Insiden Penangkapan dan Pelecehan Turunkan Indeks Kebebasan Pers AS

TRANSINDONESIA.co | Pelecehan, penangkapan, berkurangnya kepercayaan dan hambatan ekonomi menjadikan jurnalis sebagai sebuah profesi yang sulit di Amerika Serikat. Media di negara ini sebagian besar terbebas dari campur tangan, tetapi peringkat Amerika Serikat dalam Indeks Kebabasan Pers Dunia turun pada tahun 2024.

Sejumlah wartawan di berbagai penjuru Amerika Serikat telah ditangkap atau dilecehkan ketika meliput unjuk rasa terkait perang Israel-Hamas. Clayton Weimers, Direktur Eksekutif Reporter Without Borders biro AS mengatakan bahwa insiden seperti itu memiliki dampak yang mengerikan.

“Jika Anda meliput sebuah aksi unjuk rasa lalu Anda ditangkap, bahkan mungkin ditangkap secara kasar lalu terluka, Anda akan berpikir dua kali tentang seberapa jauh Anda ingin meliputnya lain waktu mengingat ada risiko bahwa Anda akan berakhir diborgol, atau lebih buruk, menghabiskan waktu di penjara,” jelas Weimers.

Angka pelanggaran kebebasan pers di Amerika Serikat turun dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, berbagai insiden seperti penggerebekan ruang redaksi di Kansas, penangkapan, dan permintaan panggilan pengadilan untuk catatan jurnalis berkontribusi pada penurunan 10 poin dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia.

Menurut Reporters Without Borders, faktor lainnya adalah permusuhan dari sejumlah pemimpin politik. Emily Wilkins, Presiden National Press Club mengatakan bahwa pejabat seharusnya menjunjung tinggi media sebagai bagian penting dari demokrasi.

“Jadi, saya ingin menyerukan kepada para pemimpin terpilih kita untuk berani, untuk mengatakan yang sebenarnya, untuk mengatakan kebenaran tentang media dan peran yang dimilikinya dalam demokrasi. Juga menyadari bahwa setiap kali mereka menjelek-jelekkan wartawan dan media secara keseluruhan, sama saja dengan menghajar demokrasi. Itulah yang membuat seluruh negara kita menjadi lemah,” terang Wilkins.

Selain lingkungan media yang semakin sulit, juga ada persoalan ekonomi. Para analis melihat adanya pertumbuhan “gurun berita”, sebuah kondisi yang disebut ketika suatu komunitas masyarakat hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada liputan khusus sama sekali. Akibatnya, semakin sedikit wartawan yang tersisa untuk bertindak sebagai pengawas publik.

Sabrina Eaton, reporter Cleveland Plain Dealer mengatakan bahwa dirinya adalah salah satu reporter yang tersisa untuk meliput Kongres bagi pemirsa di Ohio.

“Kami seharusnya memberi tahu orang-orang tentang apa yang sedang terjadi. Jika tidak ada yang memberi tahu tentang apa yang dilakukan anggota Kongres mereka, itu adalah sebuah tragedi,” sebut Eaton.

Melihat disinformasi dan ketidakpercayaan terhadap media “yang belum pernah terjadi sebelumnya”, Weimers mengatakan bahwa wartawan memiliki tanggung jawab yang besar.

“Kita cenderung menganggap kebebasan pers sebagai hak para jurnalis, tetapi ada juga elemen yang merupakan kewajiban jurnalis. Jurnalis juga memiliki kewajiban moral untuk memberi objektivitas, meliput isu-isu secara adil, transparan, dan bertanggung jawab ketika mereka melakukan kesalahan,” pungkasnya.

Namun, menurut RSF tidak semuanya hilang. RUU Pers, yang mendapat dukungan bipartisan di DPR dan Senat Amerika Serikat, akan memberi perlindungan yang lebih besar bagi jurnalis dan sumber mereka dari permintaan informasi oleh pemerintah, jika disahkan menjadi undang-undang. [voa]

Share