Pemilu Cerdas dan Waras

TRANSINDONESIA.co | Pemilu (Pemilihan Umum ) bagi masyarakat yang modern dan demokratis merupakan pesta budaya suksesi kepemimpinan bangsa secara beradab dan bermartabat. Pemilu yang menghalalkan segala cara bahkan tega mengadu domba demi ambisi kuasanya. Pemilu yang sarat dengan cara: licik, culas, curang penuh trik dan intrik tipu daya akan menghasilkan pemimpin yang jahat terhadap rakyat ala Sengkuni yang nggilani dan njijiki.

Sengkuni anak dari Raja Subala dari Gandara sebagai seorang kesatria yang sakti dan cerdas, sayangnya kesaktian dan kecerdasannya dipenuhi dengan trik dan intrik jahat yang penuh dendam maupun kebencian. Sangkuni sejatinya seorang yang cinta akan bangsa negara dan keluarganya. Ia sangat mencintai adik perempuannya “Gandari”.

Sengkuni marah besar dan merasa terhina, tatkala adik yang dicintainya akan dinikahkan dengan pangeran dari Hastinapura ” Destarata “yang buta sejak lahir. Sengkuni sangat emosi, marah besar dan penuh amarah membalas dendam. Ia bersumpah akan membahagiakan adiknya, apapun caranya menjadikan anak anak Destrarata dan Gandari  yaitu para Kurawa (berjumlah 100 orang) untuk menjadi raja. Cinta buta Sengkuni seringkali merasuki pendukung para calon atau malah ada kelompok yang memanfaatkan dengan membodoh bodohi.

Segala cara dilandasi pokok e walaupun sesat salah dan melawan hukum. Sengkuni aktor intelektual yang tanpa tatakrama dan moralitas memberdayakan siapa saja dan apa saja yang penting tercapai tujuannya. Di dalam kisah Mahabarata Sengkuni memberbadayakan Duryudana, anak tertua dari para Kurawa. Duryudana memiliki sifat jumawa, serakah, licik, ingin menang sendiri, menghalalkan segala cara demi memenuhi hasrat atau keinginannya. Sengkuni sebagai paman para Kurawa membimbing dengan cinta buta dan memanjakan para Kurawa.

Dampaknya para Kurawa lemah tidak terlatih. Manja dan senantiasa hidup dalam kemewahan dan segala kemudahan serta selalu dimenangkan. Perilaku para Kurawa dengan para Pandawa saudara sepupunyapun sangat tidak adil dan berulangkali berupaya membunuhnya.

Cara cara culas dan keji dilakukan dalam berbagai kisah seperti bale sigala gala, Pandawa Dadu dsb. Kecerdasan Sengkuni digunakan untuk mengelabuhi para Pandawa, dengan berbagai tipu daya.

Tatkala dalam Pemilu bertujuan menghasilkan pemimpin yang diharapkan rakyat bagi Indonesia maju maka wajib hukumnya anti dengan cara cara Sengkuni.

Cara cara Sengkuni cinta yang membabi buta menghalalkan segala cara harus ditentang mati matian dan dianggap tabu secara moral, secara hukum, secara administrasi, secara fungsional dan secara sosial menyimpang dari keutamaan.

Kaum Sengkunian menganggap kelompoknya paling benar tidak ada pertimbangan bagi kelompok lain benar, selain diri dan kroninya semua dianggap salah. Sikap menang menangan inilah yang membuat sulit waras dan tidak mampu berdialog untuk membangun peradaban.

Kaum Sengkunian akan merajalela memberdayakan media dan siapa saja serta apa saja membuat pembenaran yang penuh trik licik. Cinta butanya demi junjungannya lupa akan lepentingan rakyat, bangsa dan negaranya. Cinta buta Sengkuni kepada Duryudana untuk menjadi raja Hastina justru berdampak pada terjadinya perang Bharatayuda yang membuat para Kurawa semua tewas di medan Kurusetra.

Cinta buta ala Sengkuni tidak boleh lagi dilakukan dalam proses Pemilu, rakyat sudah cerdas dan kaum Sengkunian ini berhianat menjadikan sesat dan kehancuran. Di dalam kisah Mahabarata  Sengkuni sendiri terkena karmanya mati di dalam perang Bharatayuda. Kesaktiannya yang tidak dapat dilukai senjata apapun dan tidak dapat mati, karena sekujur tubuhnya telah diolesi minyak tholo tholo. Namun Krisna mengetahui kelemahannya. Yaitu dengan disobek dari duburnya dan dikuliti sekujur badannya dan disobek bulutnya dan ditarik kerongkongannya. Kisah tragis perang Bharatayuda tidak boleh terjadi dalam Pemilu.

Cinta buta tanpa melihat kebenaran keadilan akan berujung pada petaka dan kehancuran. Dalam berbagai sumpah kata : kejujuran, kebenaran dan keadilan menjadi landasannya. Membela kebenaran keadilan dengan jujur merupakan keutamaan bagi kemanusiaan, keharmonisan dalam kehidupan dan bagi peradaban. Kurawa hancur lebur akibat mengabaikan keutamaan. Keutamaan merupakan kekuatan untuk selalu dalam kewarasan, karena politik bisa dibuat panggung sandiwara. Cakil, Sengkuni bisa didewakan, bahkan Yudistirapun bisa diputarbalikan kebenarannya

Tergantung siapa dhalangnya, apa kepentingannya.

Politik sejatinya meletakkan hati bahkan pikiran, perkataan, perbuatan dan belarasanya bagi rakyatnya sejahtera. Bukan sebaliknya. (Chrysnanda Dwilaksana

Lembah Tidar 211123

Share