“Lali” : Membodohi Ibu Pertiwi yang Sedang Bersusah Hati
TRANSINDONESIA.co | Lirik dan nada lagu “ibu pertiwi” menyayat hati, ada rasa pilu, sedih, malu, kecewa, marah seakan bercampur aduk menjadi satu. Indonesia negeri yang besar, indah permai bak mutu manikam yang kaya raya akan sumber daya menjadi incaran dan sasaran dari perebutan hingga penghancuran. Sulit dan sedinya lagi, semua seakan dimulai dsri internal sendiri yang seringkali bangga dan jumawa serta tamak penuh amarah memamerkan ketololan ketolanya. Kejumawaan sektoral, ambisi dan syahwat kekuasaan dipaksakan walau memuakkan. Ceritera teman teman saya ini saya ulang ulang karena ini jujur harapan rakyat kecil yang hanya ingin tenang dapat mencari makan tidak lebih dari itu. Teman saya bercerita : “kata seorang pengemudi yang melayaninya di pulau Sebatik salah satu pulau terluar kawasan Nunukan, berkata : “Pak, semoga nanti bapak pulang ke Jawa bisa memberi tahu orang orang di sana. Indonesia ini jangan dirusak. Kita sudah bersatu seperti ini, itu tidak mudah. Kami di perbatasan siap jaga NKRI tetapi kenapa yang di Pusat seolah merasa paling tahu dan paling mampu menjaga NKRI dan malahan mau memecah-belah?” Temen saya waktu itu hanya merenung dengan hati sedih walau tidak memahami sepenuhnya maksudnya, namun ia bisa merasakan kegalauan sang pengemudi tadi.
Rakyat tidak buta, tidak tuli dan tidak bodoh bahkan masih waras walau tidak mampu berbuat apa apa. Kita sebagai manusia pasti tak lepas dari salah dan dosa namun janganlah menjadi jahat. Seringkali yang sudah kekenyangan malah semakin tamak, semakin jumawa, lupa bagaimana rasa orang kebanyakan yang hidup serba pas pasan masih waras dan mampu mencintai bangsanya. Sedih kalau melihat yang kaya punya kuasa malah menghembuskan kehancuran dan marah tatkala diingatkan untuk waras.
Fox Populi Fox Dei “suara rakyat, suara Tuhan” mungkin kita bisa memaknai analogi ibu pertiwi dalam hidup dan kehidupan orang orang kebanyakan yang penuh dengan keterbatasan. Mereka manut, mengalah bahkan rela berkorban. Bagaimana rasanya tatkala ibu pertiwi senantiasa diobok obok, dijadikan korban, dipecundangi bahkan dihajar dan diinjak injak harkat martabatnya oleh kaum yang diberi amanah? Orang orang lupa akan jumawa dan merasa bisa tahu segalanya , terus ingin kekuasaan dan haus untuk mendominasi dan dominannya sumber daya. Mereka lupa kalau kuasa itu amanah yang dipercayakan, bisa saja yang empunya amanah mengambil kembali melalui people power sebagai simbol kekuatan demokrasi yang merupakan civil disobidience (pembangkangan sipil).
Suara seorang pengemudi di pulau sebatik memang bukan mewakili atau untuk generalisasi suara seluruh rakyat. Namun apa yang diungkapkan merupakan refleksi jeritan hati orang sederhana yang mencintai bangsanya. Ungkapan air mata di perbatasan menunjukkan betapa khawatirnya mereka bangsa ini dirusak segelintir orang bertabiat: jumawa, serakah dan penuh amarah. Masih banyak lagi jeritan suara hati nurani anak bangsa yang tidak didengar, terabaikan bahkan dianggap tidak tahu menahu apa makna air mata Ibu Pertiwi.
Ibu pertiwi sedang bersusah hati karena ulah kaum yang memiliki kesempatan menjadi ndoro di menara gading. Keserakahannya merefleksikan diri tidak adanya rasa syukur. Celakanya malah membangun kroni di semua sisi dan lini, tanpa sadar bangga mengkacaukan atau menciptakan konflik yang meluluh lantakan kehidupan sesama anak bangsa. Ide, Kekuatan, Massa yang dimiliki malah seakan digunakan untuk menginjak injak dan membodoh bodohi ibu pertiwi. Berbagai pembenaran dipakai. Primordialosme digunakan sebagai sarana mencari legitimasi dan solidaritas melalui membuat issue dalam post truth yang seringkali tidak rasional atau berlindung dengan mengatasnamakan apa saja sebagai pembenarannya. Di sinilah makna homo homini lupus “manusia menjadi serigala bagi sesamanya yang dapat menghancurkan harkat dan martabat serta karakter bangsa.
Anak bangsa menjadi sensitif, tidak solid mudah dibodoh bodohi, mudah terbakar amarahnya menjadi anarkis. Kejumawaan, ketamakan dan amarah kaum ndoro sejatinya menunjukan “lali” atau lupa yang merupakan kedurhakaan terhadap ibu pertiwi. Semangat “nggasruh” kaum mapan dan nyaman ini mungkin suatu gebrakan anti waras yang hanya membeo ke sana kemari, yang penting slamet karena khawatir akan kehilangan previledgenya tega dan lupa siapa dirinya. (Chrysnanda Dwilaksana)