2 Buku Dilucurkan Sebagai Persembahan 80 Tahun Sri Sultan

TRANSINDONESIA.co | Dua buku Bunga Rampai Aspirasi 80 Tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk Memperingati 80 Tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X, Pemda DIY diluncurkan di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Jumat (15/12/2023). Dua buku ini bertajuk “Mendengar Suara Merawat Semesta” dan “Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat”.

Perwakilan editor Kompas Bambang Sigap Sumantri  pada konferensi pers yang digelar jelang peluncuran buku tersebut menjelaskan, buku ini merupakan kumpulan esai atau makalah. Juga kumpulan cerita pribadi tokoh nasional dan internasional dari berbagai latar belakang akademisi, budaya, dan sosial sebagai dedikasi kepada Sultan Hamengku Buwono X.

Tulisan-tulisan yang terkumpul ini adalah bentuk perayaan dari momen istimewa ulang tahun Sri  80 dalam hitungan jawa. Sri Sultan lahir pada 2 April 1946 Masehi. Sedangkan nomor dasa windu Sultan ini berasal dari perhitungan kalender Jawa 1877 yang apabila  dikonversi pada tahun ini menunjukan 1957.

Perayaan ini dihitung berdasarkan kalender jawa bukan tanpa alasan. Sri Sultan bukan hanya sekedar menjadi pemerhati kepentingan budaya, tetapi juga seorang pelaku dan pejuang budaya budaya itu sendiri. Hal itu menjadi tolak ukur untuk Sri Sultan melaksanakan perjuangan budaya Jawa.

“Sejak muda Ngarsa Dalem aktif di berbagai organisasi sosial, ekonomi, maupun politik. Beliau dilantik menjadi gubernur DIY sejak 1989 menggantikan ayahandanya yang wafat pada 1988. Hal ini yang membuat relasi dan jangkauannya sangat luas baik nasional maupun internasional yang akhirnya menjadi narasumber penyumbang naskah dalam buku ulang tahun ini. Mereka dipilih langsung oleh Sri Sultan bersama Tim Editor Kompas,” ungkap Bambang pada Kamis (14/12) di Gedung Unit VIII, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.

Ada 8 tema yang dipilih dalam bukunya yaitu Kepemimpinan Sri Sultan, Suksesi dan Keraton, Keistimewaan Yogyakarta dan Pemerintahan Provinsi di Indonesia, Global dan Pluralisme, Tradisi Budaya dan Lingkungan hidup, Sri Sultan dalam Reformasi Tahun 1998, Ekonomi Kreatif DIY, dan terakhir adalah Perempuan dan Keadilan Gender. Para penulis ini umumnya pernah mempunyai pengalaman bekerja sama atau terlibat kegiatan dengan Sri Sultan. Mereka terdiri dari sesama pejabat pemerintahan nasional seperti menteri lembaga tinggi negara, budayawan , duta besar, dosen, intelektual, pengusaha, rohaniawan, wartawan, setelah adalah film, dan aktivitas sosial.

“Buku ini menunjukkan bahwa relasi mereka dengan Sri Sultan membentuk keunikan dalam masing-masing tulisannya yang terlihat dalam peliputannya. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai perbedaan sapaan, banyak yang menyebut dengan Sultan,  Ngarsa Dalem, Raja Keraton Yogyakarta juga penyebutan kata dari Sultan kemudian menulis dengan beliau cara menyebut dengan dia tetapi juga ada. Tim editor menghormati penyebutan ini sebagai kenyamanan dan relasi penulis dengan sultan. Ketika dikonfirmasi, Sri Sultan pun tidak mempermasalahkan hal ini,” papar Bambang.

Senada dengan Bambang, Chief Editor buku “Mendengar Suara Merawat Semesta” Heri Nugroho Djojobisono menuturkan, pihaknya telah menggandeng banyak unsur untuk dijadikan narasumber. Proses pengumpulan naskah berjalan selama 4 bulan sejak dirinya di hubungi oleh Sekda DIY, Beny Suharsono untuk penerbitan buku ini. Dalam prosesnya pun, ia banyak berdialog dengan Pemda DIY.

“Jadi sejak 4 bulan yang lalu saya mengumpulkan teman-teman jurnalis, kurang lebih 12 atau 13 orang untuk melakukan wawancara pada narasumber. Pemilihan narasumber juga sudah kami diskusikan matang-matang, agar bisa mewakili suara berbagai kalangan,” ungkap Heri.

Sebelum buku ini diluncurkan, setidaknya dilakukan 4 kali pertemuan tim editor dengan Sri Sultan untuk membahas progres buku ini. Pertemuan itu diantaranya terlaksana dua kali di Jogja dan dua kali di rumah pribadi Gubernur DIY di Jakarta. Pada awalnya, tim editor merasa bahwa tulisan yang ada terlalu tajam. Namun ketika hal ini disodorkan kepada Sri Sultan, beliau berpendapat lain. Beliau mengungkapkan bahwa pendapat dibebaskan agar tidak ada perilaku cawe-cawe dalam materi tulisan. Pernyataan ini pula yang menunjukkan bahwa Sri Sultan adalah seorang pemimpin yang egaliter tidak hanya dalam perkataan namun ditunjukkan secara nyata.

Sementara itu, Heni Winahyuningsih, penari Keraton Yogyakarta sekaligus Pembantu Dekan 1 Fakultas Seni ISI Yogyakarta menjelaskan, nantinya, pada saat peluncuran, akan ditampilkan tari Bedoyo Sang Amurwo Bumi. Bedhaya Sang Amurwabhumi merupakan Yasan Dalem (karya) pertama Sri Sultan Hamengku Buwono X setelah dinobatkan sebagai Raja Kesultanan Yogyakarta pada 7 Maret 1989/29 Rajab Wawu 1921. Tarian ini merupakan legitimasi Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada mendiang ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Konsep yang diusung memiliki makna filosofis, yakni setia kepada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan bersosial. Dasar cerita tarian diambil dari Serat Pararaton atau Kitab Para Ratu Tumapel dan Majapahit, yang selesai ditulis bertepatan dengan hari Sabtu Pahing.

“Bedaya Sang Amurwo Bumi adalah tarian yang diperagakan sembilan penari dan berdurasi 2,5 jam. Namun nanti, akan kita tampilkan 30 menit saja. Bukan dipotong, tapi ada beberapa gerakan pengulangan, nah itu yang kita kurangi,” jelas Heni.

Nantinya pada peluncuran buku tersebut, juga akan ditampilkan suguhan orkestra dari Yogyakarta Royal Orchestra Chamber Music. Aditya Chander, visiting conductor kandidat Yale University yang terlibat dalam penampilan orkestra menyebutkan, dirinya nanti akan bermain solo violin. Ia menjelaskan, sudah sejak setahun sebelumnya, Keraton Yogyakarta dan kampusnya telah menjalin kerja sama. Hal inilah yang membuat dirinya terlibat dalam acara peluncuran buku nanti.

“Untuk orkestra nanti kami sudah latihan seminggu ada biola, celo dan sebagainya. Berlatih selama satu minggu, dengan tiga lagu klasik dari Elgar, Mozart dan dengan style opera. Kami akan bawa tiga lagu semuanya klasik,” tutup Adhitya. [nag]

Share