MENYIKAPI PERBEDAAN 1 SYAWAL PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Achmad Kholiq, Dosen Hukum Islam pada Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati.

Sakralitas” 1 Syawal

Pengalaman terjadinya perbedaan menentukan hari raya, tampaknya akan kembali berulang pada tahun ini. Kalender “resmi” yang telah beredar di kalangan masyarakat luas telah mencantumkan hari raya tahun ini akan jatuh pada tanggal 21 April 2023. Hal ini juga yang dipakai oleh organisasai masa Islam besar yang ada di Indonesia, sebut saja Muhammadiyah yang  sejak beberapa waktu yang lalu bahkan jauh sebelum awal ramadhan, telah menetapkan bahwa Ijtimak akhir bulan Ramadhan 1444 H, akan terjadi pada hari 20 April 2023, dan bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan 1444 H. ini artinya secara “falakiyah” besok paginya akan terjadi bulan baru (syawal) dan berarti menurut Muhammadiyah, hari raya tahun ini akan jatuh pada tanggal 21 April 2023 atau kEmungkina lebih awal dari keputusan pemerintah atau ormas lainnya seperti NU.

Seperti halnya Muhammadiyah, NU juga memiliki pendangan tersendiri tentang terjadinya 1 Syawal tahun ini. Berdasarkan perkiraan sementara, NU (dan Pemerintah) tampaknya akan mempunyai fatwa berbeda dengan Muhammadiyah. Walaupun demikian keputusan inipun tampaknya belum final di kalangan NU dan pemerintah, karena masih tetap harus menunggu untuk pelaksanaan rukyat pada tanggal 20 April nanti. Jika ternyata tanggal 20 April itu kalangan ahli rukyat NU melihat peluang adanya ketinggian bulan (hilal) telah mencapai dua derajat atau lebih maka dengan sendirinya 1 syawal akan terjadi esok harinya yaitu tanggal  21 April, akan tetapi jika pada tanggal 20 April nanti ketinggian derajat hilal tidak bisa dideteksi dan belum memadai untuk di rukyat, maka puasa ramadahan harus disempurnakan 30 hari, atau dengan kata lain 1 Syawal akan terjadi tanggal 22 April 2023.

Prediksi dan kemungkinan-kemungkinan itu sebenarnya bisa saja berubah jika ada keputusan politik warga NU, pemerintah  maupun Muhammadiyah untuk melakukan ijtihad baru beberapa hari ke depan.
Kemungkinan berbedanya  hari raya yang diputuskan oleh dua organisasai masa Islam besar ini, tentu saja tidak akan cukup memberikan jawaban yang menyenangkan pada masyarakat luas, atau bahkan sebaliknya, masyarakat di tingkat awam tidak begitu perduli dengan perbedaan ijtihad dari dua Ormas Islam ini.

Kemungkinan ini disebabkan karena kalender resmi yang beredar “terlanjur” telah menetapkan tanggal 21 April sebagai hari raya tahun ini walaupun dari Pihak pemerintah sendiri belum mengeluarkan keputusan secara resmi. Berbagai aktifitas dan momentum-momentum penting serta jadwal-jadwal kegiatan masyarakat sebelum maupun pasca lebaran, hampir bisa dipastikan telah banyak berpedoman pada tanggal 21 April  sebagai hari besar umat Islam ini.

Dengan pendekatan teori fiqh dan falakiyah, terjadinya perbedaan itu sebenarnya dapat dibenarkan, mengingat metodologi yang digunakan oleh dua versi inipun memang berbeda. Penggunaan metodologi yang berbeda dalam menentukan keputusan hukum, boleh jadi akan menghasilkan produk yang berbeda, dan ini wajar sepanjang kaidah kaidah istinbath (penggalian hukum) nya dipenuhi secara benar. Paling tidak kita mengenal ada dua teori yang dapat digunakan dalam menentukan awal bulan, yaiutu, teori hisab dan Rukyat,. Kedua teori ini sebenarnya sama sama berpedoman pada ketinggian hilal (bulan muda/ bulan sabit), sebagaimana tersebut dalam salah satu Hadis  Nabi SAW” Berpuasalah kalian bila sudah melihat bulan (hilal) dan berbukalah kalian jika sudah melihat bulan (Hilal).Hanya saja kedua teori ini, berbeda dalam menentukan berapa derajat ketinggian hilal itu bisa dijadikan pedoman untuk menentukan bulan baru pada esok harinya.
Sebagian madzhab Rukyat menafsirkan hadis tersebut secara tekstual, yang berarti keabsahan penentuan bulan baru hanya dapat dipenuhi jika dilakukan rukyat (penglihatan).

Sementara itu untuk membuat ukuran penglihatan, kalangan madzhab rukyat berpendapat bahwa apabila ketinggian hilal sudah mencapai dua derajat di atas titik nol sebelah barat, maka kemungkinan besar baru dapat dideteksi dengan penglihatan, jika pendeteksian itu berhasil, bisa dipastikan esok paginya adalah bulan baru (syawal). Berbeda dengan  sebagian madzhab hisab yang beranggapan bahwa walapun ketinggian hilal belum sampai dua derajat, sepanjang ia sudah berada di atas garis titik nol derajat maka sudah dapat dilakukan perhitungan dengan menggunakan teori astronomis dan rumus-rumus trigonometri yang akurasinya cukup kuat. Wal hasil produk kedua keputusan ini jelas akan berbeda, dan berdasarkan kerangka teori tersebut, maka penganut teori hisab hampir bisa dipastikan menentukan lebih awal ketimbang teori rukyat yang mengandalkan ketinggian hilal sebesar dua derajat.

Secara keilmuan, dengan menggunakan pendekatan metodologi fiqh, produk dari kedua teori tersebut memiliki peluang yang sama kebenarannya, hal ini dimungkinkan karena metodologi yang digunakan oleh kedua teori tersebut dapat dibenarkan secara keilmuan (falakiyah). Apalagi  keduanya masih merupakan sebuah ikhtiar dalam menafsirkan satu hadis Nabi di atas. Jika hadis Nabi tersebut termasuk katagori Dzanniyu al-Dilalah ( teks nash yang masih mungkin menerima peluang penafsiran) maka produk ijtihad dari kedua pandangan itu memiliki legitimasi yang memadai. Persoalannya adalah apakah secara sosiologis dua perbedaan itu cukup memberikan rasa nyaman bagi kebanyakan masyarakat luas yang mungkin saja ukuran logika mereka  tentang hal ihwal rukyat atau hilal tidak begitu penting.

Mungkinkah ada jaminan secara sosilologis bahwa hasil produk berbeda itu tidak menimbulkan friksi dan gesekan psycologis di tengah masyarakat awam. Lalu apa solusi yang dianggap cukup memadai untuk mengantisipasi dampak sosiologis ini.

Ikhtiar Mencari Jalan  Tengah

Sekali lagi, bahwa sebagai sebuah produk nalar dan ikhtiar manusia, produk  fiqh dalam bentuk apapun tidak merupakan kebenaran yang mutlaq, semutlak al-Qur’an maupun Hadis Nabi, hasil ijtihad dari sebuah penalaran manusia selalu mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Artinya, hasil ijtihad tentang penentuan 1 Syawal dari dua golongan dan madzhab yang berbeda, hanya bersifat “mungkin benar” dan tidak memasuki wilayah “pasti paling benar”. Kesadaran ini harus menjadi sebuah pandangan dari masing masing golongan yang berbeda, kesadaran ini juga akan membantu mengeliminir gesekan gesakan sosial yang tidak perlu sebagai imbas dari perbedaan produk fiqh. Pandangan ini juga penting apalagi jika mengingat misi puasa tidak hanya merupakan ritual yang bersifat legal formalistic, tetapi lebih dari itu ada esensi yang ingin di bangun lewat puasa, yaitu keikhlasan dan internalisasi ruh puasa itu sendiri dalam bentuk saling menghargai dan memahami antar sesama.

Dengan kerangka pemikiran itu berarti bahwa penentuan 1 syawal sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang mutlak melainkan sesuatu yang sederhana dan lentur, ia bisa berbeda sesuai dengan setting sosial, budaya, geografis, metodologis dan pandangan-pandangan fiqh. Perbedaan dalam penentuan 1 syawal harus dianggap sebagai dinamika pemikiran dan pelangi dalam khazanah fiqh Islam, tinggal bagaimana dampak dari pelangi ini tidak menimbulkan ekses yang tidak harmonis di kalangan umat Islam.

Paling tidak ada dua pilihan yang bisa di tempuh dalam menghadapi perbedaan tersebut: pertama, Biarlah perbedaan itu berjalan di tengah masyarakat secara alami tinggal bagaimana tugas pemerintah, tokoh –tokoh elit agama di kalangan umat Islam memberikan penjelasan yang memadai dan menyenangkan kedua pihak, sehingga tidak muncul ada kesan menghakimi satu sama lain dan memunculkan “ideologi” kebenaran mutlak.

Pilihan ini jika ditempuhpun memang perlu waktu lama, dan memang masalahnya tidak sesederhana itu, hal ini bisa di maklumi karena banyak di kalangan umat Islam bahkan termasuk pemimpin umat kita, secara tidak sadar terjangkiti penyakit egoisme sekterian, tidak jarang di kalangan kita sering kali perbedaan itu di pelihara bukan untuk dicari hikmahnya sebagai rahmat, melainkan sebagai alat dan sarana untuk membangun “jatidiri” dan kebanggaan sekterianisme, “yang penting tampil berbeda” dan ujung ujungnya terjebak pada fanatisme madzhab.

Seringkali di antara sesama tokoh umat menganngap bahwa perbedaan produk ijtihad yang dihasilkannya sebagai symbol untuk menyatakan pembelaaan terhadap madzhabnya dan dipandang mewakili satu kebenaran, sehingga kadang kala mereka tidak cukup mampu menyediakan ruang untuk kebenaran yang diyakini oleh orang lain. Pada situasi tertentu terkadang sampai pada taraf menganggap “sakral” terhadap hasil ikhtiar pemikirannya. Jika fenomena ini berkembang dan meretas sampai tingkat akar rumput (masyarakat awam), tidak mustahil akan semakin memperkeruh ukhuwah antara sesama umat Islam. Wal hasil jika alternatif ini ditempuh, maka diperlukan tingkat kearifan yang tinggi dari semua pihak terutama tokoh-tokoh umat Islam.

Kedua, Pemerintah mengambil keputusan untuk memberikan pedoman secara seragam untuk semua pihak, termasuk kalangan yang berbeda untuk menggunakan satu waktu 1 Syawal. Alternatif ini sebenarnya  jalan yang paling mungkin di tempuh untuk mengurangi sekecil mungkin benturan psyicologis di kalangan awam serta menjaga harmoni antara umat Islam di tingkat bawah akibat perbedaan 1 syawal. Sebab bagaimanapun kita tidak bisa menutup mata, bahwa  bagi kebanyakan masyarakat awam, perebedaan perayaan 1 Syawal  sangat berdampak pada ketidaknyamanan dan sedikit banyak mengurangi keharmonisan antar umat Islam. Sepanjang hasil ijtihad dari lembaga Pemerintah (Departemen Agama dan MUI) memenuhi kaidah kaidah yang benar dalam penentuan  awal bulan, maka keputusan politik seluruh umat Islam untuk merujuk pada hasil ijtihad pemerintah dalam penentuan 1 Syawal, sesungguhnya bukan sesuatu yang keliru dan “halal” , bahkan akan berdampak positif secara sosiologis dan valid secara hukum.

Tanpa harus menafikan hasil ijtihad dari masing masing madzhab atau golongan manapun tentang penentuan 1 Syawal, tidak ada salahnya jika merujuk pada satu kaidah fiqh  (hukmul Qadhi raf’ul ikhtilaf)” keputusan Qadhi (pemerintah) menghapuskan semua perbedaan.”

Kaidah ini secara eksplisit memberikan ruang bagi semua golongan yang berbeda untuk masuk dalam satu frame hukum secara lebih utuh dan menjangkau semua lapisan sosial, sehingga resiko sosial dan psyochologis dari perbedaan 1 Syawal dapat dieliminir sedemikian rupa. Ada dua alasan mengapa alternatif ini bisa di tempuh, pertama, Dari perspektif metodologi istinbath, penggunaan kaidah tersebut dapat dianggap sejalan dengan konsep maqashid al-Syar’iyah yang secara substantif mengedepankan kemashalahat umum. Ijtihad satu  golongan tentang 1 Syawal  sesungguhnya memiliki nilai mashlahat, hanya saja ia berlaku bagi komunitas tertentu yang terikat secara organisatoris oleh golongan atau mafdzhab tersebut.

Artinya Jika NU, Muhamadiyah, Persis atau Ormas lainnya memiliki keputusan fatwa tersendiri tentang 1 syawal, maka ia berlaku untuk komunitasnya, dan tentunya memiliki nilai mashlahat bagi komunitasnya masing masing. Akan tetapi jika masing masing ormas merujuk pada satu kaidah tersebut maka hampir bisa dipastikan kemashlahatan yang lebih universal akan lebih tercapai, paling tidak secara sosiologis  rasa nyaman dan harmonis dalam perayaan hari raya akan di rasakan warga secara maksimal.

Meninggalkan kemashlahatan yang bersifat parsial menuju kemashlahatan yang lebih universal, adalah salah satu  prinsip dasar maqashid syar’iyah  dalam hukum Islam. Prinsip ini idealnya menjadi salah satu pedoman sekaligus alternatif yang ditempuh ketika kasus kasus yang bersinggungan dengan kepentingan banyak orang terjadi di kalangan umat Islam.  Lagi lagi masalahnya adalah bagaimana di kalangan tokoh umat yang berbeda itu memiliki jiwa besar untuk secara ikhlas menempuh alternatif ini.

Memang tidak sederhana seperti membalikkan telapak tangan, karena masalah ibadat dan hukum juga sering kali diantara kita ber”apologi” dengan persoalan keyakinan, helah pun akan muncul dengan argumentasi, bagaimana mungkin melakukan sesuatu yang tidak saya yakini kebenarannya.

Dengan kata lain sebagian pengikut setia golongan akan berpandangan “bagaimana mungkin mengikuti 1 Syawal dengan  pandangan lain yang tidak diyakininya”. Problem problem seperti ini sebenarnya sangat sederhana dan bisa diselesaikan sepanjang ada kemaun dan tekad kuat dari para tokoh umat untuk mengambil keputusan “politik” dengan mengedepankan ukhuwah dan persaudaraan.
Kalau ternyata pada akhirnya perbedaan 1 Syawal itu tetap terjadi, tentu saja kita hanya bisa berharap semoga semua pihak saling menghargai dan memahami pendapat masing-masing, Ukhuwah diantara sesama umat Islam tetap harus dikedepankan, dan tidak boleh tercoreng hanya oleh persoalan yang sangat berbau fiqh dan mormatif formaslistik, karena keragaman, perbedaan dalam tradisi fiqh masih tetap dianggap lazim dan niscaya terjadi dalam sejarah perkembangan fiqh.

Hanya saja patut kita hargai bahwa dalam ukuran logika awam, yang notabene menjadi kelompok mayoritas di negri ini, perbedaan 1 syawal di kalangan umat Islam akan berdampak mencidrai semangat kebersamaan dan ukhuwah, Logika ini tentu saja tidak berlebihan, karena bagi sebagian masyarakat awam, teori apapun tentang penentuan hal ikhwal hari raya, tidak begitu penting, yang penting adalah bagaimana hari raya ini dapat di rayakan dengan semangat kebersamaan dan ukhuwah, bukan saling berprasangka, menebar sinis karena perbedaan hari raya, semoga saja para elite agama kita akan lebih berani secara ikhlas menanggalkan egoisme sekterianismenya untuk mengambil pilihan pada kemashlahatan umat yang lebih universal, karena mengambil pilihan manapun sepanjang didasari keyakinan sekaligus keikhlasan akan sama halalnya dengan substansi dari pilihan itu. (Wallahu A’lam).

Cirebon, 17 April 2023
Achmad Kholiq

Share