Rohingya Protes di Bangladesh, Tuntut Repatriasi ke Myanmar
TRANSINDONESIA.co | Puluhan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh, Kamis (8/6) berunjuk rasa, menuntut untuk direpatriasi ke Myanmar, sehingga mereka dapat meninggalkan kamp-kamp kumuh yang telah mereka tinggali sejak melarikan diri dari penindakan keras militer yang brutal di tanah air mereka pada tahun 2017.
Lebih dari satu juta orang Rohingya dijejalkan di kamp-kamp di Bangladesh Tenggara, permukiman pengungsi terbesar di dunia. Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari tindakan militer Myanmar hampir enam tahun silam, meskipun sebagian dari mereka telah lebih lama berada di sana.
Selama demonstrasi hari Kamis di kamp-kamp itu, para pengungsi, tua dan muda, melambai-lambaikan poster dan menyerukan berbagai slogan.
Poster-poster itu bertulisan “Tak ada lagi kehidupan pengungsi. Tak ada lagi verifikasi. Tak ada pemeriksaan. Tak ada wawancara. Kami menginginkan Repatriasi segera melalui kartu data UNHCR. Kami ingin kembali ke tanah air kami.” Poster lainnya bertulisan, “Ayo kembali ke Myanmar. Jangan berusaha hentikan repatriasi.”
Kejahatan yang melonjak, kondisi hidup yang keras, dan prospek suram untuk kembali ke Myanmar membuat semakin banyak pengungsi Rohingya yang meninggalkan Bangladesh dengan kapal ke negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia, dengan mempertaruhkan nyawa mereka.
Data PBB memperlihatkan 348 Rohingya diduga tewas di laut tahun lalu.
Tokoh masyarakat Rohingya Mohammad Jashim mengatakan ia benar-benar ingin kembali ke Myanmar tetapi ia menginginkan hak-hak kewarganegaraannya dijamin.
“Berdasarkan kelahiran, kami adalah warga negara Myanmar. Kami ingin kembali ke rumah dengan seluruh hak kami, termasuk kewarganegaraan, kebebasan bergerak, mata pencaharian, keselamatan, dan keamanan,” katanya kepada Reuters, seraya mengatakan bahwa para pengungsi berharap PBB membantu dalam hal ini.
Militer Myanmar hingga belakangan ini menunjukkan sedikit sekali keinginan untuk menerima kembali Rohingya, yang telah bertahun-tahun dianggap sebagai penyelundup asing di Myanmar dan tidak mengakui kewarganegaraan mereka dan menjadi sasaran pelecehan.
Upaya untuk memulai repatriasi pada tahun 2018 dan 2019 gagal karena para pengungsi, khawatir akan dituntut, menolak untuk kembali.
Satu kelompok terdiri dari 20 Muslim Rohingya mengatakan kepada Reuters bahwa mereka tidak akan kembali ke Myanmar untuk “dikurung di kamp-kamp” setelah mengunjungi tanah air mereka sebagai bagian dari skema percontohan yang bertujuan untuk mendorong repatriasi sukarela. Seorang pejabat Bangladesh mengatakan skema percontohan itu menargetkan sekitar 1.100 pengungsi kembali ke Myanmar, tetapi belum ada tanggal yang ditetapkan untuk itu.
Bangladesh yang berpenduduk padat mengatakan repatriasi pengungsi ke Myanmar merupakan solusi satu-satunya bagi krisis itu. Masyarakat lokal semakin memusuhi Rohingya sementara dana badan-badan bantuan internasional untuk para pengungsi menyusut.
Program Pangan Dunia baru-baru ini mengurangi jatah makanan bulanan dari $10 menjadi $8 per orang. “Situasi kami sekarang memburuk. Masa depan apa yang kami miliki di sini,” kata pengungsi Mohammed Taher, sewaktu berdiri bersama para demonstran. “Dengan dalih verifikasi dan pemeriksaan, Myanmar hanya membunuh waktu.” [voa]