‘Buzzer’ Terafiliasi Gerakan Politik, Akademisi Sarankan Transparansi Anggaran

TRANSINDONESIA.co | Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menggelar diskusi publik bertajuk “Senandung Pemilu Damai” di Jakarta, Selasa (18/7/2023). Titi Anggraini, akademisi Ilmu Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia mengatakan, transparansi anggaran “buzzer” perlu dilakukan.

“Memang, evaluasi dari Pemilu 2019, terdapat dorongan untuk punya reformasi hukum terkait pengaturan buzzer,” kata Titi menjawab pertanyaan dari salah satu masyarakat yang hadir dalam acara tersebut, Selasa malam. Titi kemudian, mengutip opini pimpinan (opinion leader) dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI).

“Salah satu yang dibutuhkan dari reformasi kampanye adalah pengaturan lebih jelas terkait dengan buzzer. Karena buzzer itu, sering dia menyatakan gerakan organik masyarakat, tapi ternyata terafiliasi,” ucap Titi.

Terafiliasi dalam hal ini adalah buzzer terkait dengan para peserta pemilu. “Dan ternyata, dananya tidak transparan, itu yang harusnya dikejar,” kata Titi.

“Pertama adalah transparansi dan akuntabilitas dana yang dipakai untuk membiayai buzzer. Terus terang saja, buzzer itu tidak gratisan,” kata Titi.

Sebab, kata dia, dalam beberapa riset membuktikan ada afiliasi buzzer dengan gerakan politik tertentu. Pada malam itu, Titi turut menyayangkan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari sudah meninggalkan tempat acara lebih awal.

“Sayangnya, Pak Hasyim sudah pulang, ya? Salah satu yang bisa dilakukan adalah bagaimana peraturan KPU dalam kampanye bisa mengatur soal buzzer dan menagih akuntabilitas buzzer,” ujar Titi.

Menurut Titi, itu adalah persoalan seluruh masyarakat Indonesia terkait pemilu. “Dia (buzzer, red) bekerja untuk pemenangan satu kelompok politik, tapi tidak dapat diakses akuntabilitas pendanaannya,” ucap Titi.

“Itu masalah besar,” kata Titi. Titi juga menjawab pertanyaan terkait keadilan pemilu dan menurut dia tidak hanya penindakan pelanggaran pemilu.

“Tapi, juga pencegahan. Ini lagi-lagi terkait buzzer, yang diperlukan andil masyarakat,” kata Titi.

Titi mengungkap, memiliki gagasan membangun Forum Multi Pihak dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). “Jadi, bagaimana Bawaslu merangkul kelompok kelompok masyarakat, kelompok agama, mari kita petakan bersama, kita identifikasi,” kata Titi.

“Jadi, bukan hanya contoh hoaks. Bukan hanya debunking (menyanggah), tapi juga pre-bunk (menyusun) identifikasi dari sekarang,” kata Titi.

Itu, kata dia, terkait berbagai modus kerja “buzzer”, hingga tanggung jawab paltform media sosial. Menurut dia, platform media sosial jangan hanya mengambil keuntungan, tapi juga memberikan kontribusi.

“Bagi pasar (market) sangat besar, yaitu pasar Indonesia. Itu yang saya kira perlu dirumuskan,” kata Titi.

Imbauan Bawaslu

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja turut memberikan pernyataan terkait tantangan menghadapi berbagai informasi hoaks di media sosial. “Itulah yang dapat mengganggu orkestrasi pemilu yang ada saat ini,” kata Rahmat.

“Tugas Bawaslu ini adalah menjaga agar orkestrasi ini tidak melanggar larangan kampanye,” ujar Rahmat. Dia juga menyatakan, saat ini belum waktunya para bakal calon peserta pemilu mengajak memilih masyarakat.

“Oleh sebab itu, kami mohon karena sudah banyak ditanya wartawan. Spanduk, baliho, silakan, karena kami juga ada amanah dari kepala negara ‘sekarang ini tahun pemilu, masyarakat harus tahu pemilu’,” kata Rahmat juga menyampaikan pesan Presiden RI Joko Widodo.

Maka dari itu Bawaslu, memperbolehkan pemasangan spanduk, baliho, dan lainnya oleh bakal calon peserta Pemilu 2024. “Namun, tetap mengingatkan sekarang belum masa kampanye, tidak boleh mengajak,” kata Rahmat.

Diskusi publik tersebut, turut dihadiri langsung Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Ratusan tamu undangan lintas sektor juga menjadi peserta diskusi publik bertajuk “Senandung Pemilu Damai”. [rri]

Share