Civil Disobidience: Pembangkangan Sipil dengan Menjungkirbalikkan Logika

TRANSINDONESIA.co | Pembangkangan sipil atau yang sering disebut civil disobidience merupakan perlawanan kaum lemah atas kezoliman penguasa dengan berbagai kebijakannya. Melawan secara langsung tidak mungkin. Pasti kalah, tunduk atau taat juga bukan pilihan.

Perlawanan secara soft adalah melakukan suatu gerakkan moral. Dengan diam, dengan memboikot sesuatu seperti gerakan ahimsa yang dilakukan Gandhi maupun Martin Luther King Jr. Di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan Samin Surosentiko. Ada juga nampaknya suatu kebodohan namun sejatinya merupakan perlawanan seperti yang diajarkan Samin Surosentiko kepada warga Blora untuk melawan penjajah Belanda yang menarik pajak. Cara yang diajarkan bukan kekerasan melainkan dengan memutar balik atau menjungkir balik logika. Ketika ditegor mengapa tidak membayar pajak dengan santai mengatakan: ini tanah Tuhan, saya diciptakan Tuhan untuk menggarap tanahnya, pajak akan saya berikan kepada Tuhan.

Ada lagi ceritera masalah menebang pohon jati, ia bertanya; “iki duwek e sopo? Duwek e negoro” arti duwek e negoro itu milik negara tetapi dalam bahasa jawa “negoro” itu bisa bermakna perintah menebang. Karena ada unsur negoro tadi mereka tenang saja menebangi.

Perlawanan dengan menjungkir balikkan logika sering kali dianggap sebuah ketololan atau keterbelakangan atau cara berpikir yang aneh. Tidak umum dan menjengkelkan. Ada suatu daerah yang dianggap malas tahu. Apapun yang dilakukan di tempat umum dilawannya dengan cara tidak mempedulikan pengguna tempat umum lainnya. Perilaku menjungkirbalikkan logika ini lama kelamaan menjadi habit dan tatkala membudaya sulit menyesuaikan dengan perubahan maupun perkembangan jaman. Dalam kehidupan sehari hari pun dilakukan dengan melabel salah satu suku tertentu. Seorang pembeli buah jeruk yang komplain kepada penjualnya: “bu ini bagaimana,jeruk dua kilo kecut semua?”. Apa jawabannya: “ibu baru dua kilo sudah ribut, ini saya dua karung kecut semua tenang tenang saja”. Dalam dialog tawar menawarpun bisa terjadi. Contoh antara pengemudi becak dengan calon penumpangnya. “pak ke kantor pos berapa?

20 ribu pak jawab tukang becak

Mahal amat itu kantorposnya kelihatan dari sini

Si tukang becak menjawab: itu bulan juga kelihatan pak dari sini”.

Di kelas pun bisa terjadi suatu pembangkangan. Ibu guru bertanya kepada muridnya : “siapa yang ingin masuk surga? Seluruh murid mengangkat tangan kecuali agus. Ibu guru mendekati agus dan bertanya: “gus kenapa kamu tidak mengangkat tangan? Jawab agus : “emangnya mau berangkat sekarang”.

Dalam masyarakat yang sederhana seringkali logika mereka dipertanyakan dan di label tidak berbudaya. Seorang ibu menjual durian 8 buah. Ada pembeli yg bertanya harga perbuahnya berapa. Dijawab 15 ribu perbuah. Karena dianggap murah si pembeli ingin memborongnya. Tapi apa yang terjadi si penjual berkata: ” jangan bapa nanti kalau dibeli semua saya mau jualan apa”.

Seorang petugas pembinaan masyarakat mengajarkan memelihara ayam. Si petugas berusaha sekuat tenaga mengajarkan cara ternak ayam yang baik dan benar. Pada suatu ketika si petugas membagi bagikan ayam percontohan kepada warga masyarakat untuk di miliki dan dipelihara serta dikembangkan. Apa yang terjadi? Seorang kepala keluarga bertanya: ” bapa akan gaji saya berapa untuk piara ayam ini?”.

Memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak bisa disama ratakan. Variasinya banyak walau prinsipnya bisa sama. Di dalam masyarakat majemuk pemahaman simbol yang ada ini menjadi sangat penting. Kebiasaan menjungkirbalikkan logika tatkala menjadi habit akan mencandui daan membuat malas terhadap perubahan. Mungkin cara yang bisa dilakukan memutar logika yang terbalik adalah dengan memberikan nutrisi otak dan hati. Mimpi ini bisa diberikan melalui it atau melakukan piknik atau bench mark ke bagian masyarakat yang logikanya dapay diterima secara umum bahkan antar bangsa. Ada suatu cerita pimpinan suatu propinsi melakukan bench mark ke negara australia. Mereka menyewa mobil untuk kegiatan mereka selama di australia. Mereka boleh dikatakan ugal ugalan dalam berkendara dari menerobos lampu merah melanggar batas kecepatan dan melanggar parkir. Mereka bersuka cita.” lihat bapa di sini polisi tidak usil spt di negara kita. Mari kita bangun suasana spt ini di kampung kita”. Satu hari sebelum kembali ke tanah air mereka mendapat tagihan membayar denda hampir 100 jt rupiah. Kalau tidak dibayar mereka tdk boleh pulang. Pimpinan rombongan itu marah besar. Dan pada bench mark berikutnya mereka tidak sewa mobil tetapi mereka sewa helikopter agar tidak membayar denda tilang.

“Fox Populi Fox Dei”

Suara rakyat adalah suara Tuhan. Para politisi selalu mengatakan demi kepentingan rakyat, ada yang menyatakan milik wong cilik. Demokrasipun dipahami sebagai kedaulatan ada di tangan rakyat. Parlemenpun dinyatakan sebagai wakil rakyat. Para dalang memainkan para punakawan ( Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Mbilung, Sorowito, Cangik, Limbuk, Tualen, dsb). Para punakawan menjadi lakon simbol kerakyatan. Simbol bagi kaum rentan dan marginal. Namun sejatinya para Punakawan adalah titisan Dewa yang memiliki kekuatan besar yang sakti mandraguna yang mampu melibas para Ksatria bahkan para Dewa.

Rakyat sering dikalahkan atau untuk kalah kalahan bahkan dijadikan kambing hitam yang kadang malah ditumbalkan. Namun di balik semua itu tatkala rakyat bersatu menjadi people power mampu menumbangkan kekuasaan. Para penguasa sering kali lupa akan keutamaannya, moralitas digadaikan diganti kejumawaan dan kesewenang wenangan yang memancing ketidakpercayaan. Kaum kuasa yang lupa akan menindas dan semena mena kepada yang memberi amanah.

Moral menjadi dasar bagi mendengar dan memahami suara rakyat yang menjadi keutamaannya. Tatkala moral menguap maka rakyat akan ditumbalkan atau dijadikan jaran leplakan. Dalam Mahabarata, kisah Pandawa Dadu, para Kurawa dengan kelicikan Sengkuni berupaya melucuti harta kekayaan Pandawa bahkan menjadikan para Pandawa dan Drupadi menjadi budak mereka. Pelecehan dan upaya penelanjangan Drupadi oleh Dursasana membuat para Ksatria Hastina seperti : Bisma, Karna, Durna, bahkan Raja Drestarata semua bungkam tanpa mampu berbuat apa apa. Seolah olah menjadi loyo tanpa hilang pengetahuan dan kesaktiannya. Bagai kerbau dicocok hidungnya.

Kejadian pelecehan Drupadi berdampak perang besar Bharata Yuda yang memakan banyak korban. Demi keserakahan dan kejumawaan Duryudana dan para Kurawa korban paling menderita tetap pada rakyat. Mereka kehilangan anak, suami, saudara tercinta, harta benda, dsb.

Kisah raja gila pakaian bagaimana sang Raja hanya demi kesenangannya sendiri. Hingga ditipu penjahit yang mengatakan jahitannya hanya dapat dilihat oleh orang cerdas dan bijaksana. Semua pasti ingin dikatakan cerdas dan bijaksana dan takut dikatakan bodoh. Hingga rajapun berkeliling kota dengan telanjang. Semua bertepuk tangan sorak sorai memuji muji keindahan baju raja. Mereka takut dikatakan bodoh dan takut hukuman dari raja. Tiba tiba seorang anak balita di gendongan ibunya mengatakan dengan polos dan jujur : ” ma raja kita sudah gila ya, keliling kota dengan telanjang”. Seketika itu sadarlah semuanya. Tetapi nadi sudah menjadi bubur.

Rakyat memang tanpa daya tanpa harta tanpa kuasa akan selalu manut walau kuasa itu amanahnya. Tatkala sudah kehilangan kesabarannya maka bisa saja mengambil amanahnya dengan paksa. Pepatah jawa mengatakan ” eling lan waspada “. Anthony de mello mengajarkan ” kesadaran”. Orang yang sadar akan bertanggung jawab dan disiplin. Pemegang amanah adalah kepercayaan, pepatah Jawa mengatakan : “kelangan bondho iku pra kelangan opo opo, kelangan nyowo iku kelangan separo, kelangam kapercayan kelangan sak kabehane. Sedumuk bathuk senyari bumi, pecahing dhodho wutahing ludiro, pegating jonggo pecating sukmo sun lakoni”.

Keserakahan berdampak pada kejumawaan yang mengabaikan keutamaan melegalkan persekutuan dengan kejahatan. Moral berlapis lapis dilanggarnya. Rasa malu lenyap. Kebenaran diganti dengan pembenaran. Ngundhuh wohing pakarti. Ajining diri gumantung soko obahing lati. Karma ada tatkala melupakan dharma. Kisah Bharata Yuda ditunjukan sopo salah seleh. (Chrysnanda Dwilaksana)

Share