dan mengatakan bahwa teknologi kecerdasan buatan, lemahnya peraturan keuangan terkait mata uang kripto, pencucian uang, dan area abu-abu antara praktik legal dan ilegal berkontribusi pada masalah ini. [voa]

Share