TRANSINDONESIA.co | Oleh: Chrysnanda Dwilaksana
“Buku bukan sebatas kumpulan kata dari deretan huruf, melainkan hasil pemikiran yang dituangkan dalam rangkaian kalimat bermakna”
Aku sangat mencintai apa saja yang berkaitan dengan seni budaya terutama melukis. Dari sejak kelas 4 SD saya mengagumi karya karya seni para maestro Indonesia dan dunia. Aku memang belum paham semuanya, karena lingkunganku masih sebatas mengagungkan lukisan potretyang realis. Untungnya aku juga mengagumi karya karya Basoeki Abdulah, terutama lukisan lukisan pahlawan yang di pajang di ruang kelas kami.
Pada suatu hari saya diajak ayah saya melihat buku seni di jalan Braga Bandung, entah toko apa saya lupa. Di situ saya melihat karya Jack Louis David, Ingres, Titian, Raphael, Michelangelo, Leonardo da Vinci dan banyak lainnya. Buku itu dicetak edisi lux dan berwarna. Hati saya berdebar debar ingin rasanya memiliki buku itu. Apa daya ayah saya pasti menolak karena tidak memiliki uang yang cukup.
Selain para maestro dari barat saya juga sangat mengagumi maestro maestro Indonesia seperti : Affandi, S Sudjojono, Hendra Gunawan, Trubus Sudarsono, Le Man Fong, Dullah, Basoeki Abdulah, Henk Ngantung, Abdulah Suriosubroto, dsb. Semua itu dikenalkan oleh bapak saya dengan menceriterakan dan saya manggut manggut mencoba memahami. Saat berceritera tentangblukisan koleksi Bung Karno di kepala saya seakan melihat apa yang bapak saya ceriterakan. Ruangan besar penuh karya karya seni yang luar biasa.
Ayah saya hobi membaca buku. Bukunya berpeti peti. Sebagian dimakan rayap. Buku buku berbahasa Belanda, yang saya ingat buku buku dengan ilustrasi : C Jetses, MA Koekoek, Bokhorst yang lain lupa. Buku buku itu membawa saya ke alam jaman Hindia Belanda. Ilustrasi menjadi jembatan hati memasuki nuansa yang digambarkan. Buku menjadi kesukaan saya walau hanya sebatas meminjam atau dibelikan buku bekas oleh ayah saya. Dari kecil saya senang dengan buku walau kadang tak memahami apa isi buku itu. Yang penting ilustrasi menarik saya merasa lega, cukup sudah.
Majalah hai pada th 1979 sd 1985 menjadi majalah idaman saya. Sejak SD kelas 6 sampai kelas 3 SMA terus mengikutinya, walaupun belum pernah langganan atau membeli majalah baru. Selalu saja bekas atau lawasan yang saya dapatkan. Harap maklum masa itu membeli majalah eceran apalagi langganan majalah merupakan suatu kemewahan. Yang saya tunggu dari setiap penerbitan majalah hai adalah komiknya dan ilustrasinya . Semua membuat saya merasa tercerahkan. Melihat komik : Trigan, Storm, Arad dan Maya, Yoko Tsuno, Steven Serijn, komik Mahabarata karya Ratmoyo. Kadang ada sisipan komik karya: Jan Minta Raga, Ganes TH, Teguh Santosa, Wid Ns, Hasmi dll. Ada coki pelukis cepat juga kisah kisah lainya. Membaca komik cepat dan selalu mengharapkan dapat membaca kelanjutannya. Harus bersabar kadang terputus kadang malah tidak dapat sambungannya. Namun hati sudah terhibur. Karya karya ilustrator majalah Hai membuat saya terhibur karena kepiawainnya spt karya : Wedha Abdul Rosyid, Kochis, Ardus M Sawega, Dwi Koen dll. Karya ikustrasi yang realis melankolis juga kartun kRtunnya membuat literasi dan imajinasi yang membangkitkan semangat mengambar. Saat itu saya memang hobby menggambar. Membacapun setelah tertarik dari gambarnya. Gambar yang menarik akan membawa keinginan saya mendalami dan membacanya. Tokoh cerita ala detektif dan cerita remaja karya Arswendo Atmowiloto mendominasi seperti : Imung, Lupus, Kiki dan Komplotannya, Keluarga Cemara. Semua terbaca bukan dari bacaanya dulu melainkan ilustrasinya dulu. Gambar menginspirasi dan mendorong hasrat mendalami.
Komik karya Don Lawrence sangat mengesankan buat saya karena cerita kepahlawanan, patriotisme dan juga kaitan antara tradisi dan kemajuan teknologi saling mendukung. Belum lagi ditambah dengan berbagai hal yang secara teknis menggambar realisnya nyaris sempurna. Komik Arad dan Maya yang menceritakan petualangan sepasang remaja dari planet Mytica dengan berbagai pengalaman unik menarik semua membangkitkan daya imajinasi untuk berkembang dalam berbagai model modernisasi. Komik barat mengedepankan rasionalitas, logika, visioner dan juga teknologi. Kisah kisahnya mengembangkan imajinasi yang bukan sekedar fantasi melainkan logika visioner. Cerita Arad dan Maya secara kartunal sangat menarik ditambah cerita yang menggambarkan masa depan mungkin ribuan tahun ke depan kemajuannya pada galaxy yang berbeda. Di situ secara kartunal hal hal lucu yang menjungkirbalikkan fakta juga digambarkan. Cerita petualangan Steven Severijn yang terpisah dari ibu dan saudara perempuannya saat akan migrasi ke Amerika membuat Steven menjadi petualang gelandangan di berbagai negara termasuk China, Boeneo, Batavia, Siberia dsb.
Komik dalam negeri karya para Maestro komik Indonesia menampilkan cerita pewayangan, silat, perjuangan, roman remaja. Yang sama sama membangkitkan daya imajinasi bagi saya untuk tidak sebatas satau atau dua sudut saja melainkan banyak cabang dan banyak hal yang menjadi sumber pengetahuan dan pengalaman. Saat itu komik cerpen dianggap kurang mencerdaskan bahkan dianggap tidak berkaitan dengan mata pelajaran. Kebanyakkan orang tua pada masa itu menganggap matematika segalanya. Pelajaran paling top matematika walaupun tidak dipahami hanya dihafalkan juga. Pemahamanan atas rumus dan esensi dasarnya tidak pernah didapatkan. Dan matematika saking dipujanya malah menjadi momok dan dihindari walau harapan orang tua dan guru sekalipun sepertinya cenderung pada matematika. Siapa yang pandai di bidang matematika dianggap yang paling cerdas dan top. Kembali ke buku komik,cerita cerita dan ilustrasi, menurut saya di dalam mendukung proses belajar anak anak, karena menstimuli anak akankecintaan membaca dan berimajinasi. Bukan sekedar menghafal atau membebek kata guru. Pada waktu itu memiliki pendapat berbeda atau cara pandang berbeda pasti di cela dan dibully dr teman teman bahkan kadang gurunyapun ikutan. Pola belajar yg mendasarkan menghafal akan beku buntu bahkan mati imajinasinya. Dalam hal tertentu dapat saja baik mungkin sebatas itu saja, tiada lagi daya nalar atau keberanian memikirkan atau berpikir di luar main stream. Majalah hai waktu itu memang menjadi bacaan keluarga menengah ke atas, keluarga keluarga kebanyakkan memang belum mampu bahkan suatu kemewahan. Namun sebenarnya masih ada solusi untuk mencarinya di loakan, taman bacaan, atau meminjam teman yang mampu. Usaha mencari majalah hai bukan perkara gampang, harus berani malu dan bersahabat dengan yang mampu, menyisihkan uang saku untuk dapat beli di loakan atau pinjam di taman bacaan. Komik, buku cerita lima benua, kisah Tintin, Asterik, buku silat Api di Bukit Menoreh, Ko Ping Ho dll membuat kenangan dan rindu masa lalu walau serba terbatas bahkan kalau mau membacapun harus berjuang. Ini semua merupakan nostalgia menjelajahi waktu yang telah berlalu untuk menjadi suatu kenangan indah dalam imajinasi dahulu kini dan masa datang.
Pada waktu saya taruna salah satu tujuan pesiar adalah ke toko buku Gramedia jalan Pandanaran. Seperti pengunjung lainnya saya melihat buku yang berada di rak rak buku dan fokus saya melihat buku buku seni dan hobi. Sesekali melihat majalah Asri atau Trubus. Pada saat berputar ke lemari kaca melihat buku tentang pelukis Affandi. Tetapi terkunci rapi di dalam lemari kaca. Mau melihat langsung tidak bisa. Mau meminta dibukakan lemari juga malu tidak enak karena pasti tidak mampu membeli. Harga buku itu 900 ribu rupiah kalau tidak salah sedangkan uang saku taruna pada waktu itu 25.000 rupiah. Buku Affandi yang ditulis Raka Sumichan dan Umar Kayam membuat hati saya terus bergejolak untuk melihat apa isi buku mahal itu. Untuk bertanya melihat lihat perlu nyali. Saya berpikir keras waktu itu bagaimana bukunya sdh mahal tentu lukisannya sangat mahal. Saya akhirnya memanggil salah penjaga toko buku Gramedia untuk melihat buku Affandi. Mungkin dia antara ragu dan percaya kpd saya. Ini kok aneh ada taruna Akpol mau lihat buku affandi. Dia sempat bengong sesaat sadar setelah saya mengulangi pertanyaan saya. Mungkin dia akan menolak malu dan mengiyakan sambil berlari menggambil kunci lemari. Saat buku itu di tangan saya rasanya gemeter saya seolah pak Affandi sendiri yang memberikan : ” nyoh ….”.
Saya buka pelan satu persatu dengan hati hati. Maklum buku larang nek suwek piye? Hati saya berdegup keras deg degan melihat karya karya affandi di buku itu. Seperti disetrum jiwa saya dan dalam hati saya hanya bisa berkata : ” edan ki…”. Saya amati pelan pelan satu persatu. Saya nikmati betapa luar biasanya seorang Affandi. Ndelok bukune wae wis girap girap. Hati saya sangat gembira seakan mendapat nutrusi hati dan jiwa saya. Rasanya ingin melukis bat bet bat bet ngaffandi. Tapi bagaimana mungkin di asrama masih serba terbatas banyak kegiatan dari pagi sampai malam. Saat pesiar ya eman eman waktunya kalau untuk melukis. Hari merdeka melepaskan kepenatan selama mengikuti kegiatan di kampus. Akhirnya memutuskan :” ndelok wae wes kanugrahan rasah nggagas sing aeng aeng”. Saya lanjutkan lembar demi lembar dan memang spt ada transformasi besar dari karya Affandi ke jiwa saya. Saya tidak sempat membaca apa tulisannya yg terbaca hanya Raka Sumichan dan Umar Kayam dengan judul buku:” Affandi”. Mata tidak tertarik pada huruf huruf, mata terlanjur jatuh hati pada yang visual. Hampir satu jam saya olak alik buju itu. Tanpa yerasa hampir jam 21.00. Peringatan pengusiran para pengunjung diumumkan. Saya segera mengembalikan buku itu dg berkata :” mbak terima kasih ya. Lain waktu saya beli”. Mbaknya hanya senyum. Mungkin berkata :” tenan e”. Lha janji saya kan lain waktu dengan jangka yang tidak tertentu. Dan juga tidak beli di toko itu. Hehehehe ngeles sok berjanji. Saya bisa menepati membeli buku itu setelah dinas lebih dari 20 th saya membelinya di toko buku Gunung Agung Kwitang. Affandi memang luar biasa bs nyetrum saya untuk terus bat bet nglukis sampai saat ini.
Pada saat saya PTIK saya melihat banyak ilmu tetapi berbahasa Inggris mau tidak mau belajar bahasa Inggris walau grothal grathul. Tatkala sekolah S2 di KIK UI saya mulai membaca karya karya Romo Mangun, Pramodya Anantatoer, Budi Dharma, Umar Kayam, Kahlil Gibran, Leo Tolstoy, Paulo Choelo, Muhammad Sobari, Gunawan Muhammad, Sindhunata, Frans Magniz Suseno, Mudji Sutrisno, Tan Malaka, Telihard de Cardin, Nawal el Sadawi, dll. Buku kumpulan cerpen terbitan gramedia.
Dari buku kita bisa belajar untuk hidup dan memahami kehidupan. Menyadsrkan kita juga bahwa : manusia hidup bukan karena orang tua melainkan dari belas kasih Tuhan.
Sebagai penutup tulisan ini saya ingin menceriterakan;” kisah anak kecil yang ditinggal ibunya entah ke mana sedangkan ayah yang merawatnya meninggal karena covid 19. Mengharukan dan bahkan menyedihkan, bagaimana anak ini hrs bertahan hidup dan menyiapkan masa depan yang lebih baik. Di dalam wajahnya nampak kosong airmatapun mungkin sudah habis. Saya jadi teringat cerita dari Rusia ( dlm seri cerita adri lima benua) terbitan gramedia yang berjudul :
” Simon dan Orang Bercahaya”.
Kisah ini menceriterakan tentang Simon tukang sepatu yang bertemu dengan Mikael ( yang sebenarnya Malaikat Tuhan, yang sedang dihukum atau disuruh belajar tentang hidup dan kehidupan manusia. Mikael menentang perintah Tuhan mencabut nya ayah dari dua anak yang baru beberpa saat ibunya meninggal. Bagaimana anak anak ini bisahidup tanpa orang tua pikir Mikael. Singkat ceritera Mikael seperti dijatuhkan di dekat gereja tanpa busana pada musim dingin, kemudian ditolong oleh Simon dan hidup membantu menjahit sepatu di rumahnya. Simon dan keluarganya tidak pernah tahu siapa dan dari mana Mikael. Di dalam perjalanan hidup bersama Simon, Mikael tidak banyak bicara dan hampir tidak pernah tersenyum. Hanya 3x tersenyum saat melihat anak anak dari orang tua yang nyawanya dicabut Mikael. Mereka hidup dengan orang tua angkat yang mencintai dan menghidupinya. Mikael belajar dari hidup dan kehidupan manusia bahwa hidup itu benar dari kasih Tuhan. Anak anak itu tetap hidup dan ada yang mengasihinya, mereka bisa hidup tumbuh dan berkembang. Banyak hal yang dipahami Mikael bahwa kasih Tuhanlah yang memberi hidup dan menghidupi. Saat Mikael benar benar yakin Tuhanlah sumber hidup dan kehidupan dan Sang Empunya kehidupan, Mikael kembali bercahaya dan mengadahkan ke langit dirinya kembali menjadi malaikat dan menuju Aurga. Barulah di situ Simon dan keluarganya mengetahui bahwa mikael itu malaikat Tuhan.
Dari kisah di atas mengajak kita semua merenung belajar bahwa hidup adalah anugerah. Bahwa hidup itu berkat dan harus menjadi berkat. Manusia sejelek apapun memiliki kebaikan dan niat baik. Kita seringkali hanya minta dipahami. Kecanduan pujian dan tepuk tangan. Gampang menghakimi. Sulit memaafkan dalam hati yang selalu memendam rasa dendam. Serakah dan mengeluh, rasa syukur hampir hampir tidak pernah diucapkan. Menyampaikan rasa terimakasih saja berat. Menganggap dirinya paling, dari paling hebat sampai paling menderita. Semua diukur dari ukuran duniawi. Iri dengki, hilang ketulusan hati. Memang hidup ini berat tidak mudah, hidup adalah perjuangan.
Sastrawan dr india : Rabindranath Tagore menuliskan ” di dalam tidurku aku bermimpi bahwa hidup adalah kebahagiaan
Di kala aku bangun aku menemukan bahwa hidup adalah kewajiban
Tatkala aku melakukan kewajibanku aku menemukan kebahagiaan”.
Hidup adalah kenyataan. Hidup adalah kewajiban. Kebahagiaan adalah melakukan kewaniban. Seorang pastor dan piritualis dari India Anthony de Melo menuliskan bahwa : kenahagiaan bukan sesuatu tetapi buah sesuatu. Manusia sering dikatakan homo homini lupus. Manusia itu serigala bagibsesamanya. Akan menjadi lebih baik tatkala manusia adalah memanusiakan sesamanya. Sitou timou tomou tou ( spirit dari Manado Sulawesi Utara). Manusia lahir hidup hingga kematiannya singkat bahkan diistilahkan :urip mong mampir ngombe”. Hidup menjadi berkat tatkala membawa manfaat. Di mana senantiasa mampu berbagi, peka peduli dan berbela rasa kepada sesama terutama yang termarjinalkan dan dalam penderitaan.
Selamat Hari Buku 230423