Yth. Wakil Rakyat, RUU Kesehatan Untuk Kepentingan Rakyat? Ujilah dengan…

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni

Tenaga medis-kesehatan (TMK)  takkan melupakan ini. Badai pendemi COVID-19 bertahun-tahun, RUU Kesehatan viral berbulan-bulan. Untuk merawat pasien-cum-rakyat, TMK bekerja di garda terdepan. Itu utang jasa tak terbalaskan, pasien & rakyat paling dipentingkan.

Usai melawan pendemi COVID 19 dengan kolaborasi dan sinergi,  Menteri Kesehatan (Menkes) acap mengucapkan  RUU Kesehatan. Dinarasikan lekat dengan tiga kata ini: untuk kepentingan rakyat!

Benarkah? Ups.., tunggu dulu. Walau bisa diperiksa dari jejak lalu lintas narasi digital, pun warta media arus utama. Namun ada perkakas yang mudah diterima logika warga untuk menguji rasa keadilan RUU Kesehatan.

Seperti  hendak menguji integritas  orang/ pegawai baru,  ujilah dia dengan uang. Berilah kuasa dan jabatan berikut atribut wewenang. Gak lama. Segera terbukti kepada siapa dia memihak dan berkawan?  Siapa yang dilawan dan disingkirkan.  Jika gagal dalam ujian uang dan jabatan, maka faktor itu meruntuhkan pencitraan segala jenis, pun narasi paling manis.

Mengambil tamsil paragraf permulaan, ujilah tiga kata: ‘untuk kepentingan rakyat’ yang dilekatkan pada  RUU Kesehatan dengan yang satu ini. Pendanaan  Kesehatan, yang kini diatur ke dalam  Pasal 401 s.d. 412  hasil persetujuan Panja Komisi 9 DPR RI, pada 19 Juni 2023.  Adakah persentase anggaran wajib untuk kesehatan, yang dikenal dengan mandatory spending –yang bukan prinsip teriba datang. Konstitusi dan MPR RI No.10 Tahun 2001 telah memberi acuan.

Ketahuilah, tiga kata itu bertenaga. Juga, memiliki nilai atau skor (score) berharga, terlebih menjelang pesta demokrasi  2024. Walau RUU Kesehatan tak segera dibawa ke pembahasan tahap kedua sidang paripurna, yth. legislator masih ada waktu memperlakukan bijaksana dan baik-baik terhadap tiga kata itu.

Sejak semula RUU Kesehatan inisiatif DPR  RI yang terdiri dari  478 pasal itu lugas dan progresif  mengusung  kebijakan mandatory spending anggaran kesehatan. Menjawab itu, Pemerintah juncto Menkes mengajukan  3.020 Daftar Inventaris Masalah (DIM). Bagaimana DIM mandory spending? Tunggu sekejap, baca perlahan.

Salah satu isu politik hukum RUU Kesehatan yang paling krusial dan mencekam adalah mandatory spending. Diatur semula dalam Pasal 420 ayat  (2), dan (3) RUU Kesehatan yang  dengan lugas, jelas, dan progresif. Karena menormakan  anggaran  kesehatan minimal 10%  APBN pun minimal 10% APBD.  Lebih besar dan progresif  dari Pasal 171 ayat (2) dan (3) UU No. 36 Tahun 2009 (UU Kesehatan) eksisting. Sungguh, pasal itu bernilai hebat “untuk kepentingan rakyat”. Skor faedah  politiknya pun tinggi.

Terlanjur disahkan parlemen Komisi 9,  aturan mandatory spending   ramai disoroti. Isu yang bergizi tinggi dalam panggung politik populis. Lagi pula, anggaran untuk kesehatan rakyat itu isu besar, strategis,  universal,  dan sekali lagi, populis. Sebab menyangkut hajat hidup orang banyak. Di belahan negeri manapun, ikhwal  hak  kesehatan itu menyokong pilar negara kesejahteraan (pillar of welfare state).

Posisi menyokong atau menolak mandatory spending menjadi timbangan yang adil. Penting bagi wakil rakyat, partai politik,  pun Pemerintah. Apakah Pemerintah juncto Menkes berpihak kepada kesehatan rakyat? Serangkai dengan hak dasar,  hak konstitusional, dan HAM. Bersesuaian dengan  prinsip progresively and full realization –jika merujuk kovenan internasional tentang ekonomi, sosial dan budaya yang sudah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005.

Poinnya: pembangunan kesehatan musti menanjak naik atau progresif, bukan  merosot cunam. Dengan daya upaya penuh, bukan malah membiarkan pengurangan.

Jadi, jika dipertanyakan benarkah RUU Kesehatan untuk kepentingan rakyat? Ujilah narasi ‘untuk kepentingan rakyat’ itu dengan fitur ini:  mandatory spending!  Itu timbangan yang adil. Terang dan gamblang.

Interupsi sebentar. Saya teringat narasi Bertrand Renauld, pakar pembiayaan perumahan: “Cities are built the way the are financed”. Katanya, kota dibangun dengan cara membiayainya. Gamblangnya, ada uang ada pembangunan. Kalau tidak, BPK RI bisa membuat sederet pertanyaan bahkan jamak temuan.

Majelis pembaca. Sejak semula, mandatory spending minimal 10% APBN & 10% APBD dari rumusan Pasal 420 RUU Kesehatan adalah garis politik hukum DPR RI yang mengambil alih inisiatif formal RUU Kesehatan.

Logis dan bermartabat jika garis politik parlemen itu  serempak diamankan Panja Komisi 9 DPR RI. Namun,  ternyata tidak semua. Tak serempak. Malah, lebih banyak berbalik arah. Menghapus mandatory spending. Ajaib.

Memang, rezim Pemerintah kali ini menolak  mandatory spending untuk anggaran kesehatan semenjak semula. Dengan mengajukan DIM 2632 dan 2633.  Kedua DIM itu tak sungkan menghapuskan Pasal 420 ayat (2) dan (3) RUU Kesehatan.

Alasannya, terbatasnya duit alias anggaran. “…mandatory spending dapat membatasi ruang fiskal pengelolaan keuangan negara”.  Dan, “kapasitas APBN/ APBD dan ruang fiskal menjadi sempit dan tidak fleksibel/inefisiensi”.  Begitu penjelasan resmi pemerintah dalam DIM 2632. Penjelasan yang pragmatis dan tak berpihak kepada kebijakan affirmatif kesehatan rakyat.

Senior saya Dr. Chazali H. Situmorang lugas menganalisa, bahwa hal ini tersebab besarnya porsi APBN untuk membayar bunga dan cicilan utang. Mirip dengan penjelasan Pemerintah: sempitnya ruang fiskal.  Bagi saya, sempit fiskal, atau lega adalah soal arah pemihakan. Dalam kondisi sempit fiskal, Indonesia bisa merdeka. Walau Belanda merongrong kedaulatan dengan agresi perang 1947-1949. Dengan loyalitas tentara dan rakyat, van Mook balik kandang.

Selain  menguji RUU Kesehatan untuk kepentingan rakyat, opini ini mengambil analisa bahwa  tanpa mandatory spending bakal tidak ada lagi uang dan  kebijakan  affirmatif tingkat pusat maupun daerah  untuk    pembangunan kesehatan.

Trans Global

Alhasil, layanan  program kesehatan lebih payah bergeliat  jika dibandingkan dengan ketika  masih ada Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU   Kesehatan (eksisting) yang mematok  mandatory spending  APBN minimal 5%  dan APBD minimal 10%.
Kedua angka itu di luar anggaran gaji.  Moral standing  kesehatan rakyat lebih terjamin  dalam UU Kesehatan (eksisting).

Lantas  sahihkah  RUU Kesehatan  untuk kepentingan rakyat jika ternyata  menihilkan mandatory spending?

Ijtihat saya,  habis-kikis aturan mandatory spending  menjadi kausal  kesehatan bagai pilar goyah  negara kesejahteraan (wobbly pillar under  welfate state).

Skenario Apik

Sikap pemerintah menghapuskan  mandatory spending dengan DIM 2632 dan 2633 membenihkan  kegelisahan  publik.  Gawang RUU Kesehatan untuk kepentingan  rakyat telah kebobolan sejak  sidang  pertama Panja Komisi 9 DPR RI.  Fakta itu skor pertama –yang tak sampai dimenangkan Pemerintah karena menghapuskan   mandatory spending versi Pasal 420 ayat (2) dan (3) RUU Kesehatan.

Sikap itu diametral dengan garis kebijakan politik hukum DPR RI –yang semula menaikkan mandatory spending.

Sikap pemerintah itu, disadari atau tidak,  telah menabrak amanat Tap MPR RI No.10 Tahun 2001 yang memerintahkan Presiden mengalokasikan 15% APBN untuk kesehatan.

Juga,  menyisihkan UU Kesehatan  (eksisting) Pasal 171 ayat (2) dan (3).  Skor kedua dan ketiga tak juga berhasil dipertahankan, apalagi dimenangkan Pemerintah dalam ujian merebut hati rakyat. Ibarat pertandingan,  Pemerintah gagal mempertahankan.  Apalagi menaikkan, dan bahkan bertekuk lutut  menghapuskan  mandatory spending.   Sudah tiga skor  yang tak bisa dimenangkan Pemerintah dalam ujian RUU Kesehatan “untuk kepentingan rakyat”.  Itu skor telak.

Penyokong RUU Kesehatan tak mampu meraih  satu pun  skor ujian memenangkan piala rakyat. Padahal bisa mencetak skor ganda, misalnya  mempertahankan Pasal 171 ayat (2) dan (3) UU Kesehatan (eksisting) ke dalam RUU Kesehatan.

Itu skenario “win-win” yang masih bisa diperjuangkan demi narasi kepercayaan rakyat 2024.

Pupusnya mandatory spending  membuat rakyat  –di luar tenaga medis-kesehatan dari 5 Organisasi Profesi– sontak kecewa.  Dalam panorama moral  rakyat  yang tabah bergeliat  menolak hapusnya mandatory spending, telah bermetamorfosis menjadi pertemuan moral dan sokongan  simpatik kepada perjuangan ribuan TMK dari 5 OP –yang acap disudutkan dan menjadi korban RUU Kesehatan.

Peta berubah perlahan. Media pun  kritis. Tengoklah  sindonews.com yang menurunkan judul menohok:  “RUU Kesehatan Rampas Hak Rakyat akan jaminan Kesehatan” (21/06) –yang  mewartakan sikap Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI).

Ormas Muhammadiyah –yang mengelola 119  rumah sakit dan 12 Fakultas Kedokteran  Universitas Muhammadiyah–  sekali lagi bersuara keras. “Kontroversi RUU Kesehatan. Muhammadiyah Minta Tunda: Jangan Terus Dipaksakan!” (tvonenews.com, 22/06).

Juga, Nahdatul Ulama (NU)  menolak RUU Kesehatan dengan alasan berbeda. Tercatat, 43 institusi koalisi masyarakat sipil meminta  pengesahan RUU Kesehatan ditunda.

Sebelumnya Partai Buruh pun serikat  pekerja Indonesia –yang kencang menolak UU Cipta Kerja— konsisten menolak RUU Kesehatan.

Alhasil, RUU Kesehatan ini menciptakan sendiri “jebakan betmen” yakni mandatory spending. Dan, menjadi “majelis hakim” yang tampil   “mengadili”  narasi RUU Kesehatan, benarkah dibuat untuk kepentingan rakyat?

Yth. Wakil Rakyat dan Pemerintah, atas nama  akuntabilitas  publik, ijinkan bertanya. Bagaimana menekan  prevalensi stunting yang masih 21,6% menjadi konon 14% tatkala mandatory spending  ditiadakan? Bagaimana menjawab Kepala BAPPENAS Suharso Munoarfa yang pesimis  10 target RPJMN 2020-2024 bidang kesehatan bakal tercapai?

Jangan sampai   bidang kesehatan pilar goyah negara kesejahteraan itu tak terhempang dan menjadi persoalan berkelanjutan.

Menekan prevalensi stunting menjadi 14%,  dan menguatkan kesehatan bukan lagi  pilar goyah negara kesejahteran, itu  dua hal amat penting dari perlunya kereta api cepat. Itu skor keempat dan kelima yang kudu dimenangkan cepat-cepat. Dengan skenario apik memasukkan lagi  mandatory spending RUU Kesehatan. Jika tidak, takluk skor lima itu telak. Sebab itu, tunda RUU Kesehatan. Tunda bayar utang, tiadakan dulu utang baru. Sampai rakyat mendengar pidato Presiden baru. Tabek.

[Muhammad Joni, SH., MH., Advokat Pro Kesehatan Rakyat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia/MKI]

Share