TRANSINDONESIA.co | Guru sebagai pengajar pemberi ilmu pengantar untuk menjalani hidup dalam tatanan peradaban. Guru memiliki banyak kewajiban selain itu juga dituntut untuk menjadi panutan. Tatkala guru terlantar atau merasa ditelantarkan atau dianak tirikan, atau kualitas guru yang menjadi ganjal dan pelengkap penderita, maka akan ada banyak kekecewaan. Rasa kecewa ditelan pahit dan beracun, disampaikan siapa yang mau mendengar maka munculah gerundelan.
Gerundelan ini sebenarnya merupakan suatu bentuk perlawanan bagi yang tidak memiliki daya atau kekuatan, penuh rasa ketakutan,kejengkelan ingin memprotes apa daya nyali dan lidah tak sampai.
Nggerundel itu bagian dari ngujo roso membuka ruang menumpahkan segala unek unek dan ketidakpuasan namun tetap dalam koridor kesopanan dan keamanan. Karena guru memang menjadi panutan, moralitas tetap menjadi relnya.
Guru di sini tidak sebatas pada pendidikan dasar, lanjutan maupun tinggi melainkan siapa saja yang bertugas atau berkaitan dengan lembaga pendidikan. Nama berbeda namun fungsi dan peran guru tetaplah guru. walau para murid sudah terbang mengangkasa ke mana mana guru tetap saja di situ menekuni panggilan dan jalan hidupnya. Ajaran dan nilai nilai moral guru menjadi pilar yang menancap dalam hati sanubari para murid muridnya hingga ia menjadi apa saja bahkan hingga akhir hayatnya.
Guru dituntut menjadi motivator namun faktanya gurunya sering demotivasi, apa yang diajarkan atau disampaikan ke para murid malah menjadi semacam curhat. Memang guru bukan superman, guru juga manusia, punya kebutuhan dan harapan. Namun tatkala dihadapkan dengan kebijakkan, semua wajib patuh walau tanpa aba aba: “para guru siap grak patuh aturan grak “.
Variasi masalah yang dihadapi guru memang kompleks, beraneka ragam termasuk menghadapi murid, menghadapi rumitnya birokrasi, menghadapi tuntutan hidup dsb. Guru seakan menjadi pelengkap penderita mungkin bisa saja pelarian sehingga menjadi profesi terpaksa atau malah tersesat.
Mengajar sebatas menghabiskan waktu dan setelah itu memberi tugas selesailah. Guru malah ada yang mempersulit, sibuk dan terjebak administrasi sehingga menyebalkan dan berdampak hafalan. Moralitas diabaikan keutamaan disimpangkan. Memandaikan mentransformasi, membuat beradab, membuat sadar bertanggung jawab dan disiplin dilupakan.
Menjadi guru, dipandang seperti mendulang sumber daya yang diperebutkan pemberdayaannya maupun pendistribusiannya. Murid bisa saja dieksploitasi dengan berbagai cara bahkan kekerasan simbolik yang berujung transaksional jual beli nilai, jual beli ranking, bahkan jual beli ijasah pun bisa dilakukan. Ketika ada sesuatu yang buntu dalam komunikasi bisa berkembang menjadi konflik yang saling mengintimidasi hingga saling mendiskriminasi.
Guru jauh panggang dari api, seakan administrasi beres, penguasa puas bahagia dengan berbagai laporan supervial dan acara acara seremonial selesai sudah proses pendidikan. Kekuasaan tatkala diawaki pemimpin produk pendidikan yang mengabaikan dan menyimpangkan keutamaan maka akan memarginalkan guru, ia lupa sama sekali akan sekolahannya. Sejatinya pemimpin produk pendidikan amoral itu minder, gagap, masa bodoh, arogansinya sebatas topeng ketamakan dan amarahnya.
Profesi guru, suatu panggilan dan jalan hidup mulia, walau oleh para penguasa dijadikan bunga bunga plastik kebijakannya. Menjadi guru harus berjuang dalam menjalani kehidupannya, karena mengajar bukan asal menyampaikan namun dituntut ada sesuatu yang mencerahkan. Tatkala guru mash sebatas pager bagus atau pager ayu sadar atau tidak akan berdampak pada pengajaran dan hasil didiknya.
Para murid kehilangan akal budi dan moralnya kebanggaannya sebatas angka, rangking. Guru yang sadar akan panggilannya akan tetap menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Mungkin saja tergerus namun spiritnya tetap berkobar pada keutamaannya untuk mencerdaskan dan mencerahkan anak didiknya.
Keutamaan yang menjadi core value antara yang ideal dengan yang aktual memang bisa berbeda bahkan bertentangan. Bisa saja banyak oknum yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mentarget sesuatu sebagai transaksional imbalan atas jasa nilai yang diberikan.
Kepura puraan dalam pembelajaranpun menjadikan lembaga pendidikan pasar jual beli nilai,ranking bahkan gelar. Yang lebih menyedihkan lagi bagi yang tidak mampu mengikuti pasar gelap tadi akan disingkirkan, dianggap slilit bagi sang guru maupun murid lainnya. Bener durung temtu pener, benar belum tentu tepat, yang menginginkan baik dan benar bisa dikatakan munafik atau sok sokan. Dicibir dihina hina, dibully, dianggap duri dalam daging. Yang melakukan penghianatan atas keutamaan pendidikan malah dihormati dipuji puji bahkan selalu terhormat dan dijadikan rujukan.
Melawan memang bukan satu pilihan. Karena kaum kebanyakkan sudah mengamini menjadikan sesuatu mahfum adanya. Bener yen ora umum iku salah, salah yen wis umum dadi bener. Seakan labirin norma etika moral dan nilai menjadi sama, dipukul rata. Apa yang dilakukan benar bisa dianggap salah dan yang salahpun bisa diamini sebagai kebenaran. Pendidikan dan lembaga pendidikan bukanlah karnavalan, bukan pasar ajang untuk jualan gelar nilai apalagi ranking.
Kebanggaan pendidikan baik guru murid dan lembaganya adalah adanya transformasi yang mencerahkan. Tatkala transformasi tiada maka semua akan sia sia belaka. Manusia kembali ke khitahnya untuk mampu memanusiakan sesamanya bukan malah sebaliknya. Pada pendidikan lah jalan untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Homo homini salus manusia menjadi penyelamat sesamanya bukan malah sebaliknya homo homini lupus manusia menjadi pemangsa sesamanya. [CDL]
Lembah Someah 200523