Menguji Intelektualitas Pemikiran Caleg Muda Visi Hukum dan Sosial Politik Kaum Muda

"Saya menekankan, gagasan dan pemikiran Hamdan itu sebaiknya harus diuji di mimbar kampus dan diuji secara akademik oleh para pemikir"

TRANSINDONESIA.co |
Oleh : Farhan Mustafid, SH – Peminat Hukum & Sosial Politik

Pada hari sabtu sore tepatnya pada tanggal 21 Mei 2023, saya melakukan diskusi bersama rekan saya, Hamdan Husein, salah satu politisi muda dari Partai Umat yang diajukan menjadi Caleg DPRD Provinsi Jawa Barat daerah pemilihan Kota Bogor. Singkatnya, di tengah sedang ramainya bermunculan calon-calon legislatif muda ini, saya mencoba menguji pemikiran Hamdan Husein.

Ada satu Ide menarik yang akan dibawanya dalam membangun perubahan sebagai anggota legislatif kelak, “regulasi pendidikan dalam perspektif perlindungan anak di dunia digital, serta regulasi pembangunan yang harusnya berorientasi pada human centric,” tegas caleg yang masih berstatus mahasiswa aktif di Universitas Pakuan Bogor ini.

Menurutnya, tantangan utama bonus demografi Indonesia 2045 mendatang adalah kapasitas sumberdaya manusia yang perlu ditingkatkan seiring perkembangan teknologi digital, terlebih dalam menghadapi persaingan global talents. Salah satu strategi untuk menjaga dan meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia sebagai generasi Indonesia emas di 2045 mendatang, kuncinya terletak pada regulasi penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah yang harus pro perlindungan anak  di dunia digital. Karena dunia digital harus dipahami sebagai dunia bermakna ganda.

Bisa melahirkan generasi emas yang cemerlang atau melahirkan generasi sampah korban ekses negatif dunia digital yang dipenuhi dengan konten berbahaya. Jika anak sekarang di dunia digital keranjingan konten game tak mendidik, perjudian, hingga menjadi korban pedofilia, LGBT hingga ancaman bahaya cyber crime, dipastikan bonus demografi 2045 akan menghadirkan  generasisampah, bukan generasi emas..!

Demikian halnya di dunia nyata, menurut Hamdan kebijakan pembangunan kita harus berorientasi pada human centric approach, bukan seperti sekarang ini yang lebih berientasi pada car centric appoach yang tak ramah anak, tak ramah pejalan kaki dan tak ramah pesepeda. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun saat keluar rumah dan berada di jalanan akan dintai maut setiap detik.

Contoh soal di Kota Bogor, nyaris  tidak ada fasilitas yang nyaman dan aman untuk pejalan kaki, kalaupun ada hanya di seputaran Istana dan Balai Kota, selebihnya adalah kawasan berbahaya untuk anak dan pejalan kaki.  Akibatnya, untuk keselamatannya semua memilih menggunakan kendaraan bermotor untuk kegiatan sehari-hari meski hanya untuk jarak puluhan sampai ratusan meter saja, tak pelak dimana-mana jalanan menjadi penuh sesak kendaraan bermotor, terjadi kemacetan yang mengular, ditambah polusi udara.

Saya menekankan, gagasan dan pemikiran Hamdan itu sebaiknya harus diuji di mimbar kampus dan diuji secara akademik oleh para pemikir. Mulai dari mahasiswa, akademisi dan kelompok Intelektual lainnya, hingga terjadi komprehensif metodologis sebuah gagasan yang layak atau tidak diperjuangkan secara politik. Hingga sanggah menyanggah, bantah-bantahan gagasan para politisi akan terjadi secara argumentatif dan rasional, bukan menyerang secara personal apalagi dengan logical fallacies atau hominem.

Menurut saya langkah menguji inteleltualitas pemikiran para calon anggota legislatif ini sangat penting. Bukankah seluruh pendiri bangsa ini sesungguhnya para intelektual?  Bahkan diawal kemerdekaan, situasi politik dan kenegaraan kita juga dihuni oleh para pemikir.

Karena itu, seharusnya peradaban politik kita juga dibangun kembali dengan tradisi seperti itu, tidak eksplisit monoton dan dekstruktif. Sebab “Pemimpin ialah sebuah agen revolusi yaitu seseorang yang bertindak mempengaruhi orang lain lebih dari tindakan orang lain mempengaruhi dirinya. Kepemimpinan terjadi ketika satu anggota kelompok mengubah hegemoni atau kompetensi orang lain dalam kelompok tersebut”.

Pemimpin itu harus pandai membaca dan mendengarkan baik secara khazanah keilmuan kontekstual hingga falsafah kezuhudan  Lalu harus ditegaskan kembali bahwa Pemimpin itu “membangun kenyataan” bukan sekedar “membangun pernyataan” saja.*

Penulis: Peminat Hukum dan Sosial Politik – Aktifis HMI Kota Bogor dari Universitas Pakuan.

Share