Yth. Presiden, Kembalikan Mandatory Spending UU Kesehatan, Demi Putra Putri Kehidupan

TRANSINDONESIA.co | Hari ini Ahad. Almanak 23 Juli 2023. Indonesia merayakan Hari Anak Nasional, saya sempatkan menulis opini. Betapa oh betapa nasib perlindungan anak subsider stunting anak dengan UU Kesehatan 2023, kini? Yang telah ketuk palu persetujuan DPR RI dan Presiden RI. Yang tinggal menunggu tahap penting:  pengesahan Presiden.

Bukan hanya pada kisah bayi, alahai persetujuan pun bisa tertukar. Tok, tok, tok,  bayi UU Kesehatan 2023 telah lahir dengan persetujuan bersama DPR RI dan Presiden RI. Beritanya cepat tersebar. Berikut gambar menteri subsider  pejabat dan legislator yang sumringah tengah tersenyum lebar.

Saya mencerna cepat UU Kesehatan 2023 yang terdiri XX BAB, dan 458 pasal. Langsung menjurus ke BAB  XIII Pendanaan Kesehatan, Pasal 401 sampai Pasal 412. Yang betapa oh betapa, akhirnya  meniadakan Mandatory Spending (MS). Yang betapa oh betapa, resmi memereteli wewenang sendiri pasal MS dari UU Kesehatan 2009 Pasal 171.

Ajaib, mengapa ketika hendak diberikan keuangan negara dalam dana APBN dan APBD yang dipatok wajib dan pasti, malah enggan diterima? Enggan kepada MS ini, tidak masuk logika dan kalkulasi pro kesehatan rakyat NRI, yang kondisinya masih payah, kini. Buktinya? Seperti diwartakan media online katadata.co.id:  “Beberapa 10 indikator RPJMN (kesehatan) berisiko tidak tercapai pada 2024,” kata Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Senin (5/6).

Padahal,  dalam RUU Kesehatan inisiatif DPR RI, pasal MS itu semula tegas, dan bunyi sebagai norma. Yang sekaligus  garis kebijakan politik DPR RI –sebagai aktor inisiator RUU Kesehatan. Bayangan rakyat, tinggal selangkah persetujuan Presiden saja, melalui koordinator menteri RUU Kesehatan. Namun ternyata, pasal  MS yang semula diusung DPR RI sendiri, dihapuskan ketika dibahas di markas DPR RI sendiri.

Apakah Presiden yang dipilih rakyat mengetahui secara utuh aspirasi rakyat NRI. Memahami dan memperoleh utuh informasi betapa dampak UU Kesehatan 2023 yang menyoret pasal MS? Publik juncto rakyat berhak bertanya secara terbuka kepada Presiden NRI.

Yang Terhormat Bapak Presiden. Pasal MS itu bukan cuma sekelas narasi tanpa justifikasi. Bukan hanya narasi yang diujar-ujarkan, seperti jawaban standar sang pejabat atas kritik publik terhadap segala sisi payah RUU Kesehatan.

Ikhwal MS bukan hadir sontak begitu saja. Namun MS disusun  dan diajukan dari hasil persetujuan DPR RI, yang dituangkan dalam RUU Kesehatan  –selaku inisiator RUU. Itu garis politik hukum DPR RI. Semula publik dan rakyat NRI suka pasal MS, karena tinggal selangkah persetujuan Pemerintah cq Menkes sahaja. Logika rakyat, siapa kuat melawan Legislator juncto kaum Parle Senayan?

Ketahuilah pasal MS bukan tanpa sejarah. Bukan tanpa mandat, malah mandat yang kuat. Pasal MS  yang disokong rakyat. Dengan landasan hukum yang kokoh di bawah UUD 1945, yakni: Ketatapan MPR RI No.X/MPR/2001.Juga, amanah Abuja Declaration WHO.

Hapusnya pasal MS, bukti  betapa  UU Kesehatan 2023  eksis dengan  norma UU yang mundur. Betapa politik kesehatan kini tak bergeming dengan aspirasi pun kondisi kesehatan rakyat NRI. Betapa amanat Tap MPR RI X/2001 yang representasi kehendak  rakyat, begitu saja lewat. Betapa persetujuan pemerintah –yang dulu tinggal selangkah–  berubah arah kepada persetujuan DPR RI menghapuskan kebijakan politik MS yang diajukannya sendiri.

Itukah persetujuan yang tertukar? Persetujuan bisa berubah dan terus saja berubah sesuai  kepentingan. Namun, kesehatan rakyat adalah hukum yang utama.

Yth. Bapak Presiden. Ketika UU Kesehatan 2023 nihil pasal MS, dan Menkes kudu bertanggungjawab mengerjakan bidang kesehatan yang banyak persoalan krusial, bukankah logis pasal MS dipastikan ada? Sebagai alibi politik dan tanggungjawab konstitusional betapa Presiden pro kesehatan rakyat.

Pejabat menteri pun mustinya mengerti, dan sibuk menjelaskan soal amat penting ini kepada rakyat NRI. Bukan acap mengomentari soal yang masih belum jelas  dugaan-kasuistis perundungan di lapangan pendidikan dokter spesialis. Padahal soal itu bisa dibicarakan ringkas kepada menteri urusan pendidikan yang mengurusi pendidikan tinggi kedokteran.

Bukankah pada saat mengumumkan kabinet, Presiden mengingatkan berkali-kali, menteri kesehatan fokus lah pada  prevalensi stunting anak yang kini masih tinggi: 21,7% (tahun 2022). Hanya turun sedikit dari 22,4% (2021). Masih jauuuuuh dari target 14% (2024) –yang tak sampai setahun lagi.

Waspadai lah kepada stunting “otak” anak-anak bangsa, itu soal  mendasar dan amanat target RPJMN 2019-2024. Target 2024 bidang kesehatan itu bisa gagal tercapai, seperti diingatkan Kepala BAPPENAS. Ini soal ketahanan nasional dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan lupa, hak anak juga dijamin konstitusi: Pasal 28B ayat (2) UUD 1945

Momentum Hari Anak Nasional ini, patut jika opini ini mengingatkan, betapa stunting bukan hanya soal tubuh pendek, tapi daya nalar dan kerja analitika otak yang “pendek”. Akibatnya, sang anak hanya sanggup sedikit mencerna, dan sulit berpikir abstrak dan kempis daya analitika.

Menurut data, dampak stunting itu dahsyat kepada Human Capital Index  Indonesia. Dipaparkan: Lima (5) juta anak Indonesia kehilangan IQ 10-15 poin. Terlambat masuk sekolah & prestasi akademis lebih buruk. Anak kehilangan 1% tinggi badan & kelak 1,4% produktifitas.

Yth. Pemerintah, Indonesia kehilangan potensi GDP 2-3%; itu buruk!  Pun,  stunting menjadi kausal kemiskinan antar generasi semangkin memburuk.

Betapa stunting beresiko tinggi menjadi hilangnya generasi (the lost generation). Kita berusaha agar jangan sampai ‘betapa’ menjadi ‘petaka’. Itu bagian tanggungjawab konstitusional negara mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sekali lagi,  dengan situasi seperti itu maka sangat patut kita bertanya kepada Presiden, sekaligus minta menimbang ulang berkenan kiranya MS dikembalikan ke dalam UU Kesehatan 2023. Mengembalikan persetujuan yang tertukar.

Caranya? Tesis opini ini, Presiden bisa menerbitkan Perppu tentang Pendanaan Kesehatan.  Cara lain masih jamak,  bisa dipikirkan Menteri Polhukam dan Menteri Hukum dan HAM. Alasan dan konsiderannya, yaa.. bisa demi  kepentingan terbaik anak –yang  merupakan pertimbangan puncak (paramount consideration) dalam konvensi hak anak.

Sayangi anak Indonesia, itu cara abadi dan elegan menjadi negarawan. Segera bergerak demi anak-anak bangsa, sang putra putri kehidupan. Many thinks can wait, but children can not. Their name is to day. Tabik.

(Muhammad Joni, Advokat pro Kesehatan Rakyat,  Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia)

Share