TRANSINDONESIA.co | Oleh: Irjen Pol Prof. Chrysnanda Dwilaksana
PENDAHULUAN
Kepolisian merupakan institusi pemerintah yang bertugas dan bertanggung jawab akan keteraturan sosial, Kamtibmas (keamanan, ketertiban dalam masyarakat) / keteraturan sosial dengan tugas pokoknya melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum .
Polisi bekerja melalui pemolisian. Pemolisian merupakan segala upaya atau tindakan kepolisian dalam birokrasi maupun di dalam masyarakat yang dilakukan pada tingkat management maupun operasional dengan atau tanpa upaya paksa untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial.
Konteks keteraturan sosial ini dalam rangka mendukung produktivitas masyarakat agar senantiasa kehidupan mereka dapat meningkat. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah terwujud dan terpeliharanya keamanan dan rasa aman, sehingga warga masyarakat dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang mendukung produktivitasnya dengan baik dan benar. Berbagai ancaman, hambatan, gangguan dapat berdamak pada terhambat, rusak bahkan matinya produktivitas.
Dengan demikian keutamaan polisi dalam pemolisiannya adalah demi : kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban.
Ancaman, hambatan, dan gangguan keteraturan sosial yang kontra produktif salah satunya adalah premanisme.
Premanisme mengancam, menghambat, merusak bahkan mematikan, produktivitas.
Para preman (mafia) menjadi benalu membuat warga masyarakat merasa : terancam, ketakutan, keterpaksaan, terganggu keamanan dan rasa amannya.
Dalam konteks produktifitas inilah polisi berfungsi melalui pemolisiannya untuk dapat mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial dengan terjaminnya keamanan dan rasa aman.
Model-model pemolisian secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua yaitu model konvensional dan model kekinian. Pemolisian model konvensional lebih menekankan pada tindakan penegakan hukum dan memerangi kejahatan (Crime Fighter). Polanya dapat dikatakan reaktif ala pemadam kebakaran. Adapun pemolisian kekinian lebih menekankan pada pencegahan, proaktif, membangun kemitraan, dan keberadaan polisi dapat menjadi ikon untuk kecepatan, kedekatan dan persahabatan. Segala upaya tersebut dalam menyelenggarakan pemolisiannya dengan mengedepankan kemitraan secara proaktif, problem solving dan kemitraan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Model pemolisian ini dikenal sebagai community policing/ di dalam penyelenggaraan tugas polisi dikenal dengan Polmas .
Model polmas/ community policing menjadi 3 bagian yaitu: (1) berbasis wilayah; (2) berbasis kepentingan; dan (3) berbasis dampak masalah. Ketiga kategori memiliki pendekatan yang berbeda, tetapi terdapat benang merah yang menunjukan saling keterkaitan satu dengan lainnya. Model pemolisian itu dapat digunakan sebagai acuan dasar dan pedoman dalam implementasinya. Sekalipun berbeda variasinya berdasarkan corak masyarakat dan kebudayaannya, tetapi tetap ketiganya memiliki prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum. Mangunwijaya mengatakan: ”satu prinsip seribu gaya”.
1. Pemolisian Berbasis Wilayah. Pemolisian dengan berbasis wilayah (geographical community), dalam implementasinya, membagi wilayah dalam lingkup kecil RW dan Kelurahan, serta dijabarkan sistem-sistem jejaring dan berbagai kelompok kemasyarakatan yang ada. Model ini dapat dikatakan sebagai model struktural dari tingkat Mabes sampai dengan Polpos bahkan hingga tingkat Babin Kamtibmas. Semua tingkatannya dibatasi wilayah hukum dengan mengikuti pola pemerintahan, atau pola-pola khusus seperti yang diterapkan di Polda Metro Jaya yang wilayahnya terdapat 3 propinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat). Ada Polres yang membawahi lebih satu wilayah kota/kabupaten. Ada juga wilayah Polsek yang lebih dari 1 kecamatan. Pada tingkat Polpos dan Babin Kamtibmas, pemolisian perlu dibuat secara konsisten atau ada modelnya. Dalam pemolisiannya, tentu berkaitan dengan penanganan-penanganan masalah dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, terdapat saling keterkaitan antara model yang berbasis wilayah dengan yang berbasis kepentingan maupun dengan yang berbasis dampak masalah.
Maka timbul pertanyaan, bagaimana membangun sistem terpadu yang saling mengisi dan saling melengkapi serta saling menguatkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas)? Jawabannya adalah dengan membangun back office sebagai linking pin/pusat K4Ei (Komunikasi, Komando dan pengendalian, Koordinasi, Kontrol dan monitoring, Evaluasi dan informasi).
Back office merupakan ruang operasi jika dianalogikan adalah dirigen dalam suatu orchestra untuk mengharmonikan pekerjaan yang diselenggarakan antar wilayah, fungsi/bagian, maupun dalam kondisi yang diskenariokan, atau kondisi-kondisi kontijensi baik dari faktor manusia, faktor alam, maupun faktor kerusakan infrastruktur. Back office ini merupakan sistem terpadu yang mampu membangun database, komunikasi, komando dan pengendalian, koordinasi, kontrol dan monitoring, evaluasi serta informasi. Back office mampu memberikan pelayanan prima dengan pemolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern.
Untuk mengawaki back office diperlukan keunggulan-keunggulan dalam mengimplementasikannya: (a) unggul sumber daya manusia (SDM); (b) unggul data; (c) unggul pemimpin dan kepemimpinannya; (d) unggul Sarpras (berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi); (e) unggul Jejaring; dan (f) unggul anggaran.
2. Pemolisian Berbasis Kepentingan. Model pemolisian berbasis kepentingan tidak dibatasi wilayah, tetapi dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan bersama (community of interest). Pendekatan polmas yang diterapkan dapat juga meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah lebih luas seperti Kecamatan bahkan Kabupaten/Kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan (Rahardjo, 2002). Berbagai kepentingan tersebut berupa hal yang berkaitan: dengan pekerjaan/profesi, hobby, kegiatan, dan kelompok kemasyarakatan. Model ini diimplementasikan secara variasi oleh fungsi-fungsi kepolisian yang ada pada pemolisian berbasis wilayah (Mabes sampai dengan Polsek) sesuai dengan kategori kepentingannya (internasional, regional, nasional, dan tingkat lokal). Melalui keunggulan-keunggulan itu yang diharmonisasikan oleh para petugas di back office, walaupun pemolisiannya pada tingkat lokal sekalipun, tetapi dampaknya dapat menjadi global karena terdapat sistem dasar dan sistem pendukungnya yang saling terkait.
3. Pemolisian Berbasis Dampak Masalah. Penanganan akar-akar masalah ini bukan pada tugas polisi, tetapi potensi konfliknya dapat berdampak menjadi konflik yang sangat mengganggu, menghambat, merusak, hingga mematikan produktivitas masyarakat. Tentu saja akan menjadi tugas kepolisian tatkala terjadi gangguan terhadap keteraturan sosial. Pola pemolisiannya juga berkaitan dengan yang berbasis wilayah maupun yang berbasis kepentingan, tetapi polanya berbeda karena penanganannya dengan pola khusus atau yang tidak bersifat rutin, dan tetap memanfaatkan sistem back office.
Pola penanganan terhadap dampak masalah ini dilakukan dengan membentuk satuan-satuan tugas (satgas) yang juga bervariasi karena juga akan berbeda dampak masalah dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, keselamatan, dan sebagainya. Jika sudah terjadi dampak masalah, di sinilah core dari model pemolisian berbasis dampak masalah yang penanganannya diperlukan keterpaduan (integrasi) dari pemangku kepentingan ataupun antar satuan fungsi. Dengan membangun model pemolisian ini, akan menjadi wadah untuk mensinergikan, mengharmonikan dalam menangani berbagai masalah (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan pertahanan), sehingga solusi-solusi yang tepat dapat diterima semua pihak yang digunakan untuk pra, saat, maupun pasca. Keterpaduan inilah yang menjadi kecepatan, ketepatan, dan kekuatan sosial, yang juga akan menjadi ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai dampak masalah bahkan dampak globalisasi.
PEMOLISIAN DI ERA DIGITAL
Pemolisian di era digital yang di implementasikan dalam model Electronic Policing (E-policing) yang menunjukkan pemolisian secara online yang dapat mendukung terbangunnya Smart City dengan membangun birokrasi yang adil dan sebagai inisiatif anti korupsi (Haryatmoko, 2015 hal 43-49), pelayanan kepolisian yang prima yaitu: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses (Chryshnanda, 2011 hal 118-120). Saat ini kita berada di era digital, dimana kita hidup dalam konteks budaya digital (Komisi Kateketik KWI, 2014 hal 9).
Di era kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat berdampak terjadinya globalisasi . Selain segi positif globalisasi juga membawa dampak pada berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan publik hingga gangguan keamanan ataupun kejahatan yang terjadi dalam masyarakat akan semakin kompleks dan semakin canggih, karena semakin sistematis, terorganisir secara profesional dan memanfaatkan teknologi dan peralatan-peralatan modern yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli/ profesional. Di samping itu tuntutan, harapan dan tantanganyapun akan semakin tinggi dan kejahatanyapun akan semakin sulit untuk dicegah, dilacak dan dibuktikan. Selain itu tuntutan dan harapan masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menyelenggarakan pemolisiannya akan semakin meningkat yaitu adanya pelayanan prima.
Pelayanan prima kepolisian dapat dihasilkan dalam birokrasi yang adil, dimana birokrasi yang mampu memangkas/ memberantas korupsi yang telah mengakar dan terpola, terstruktur dan seperti mafia yang telah mengaburkan antara yang legal dan ilegal, dimana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan (Haryatmoko, 2015 hal 43).
Sejalan dengan pemikiran di atas maka Kepolisian memerlukan model birokrasi yang adil yang dapat mendukung penyelenggaraan pemolisian yang mampu menghasilkan produk sebagai berikut :
1. Manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, kesejahteraan masyarakat, kemajuan institusi Polri.
2. Model pemolisianya baik yang berbasis : wilayah, kepentingan, maupun dampak masalah ( ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan keselamatan).
3. Fungsi dan tugas pokok polisi baik sebagai institusi, sebagai fungsi maupun sebagai petugas kepolisian. Arah untuk Polri di depan
Polri sebagai institusi yang profesional (ahli), cerdas (kreatif dan inovatif), bermoral (berbasis pada kesadaran, tanggungjawab dan disiplin).
4. Model-model pembinaan baik untuk kepemimpinan, bidang administrasi, bidang operasional maupun capacity building.
Dalam membangun pemolisian di era digital pemikiran-pemikiran secara konseptual dan bertindak pragmatis yang saling melengkapi dan menjadi suatu system dalam rangka menggeser pola-pola yang manual, parsial dan temporer menjadi sistem-sistem online yang terpadu dan berkesinambungan.
Tatkala membangun sistem yang perlu diperhatikan adalah proses-proses dan standar-standar yang mencakup: masukan (input), proses (cara mencapainya) maupun keluarnya (output), yang memerlukan adanya standar-standar baku sebagai pedoman operasionalnya (SOP). Membangun sistem pemolisian merupakan upaya-upaya merubah habitus dan mind set para petugas polisi dalam menggunakan pemolisiannya. Kesulitan merubah mind set para petugas polisi dan stakeholders lainnya dari pola manual menuju sistem online adalah dari kelompok-kelompok status quo dan kelompok-kelompok di zona nyaman.
Mereka akan terus mempertahankan dan memperjuangkan secara keras agar previlage-previlage yang telah dan sedang mereka nikmati tidak hilang.
E-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi (Chryshnanda DL, 2015 Hal 88). Bisa juga dipahami e-policing sebagai model pemolisian yang membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian E-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatif dan mudah diakses.
E-Policing bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena dengan sistem-sistem online dapat meminimalisir bertemunya person to person. Dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang administrasi contohnya sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) (Chryshnanda DL, 2015 Hal 235).
E-policing juga dikatakan sebagai reformasi birokrasi, karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet. Dalam hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan sebagainya.
E-policing dikatakan sebagai bagian creative break through, karena banyak program dan berbagai inovasi dan kreasi dalam pemolisian yang dapat di kembangkan melalui berbagai aplikasi misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam Traffic Management Centre (TMC) (Chryshnanda DL, 2011 Hal 302) baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan secara langsung sekaligus.
E-Policing bukan dimaksudkan untuk menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya.
E-Policing justru untuk menyempurnakan, meningkatkan kualitas kinerja sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern (Chryshnanda DL, 2015 Hal 3) sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus (Chryshnanda DL, 2015 Hal 27).
E-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat. Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: Cepat, Tepat, Akurat, Transparan, Akuntabel, Informatif dan mudah diakses.
Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya. Pembahasan
E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks:
1. Kepemimpinan,
2. Administrasi,
3. Operasional,
4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).
Unsur-unsur pendukung dalam membangun E-Policing:
1. Komitmen moral;
2. Political Will;
3. Kepemimpinan yang transformatif;
4. Infrastruktur (hardware dan software) sebagai Pusat data, informasi, komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian;
5. Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi (K3i) melalui IT dan untuk kontrol situasi;
6. Petugas-petugas polisi yang berkarakter (yang mempunyai kompetensi, komitmen dan unggulan) untuk mengawaki untuk yang berbasis wilayah, menangani kepentingan dan dampak masalah;
7. Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin, khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun operasionalnya);
8. Tim transformasi sebagai tim kendali mutu, tim backup yang menampung ide-ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan dari atas (top down).
Tim ini sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan monitoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun menghasilkan program-program baru;
9. Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk update, upgrade dan mengantisipasi dinamika perubahan sosial yang begitu cepat.
PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINANNYA
Dalam melaksanakan perubahan Polri yang promoter (profesional, modern, terpercaya), model kepemimpinan transformasional dapat dijadikan sebagai pilihan. Kepemimpinan transformasional menunjuk pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan member kepercayaan kepada para anggotanya maupun masyarakat untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut.
Teori transformasional mempelajari juga bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran operasional. Secara konseptual, kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti, sebuah proses transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi.
Kepemimpinan transformasional sebagai proses yang padanya “Para pemimpin dan pengikut saling menaikan diri ketingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan dan bukan didasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan social, atau kebencian. Dengan cara demikian, antar pimpinan dan bawahan terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka dapat mengoptimalkan usaha kearah tujuan yang ingin dicapai organisasi. Melalui cara ini, diharapkan akan tumbuh kepercayaan, kebanggaan, komitmen, rasa hormat, dan loyal kepada atasan sehingga mereka mampu mengoptimalkan usaha dan kinerja mereka lebih baik dari biasanya.
Ringkasnya, pemimpin transformasional berupaya melakukan transforming of visionary menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan plus pemimpin) bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan seperti; attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individualized consideration. Secara ringkas perilaku dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Attributed charisma, bahwa charisma secara tradisional dipandang sebagai hal yang bersifat inheren dan hanya memiliki oleh pemimpin-pemimpin kelas dunia. Penelitian membuktikan bahwa charisma bisa saja dimiliki pimpinan di level bawah dari sebuah organisasi. Pemimpin yang memiliki cirri tersebut, memperlihatkan visi, kemampuan, keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain (masyarakat) dari kepentingan pribadi. Karena itu, pemimpin kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan model panutan oleh bawahannya, yaitu idealized influence.
2. Idealized influence. Pimpinan tipe ini berupaya mempengaruhi bawahannya melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etika dari setiap keputusan yang dibuat. Ia memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya. Dampaknya adalah dikagumi, dipercaya, dihargai, dan bawahan berusaha mengidentikan diri dengannya. Hal ini disebabkan perilaku yang menomorsatukan kebutuhan bawahannya, membagi resiko dengan bawahan secara konsisten, dan menghindari penggunaan kuasa untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, bawahan bertekad dan termotivasi untuk mengoptimalkan usaha dan bekerja ke tujuan bersama.
Inspirational motivation. Pemimpin transformasional bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi untuk berpartisipasi kepada bawahan melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan, memberi visi mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjadikan harapan yang jelas dan transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok, antusiasme dan optimisme dikorbankan sehingga harapan-harapan itu menjadi penting dan bernilai bagi mereka dan perlu direalisasikan melalui komitmen yang tinggi.
3. Intellectual stimulation. Bahwa pemimpin mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya diharapkan, bawahan merasa pimpinan menerima dan mendukung mereka untuk memikirkan cara-cara kerja mereka, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan tugas, dan merasa menemukan cara-cara kerja baru dalam mempercepat tugas-tugas mereka. Pengaruh posotif lebih jauh adalah menimbulkan semangat belajar yang tinggi (oleh Peter Senge, hal ini disebut sebagai “learning organization”.
4. Individualized consideration. Pimpinan memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli mereka terhadap organisasi. Pengaruh terhadap bawahan antara lain, merasa diperhatikan dan diperlakukan manusiawi dari atasannya.
Dengan demikian, kelima perlakuan tersebut diharapkan mampu berinteraksi mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku bawahan untuk mengoptimalkan usaha dan performance yang lebih memuaskan kearah tercapainya visi dan misi organisasi.
Sifat dan nilai-nilai yang diharapkan dari seorang pemimpin kepolisian yang transformasional antara lain: Jujur, Professional, Adil, Cerdas, Compassionate, Trustworthy, Tidak memihak, Perhatian, Berdedikasi, Reliable, Accountable, Role model, Transparent, Courageous, Untouchable, Integrity, Friendly, Approachable, Respectfull dan Ethical.
Orientasi pemimpin kepolisian yang transformasional antara lain Legalitas menjadi legitimasi, Elitis menjadi populis, Mengumpulkan kekuatan menjadi menyebar kekuatan, Truth menjadi loyality, Individual menjadi organization, Short term menjadi long term, Justice menjadi mercy, Rules menjadi principle, Duty menjadi conscience, Responsibility menjadi frernity dan Monologis menjadi dialogis.
Melalui model kepimpinan yang transformasional diharapkan dapat melakukan perubahan yang mendasar terutama perubahan secara kultural. Yaitu mampu membawa anggotanya untuk membangun hubungan polisi dengan warga komuniti mempunyai tiga (3) posisi yaitu:
1. Posisi seimbang atau setara yaitu polisi dengan masyarakat menjadi mitra saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
2. Posisi polisi yang menganggap seolah-olah masyarakat sebagai atasannya yang berbagai kebutuhan rasa aman yang harus dipahami dan dipenuhi oleh polisi.
3. Posisi polisi sebagai pelindung, pengayom masyarakat yang sekaligus aparat penegak hukum yang dapat dipercaya. Dan mampu membangun terwujudnya hubungan baik yang tulus antara polisi dengan warga masyarakat sehingga Polri mendapatkan kepercayaan masyarakat.
SANG PEMIMPIN REFORMASI BIROKRASI
Menjabarkan makna dan implementasi reformasi birokrasi menuju kepolisian yang Presisi dapat dilihat dari para pemimpinya dalam melakukan perbaikan lingkup birokrasi yang dipimpinnya. Perbaikan yang dilakukan ditunjukan dari :
1. Visi yang menunjukkan tingkat kecerdasan untuk mewujudkan impian bagi penyiapan yang lebih baik di masa yang akan datang. Sang pemimpin tatkala tingkat kecerdasannya cupet atau hanya pas-pasan maka tidak akan mampu mereformasi; Kejujuran, seorang pemimpin tatkala tidak jujur maka akan melakukan kebohongan-kebohongan dan bermain-main dengan kekuasaannya tidak lagi menjadi patriot. Bisa saja menjadi benalu yang menggerogoti;
2. Ketulusan hatinya, merefleksikan bahwa apa yang menjadi kebijakan dalam mewujudkan mimpinya adalah untuk memperbaiki kesalahan, menyiapkan kebutuhan dan harapan di masa kini maupun bagi masa depan yang lebih baik; Berani, memiliki keberanian untuk menjadi tempered radikal, keluar main stream atau out of the box dalam mewujudkan impiannya dan, Bertanggung jawab, apa yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, administrasi, fungsional, sosial maupun secara moral.
3. Sang pemimpin sadar bahwa dirinya akan menjadi sang pencerah, role model bahkan sebagai ikon. Sang pemimpin akan menemui tantangan, ancaman, hambatan, gangguan yang besar dari dalam maupun dari luar. Dari bawahan, teman selevel hingga atasannya. Kenyamanan dengan pola-pola yang lama menjadi lilitan kuat untuk mempertahan kenyamanan dan kemampuannya. Sang pemimpin reformasi berani mengingatkan dan menghentikan yang salah, mengatakan dan melakukan yang benar. Tiada hari tanpa berbuat kebaikan dan melakukan perbaikan.
Perbaikan-perbaikan yang dilakukan menjadi harapan yang ditunjukkan. Pikiran, perkataanya dan perbuatanya tertuju untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, siap di masa kini dan menyiapkan masa depan yang lebih baik.
Prestasi sang pemimpin bisa dikategorikan sebagai berikut:
1. Mampu menyatukan atau menyamakan persepsi untuk maju atau membangun atau melakukan apa saja dan dipercaya penuh oleh warganya,
2. Mampu memberdayakan apa saja potensi-potensi yang ada untuk menjadi kemaslahatan hidup banyak orang,
3. Mampu memprediksi (melihat sesuatu baik dari segi positif maupun negatifnya), mengantisipasi (mencegah) dan memberikan solusi atas konflik dan masalah-masalah yang terjadi,
4. Mampu memberikan motivasi, konsultasi bahkan tempat curhat bagi siapa saja,
5. Senantiasa menginspirasi (kreatif, inovatif) selalu ada hal-hal baru sebagai terobosan kreatif,
6. Mampu mentransformasi kompetensinya ke segala lini,
7. Integritasnya terbukti dan teruji saat menggunakan kewenangan dan kekuasaannya,
8. Karya-karyanya di bidang administrasi, operasional, fisik bangunan atau infrastruktur, sistem-sistem (soft ware dan hard ware), hukum dan peraturan-peraturan, dan sumber daya manusia yang berkarakter mampu menjadi unggulan dan layak dibanggakan.
Pemimpin yang transformatif adalah pemimpin yang mampu mengerjakan atau mengambil kebijakan sebagaimana yang seharusnya. Ia tidak terikat hutang budi, tidak takut mengatakan apa yang semestinya, tidak kucing-kucingan, bekerja atas dasar kompetensi ketulusan dan kemanusiaan, bernyali untuk menjadi pionir dan ikon perubahan, berani memerangi mafia, tidak melakukan hal-hal yang kontra produktif yang berdampak publik tidak percaya.
Sang pemimpin mampu menunjukkan karakter dan integritasnya. Keberhasilan sang pemimpin dapat dinilai dari: Internal kelembagaan, Kebijakan-kebijakannya mampu memprediksi, mengantisipasi dan memberi solusi, Mampu memberdayakan potensi-potensi yang ada, Menginspirasi, dan mampu menjadikan perubahan, Mampu menyelenggarakan tugas secara profesional, cerdas, bermoral dan modern, Visioner, Apa yang dirasakan oleh masyarakat, Meningkatnya kualitas kamtibmas yang ditunjukkan (tidak adanya premanisme, pemalakan, kewajiban setor, backing, illegal dan sebagainya).
Pemimpin seakan menjadi harapan dan menjadi nahkoda pembawa kapal mencapai tanah harapan dan dunia baru. Pemimpin tatkala dikatakan kuper (kurang pergaulan: katrok atau ndeso, tidak mau tahu dan memaksakan jurus pokok-e yang sangat pekok) maka segala asset dan sumber daya akan mati satu persatu atau bahkan bisa mati bersama-sama dan remuknya berkeping-keping dan langsung menjadi sampah apalagi teknologi. Pemimpin katrok sangat disukai di dalam birokrasi patrimonial atau otoriter karena tingkat loyalitasnya yang luar biasa kepada ndoro-ndoronya, selalu siap menyenang-nyenangkan ke atas walau menginjak yang di bawah dan menyepak yang di samping.
Semua keburukan dan kekurangan tertutup kabut loyalitas dan ndoro ini sebagai cantelan dan pengikat untuk selalu dan langgeng berkuasa.
Tidak mudah memperbaiki birokrasi seperti ini karena bukan hanya naganya yang marah bila dilakukan perubahan, namun kutu-kutu birokrasipun akan terus membuat gerah, gatal dan tidak nyaman. Salah satu kerja kutu-kutu birokrasi ini menyewa atau membayar media abal-abal untuk menyerang kanan, kiri, atas dan bawah. Kutu-kutu birokrasi memang militan dalam KKN karena mereka pelaksananya dan pemangkas saraf-saraf pada sistem yang dilumpuhkan. Sistem-sistem yang ada akan menjadi onggokan bagai bangkai yang menimbulkan suasana dan aroma tidak sedap. Nalar akan, tergerus kuasa, logika akan ditukar dengan seonggok candu KKN. Semu, kepura-puraan, saling hantam itulah birokrasi dengan pemimpin yang kuper.
Pemimpin itu pemikir?
“Kalau pemimpin menjadi pemikir, lalu siapa yang memimpin?”, Dalih seperti ini sering ditunjukan sikap bahwa pemimpin tidak perlu ikut memikirkan, cukup memerintah, mendelegasikan dan mengoreksi, model dan gaya pemimpin seperti ini dapat dipastikan menjadi benalu birokrasi. Pemimpin yang anti memikir dan kalau memikirkan praktis-praktis, sangat dangkal dan sederhana, ini petaka buat institusi. Karena tidak akan mampu memajukan, can not doing anything, isinya marah dan memerintah belum lagi serakah hanya mengandalkan galak maupun cluthak.
Pemimpin di era digital adalah pemimpin-pemimpin yang transformasional, yang mampu mentransferkan ilmu dan pemikirannya kepada anak buah. Pemimpin itu guru, inspirator, motivator, konsultan, sekaligus fighter (pemberani). Pemimpin yang tidak mampu berpikir maka ia akan menjadi ekor dan tindakannya cenderung sebatas reaktif dan temporer saja, tak jarang malah mengedepankan sikap dan cara-cara anarkis. Pendekatan personal, pendekatan uang dipuja dan diagungkan sebagai penukar otaknya. Yang dihasilkan adalah orang-orang yang licik, penuh dengan iri dengki, kroni-kroni, klik-klikan dan selalu tergantung pada jabatan dan kekuasaan karena uang sudah meracuni dan melumpuhkan otak maupun hatinya.
Tatkala pemimpin mampu menjadi pemikir, maka akan:
1. Mampu memberikan ide-ide baru yang visioner untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu, siap dimasa kini dan mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik.
2. Mampu memberdayakan sumber daya yang ada secara kreatif dan inovatif.
3. Mampu memotivasi, memberi solusi dan menjadi konsultan.
4. Mampu menjadi guru dalam mentransformasikan keahlian pada anak buahnya.
5. Berani untuk memperjuangkan kebaikan dan kebenaran serta seorang fighter untuk mendobrak status quo dan kelompok-kelompok comfort zone.
Dengan demikian apa yang dikerjakan mampu dipertanggung jawabkan secara, administrasi, hukum, fungsional (kemanfaatan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat dan sebagainya), moral untuk menunjukan kebenaran yang diperjuangkan untuk memajukan dan menumbuh kembangkan institusi yang dipimpinya.
Bagi pemimpin publik, kepemimpinannya tercermin dalam perilaku organisasi dan pelayanan kepada publik. Karena disitulah kebijakan-kebijakannya diambil dan diputuskan dan bagaimana ia mampu merubah mind set dan culture set yang dipimpinnya. Inti dari administrasi adalah management, inti dari management adalah kepemimpinan, inti dari kepemimpinan adalah pengambilan keputusan, inti pengambilan keputusan adalah human relation.
Pemimpin akan menjadi role model bagi anak buahnya.
Pemimpin yang dijadikan role model/ikon pembaharuan oleh anak buahnya, karena memiliki integritas, komitmen, kompetensi dan keunggulan. Itulah karakter pemimpin.
Pemikiran-pemikiran pemimpin yang transformasional adalah pemikiran yang :
1. Visioner,
2. Problem solving,
3. Kreatif dan inovatif,
4. Menjadikan unggul.
Perkataan-perkataannya adalah :
1. Memotivasi,
2. Menyadarkan,
3. Memberdayakan,
4. Menguatkan,
5. Menyejukkan,
6. Membawa pada harapan. Perbuatan-perbuatannya : a. Secara pribadi mampu menunjukan moralitasnya, b. Mampu menunjukan kepiawaiannya dalam berpikir yang visioner dan kompetensinya dalam bekerja, c.Mencerminkan kecintaan dan kebanggaan pada pekerjaannya, d. Menunjukan disiplin dan tanggung jawabnya.
Tatkala pemimpin pemikiran, perkataan dan perbuatannya tidak konsisten, mencerminkan tingkat kualitas berpikirnya, kompetensinya, juga attitudenya. Pemimpin publik tercermin dari pelayanan publiknya + perilaku anak buah yang dipimpinnya.
Naluri Artistik dan Estetik Para Pemimpin
Kepemimpinan itu seni, untuk meyakinkan, menggerakkan orang lain mengarahkan, memberdayakan dan mengatasi berbagai hambatan, menemukan berbagai terobosan baru dalam rangka mencapai tujuan.
Kalau kepemimpinan dipahami sebagai seni berarti para pemimpin perlu memiliki naluri artistik dan estetik. Pemimpin yang memahami seni dengan naluri artistic dan estetika maka akan memimpin dengan hati, berempati bahkan mampu memberdayakan secara maksimal. Pemimpin dengan kepemimpinan yang kaku tanpa kemampuan dan kepedulian akan seni biasanya akan cenderung menjadi otoriter, jaim, ekslusif dan sulit diajak komunikasi bahkan seakan akan menjadi anti kemajuan.
Seni akan menghidupkan dan lebih memanusiakan? Suasana kerja yang tidak manusiawi biasanya tidak nyaman, potensi konfliknya besar dan tidak kreatif. Bekerja dengan datar saja dan menunggu perintah, tiada inisiatif baru, pengekor, tanpa mampu bersaing apalagi melampaui. Pemimpin yang mampu membangun keadilan atau adanya rasa keadilan tingkat kesadaran, tanggung jawab dan disiplin tinggi.
Pemimpin menjaga dan membangun peradaban, tatkala hanya mengandalkan hal-hal teknis tanpa mampu mengapresiasi dan mengekspresikan seni cepat atau lambat apa yang dipimpinnya terus merosot bahkan kontra produktif.
Pemimpin yang bernaluri artistik dan estetik akan lebih peduli pada kemanusiaan dan mampu memanusiakan manusia untuk hidup terus meningkat kualitasnya.
Citra positif akan disandangnya dan penghargaan akan seni menjadi pilar kesuksesan dalam membangun peradaban dan meningkatkan kualitas hidup.
Pemimpin dengan gaya kepemimpinannya akan mewarnai/ menunjukan karakter pemimpinya. “Singa dipimpin kambing akan mengembik dan kambing dipimpin singa akan mengaum”. Lebih menakutkan 100 kambing yang dipimpin singa daripada 100 singa yang dipimpin kambing. Analogi singa dan kambing menunjukan kelas dan karakter pemimpin.
Pemimpin yang tidak berkarakter tatkala memimpin datar-datar saja, lambat-lambat, kerapuhan internal, ekspektasi dari luar rendah dan banyak dampak negatif lainya yang muncul. Demikian sebaliknya, tatkala pemimpin mampu mewujudkan mimpinya, membawa kesejahteraan bagi bawahannya dan ada kepastian, semangat, ada empowering, berwibawa dan disegani. “Tidak ada anak buah yang salah”.
Rapot sang pemimpin semestinya ada dan dapat dilihat dari empat hal bidang administrasi :
1. Karakter dan integritas SDM,
2. Kualitas sistem perencanaan (prediksi, solusi, produksi/pencapaian tujuan, antisipasi),
3. Modernitas Sarpras: back office , aplikasi dan network .
4. Sistem anggaran (berbasis kinerja baik yang budenganeter maupun non budenganeter).
5. Di bidang operasional dilihat dari operasi rutin, khusus dan kontijensi dari pola-pola kinerja yang berbasis wilayah, fungsional dan dampak masalah. Kesemua itu terwujud dalam system-sistem pelayanan publik yang prima: a. Cepat, b. Tepat, c. Akurat, d. Transparan, e. Akuntabel, f. Informatif dan g. Mudah diakses.
6. Dalam bidang capacity: terefleksi dalam core function dan core competitornya. Kesehatan birokrasi akan sehat dan berkualitas pula dalam pelayanannya kepada masyarakat. Sebaliknya birokrasi yang sakit akan menjadi benalu dan kontra produktif.
PENUTUP
Keluhan, kekhawatiran, dan keputusasaan sering muncul dalam perbincangan dikalangan bawah hingga atas tatkala melihat kondisi sosial, ekonomi, politik yang tidak kunjung berubah secara signifikan. Menyedihkan memang, harapan menjadi sebuah pepesan kosong, angan menjadi cita di ruang hampa. Hingga akhirnya pasrah dan dengan sedikit harapan Tuhan berpihak kepada kaum lemah dan susah, dengan turunnya Satria Piningit.
Satria Piningit bukanlah dewa atau malaikat yang dijatuhkan dari surga ke atas dunia. Bukan pula sebagai keajaiban yang serba instan. Satria Piningit akan muncul dari kalangan manusia kebanyakan yang sadar dan peduli akan penderitaan dan kesengsaraan banyak orang. Sadar dan pedulinya itu yang menjadikan spirit untuk berani berkomitmen terhadap dirinya untuk menyiapkan diri atau setidaknya hanyut dalam dunia yang serba carut marut sarat dengan KKN. Satria Piningit adalah lahirnya pemimpin yang waras dan cerdas. Waras artinya memahami apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya serta penuh kesadaran untuk menjalankannya.
Cerdas bermakna visioner, mampu memperbaiki kesalahan di masa lalu, siap di masa kini dan mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik. Disinilah pentingnya pabrik-pabrik pemimpin atau pencetak pemimpin dengan penuh kesadaran tanggung jawab menyiapkan pemimpin-pemimpin yang waras dan cerdas.
“Sajroning turu aku ngimpi yen urip iku kabungahan, sajroning tangi aku meningi yen urip iku kuwajiban. Jroning tandang kuwajiban akumeningi kabungahan”. Puisi Rabindranath Tagore itu memberikan signal bahwa hidup merupakan kebahagiaan yang merupakan harapan bagi yang hidup, kebahagiaan merupakan hasil dari kewajiban yang merupakan suatu perjuangan (kerja keras). Puisi tadi sejalan dengan “harapan perlu diperjuangkan, perjuangan adalah pengorbanan”. hidup adalah harapan, Harapan tidak datang dengan sendirinya namun harus diperjuangkan dan perjuangan merupakan pengorbanan.
Pemimpin pembawa harapan, kehidupan, simbol perjuangan dan dialah yang harus berani dan rela berkorban. Ketulusan hati dan kejujuran adalah karakter pembawa harapan.
Tulus untuk berjuang dan rela berkorban demi kemajuan, peningkatan kualitas hidup rakyat serta jujur, tidak membohongi rakyat. Pemimpin bagi polisi yang presisi adalah role model yang berkarakter dan menjadi ikon perubahan, simbol perjuangan, pembawa harapan menjadi kenyataan.
Tatkala sang pemimpin kotor, penuh dengan kepentingan, tukang rekayasa, produk hutang budi, produk titipan atau pesanan kelompok kepentingan, track record yang menjadi simbol uang, maka cepat atau lambat penyakitnya akan kumat dan sudah dapat dipastikan tidak jujur dan membohongi rakyat.
Pemimpin diberi kewenangan, kekuasaan, kemudahan dan berbagai fasilitas yang melampaui orang lain. Itu semua diberikan sebagai amanah dengan harapan sang pemimpin menjadi fajar budi memberi inspirasi, bahkan menyadarkan yang dapat menghidupkan.
Tatkala pemimpin membawa amanah maka berkah yang didapat orang yang dipimpinnya dan menjadikan amanah terwujud. Sebaliknya, tatkala pemimpin hanya mencari kesenangan pribadi maupun kelompoknya dan mengabaikan yang dipimpinnya maka sang pemimpin akan dihujat bahkan dilaknat serta membawa bala kesengsaraan pada yang dipimpinnya. Tatkala sang pemimpin tidak tulus dan tidak berhasil mewujudkan amanahnya, sebenarnya ia sudah menebar dosa. Karena ia sudah mungkar atas fasilitas yang dia dapatkan.
Kalau pemimpin yang selalu di dewa-dewakan dan menganggap dirinya dewa maka, ia sebenarnya sudah menyakiti yang dipimpinnya. Kesalahan sang pemimpin menjadi dosa karena dampaknya luas bagai debu yang menyesakkan nafas kehidupan banyak orang. Kesalahan-kesalahan akibat kelalaian, akibat ketidak mampu manpun merupakan dosa bagi pemimpin. Apalagi karena kesengajaan dengan merekayasa, mengajarkan dan memerintahkan.
Salah memilih orangpun sebenarnya menjadi suatu dosa. Karena dengan salah memilih orang demi kroni dan kepentingan yang tidak sesuai dengan hati nurani bagi hidup dan kehidupan akan menyengsarakan. Dengan tidak mampu memajukan saja, sudah menyusahkan apalagi membuat kesalahan. Diam, tidak melakukan sesuatu, membiarkan terjadinya penyimpangan, inipun dosa bagi pemimpin. Dosa diam inilah juga menyengsarakan. Semakin tinggi tingkat kepemimpinannya semakin luas tebaran debu dosanya, dana semakin banyak yang disengsarakannya.
Tatkala berebut jabatan, kekuasaan bagi orang beriman ini cermin berlomba-lomba menebar debu dosa. Dan bagi yang mendewa-dewkan jabatanpun juga sebagai angin penyebar debu dosa. Konteks dosa ini bukan urusan baik dan benar secara pribadi dengan Sang Khaalik,melainkan juga yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan banyak orang.
Sebuah cerita klasik dari Borobudur tentang burung berkepala dua bisa kita jadikan analogi untuk melihat pemimpin dan kepemimpinannya. Kepala bagian atas memakan buah-buahan dan makanan-makanan yang segar, enak, dan manis. Kepala yang satunya (kepala bawah) memakan sisa-sisa dari apa yang dimakan oleh kepala atas. Suatu ketika kepala bawah protes kepada kepala atas agar sesekali diberinya makanan yang enak seperti yang dimakannya. Tak disangka kepala atas mengatakan: “Wahai kepala bawah, terimalah dan syukurilah apa yang kau nikmati. Kita toh satu tembolok. Jadi, makanlah apa yang menjadi makananmu.” Mendengar jawaban seperti itu, kepala bawah merasa dilecehkan. Dalam hati ia berkata: “Kalau begitu aku akan makan sembarangan, toh satu tembolok juga”. Pada suatu hari kepala bawah nekat makan jamur beracun. Matilah burung berkepala dua tadi.
Cerita di atas dapat dikaitkan kepada pemimpin dan gaya kepemimpinannya yang kelihatan anggun dan berwibawa. Ia menempatkan posisi pada menara gading dikelilingi kemewahan puja puji dan berbagai kenikmatan duniawi. Di lain pihak, anak buah yang menjadi bawahannya seakan budak yang dijadikan ganjalan penyangga kemegahannya itu. Ia tak mempedulikan kesedihan dan kesusahan bawahannya. Ia juga tidak mempedulikan kesengsaraan masyarakat luas akibat kebijakan yang diambilnya. Cepat atau lambat bawahan, anak buah ini bisa saja nekad, melakukan harakiri, melakukan tindakan fatal yang muaranya memang pimpinan tadi akan rontok di singgasananya. Mereka bisa saja nekad karena pemimpin sudah lupa Pemimpin tidak jarang malahan menyakiti mereka. Anak buah sudah biasa sengsara, tidak usah dimanja nanti malah nglunjak dan repot mengatasinya, demikian pikir sang pemimpin. Bayangkan saja, betapa tega seorang pemimpin menjadikan bawahannya sebagai ganjel kesuksesan dan keberhasilannya.
Empati seorang pemimpin terhadap anak buah merupakan kesegaran roh dan jiwa mereka dalam bekerja.
Pemimpin yang berempati tidak mematikan tetapi menyadarkan, membangkitkan, menghidupkan, memberi daya gerak dan daya untuk menjadi dinamis tumbuh dan berkembang. Dirinya bukan menjadi matahari tetapi justru menjadi bulan, memberi pencerahan dan penerangan di saat kegelapan. Di saat terjadi kesesatan, di saat terjadi kelesuan, di saat terjadi keputusasaan pemimpin tampil sebagai sang penuntun, pembimbing, bintang pedoman, arah, dan tujuan. Hidupnya siap berkorban dalam membangun dan mencapai sasaran. Tak gentar terhadap hambatan, tantangan, ancaman yang bisa merusak dan mematikan dirinya maupun keluarganya.
Jiwa solidaritas seorang pemimpin akan melegenda. Pemimpin dikenang bukan dari kekayaannya, kezalimannya, tetapi karena kerendahan hatinya, empatinya, rasa senasib sepenanggungan, kerelaan berkorban, kemampuan membawa kemajuan, menempatkan pada tempat sebagaimana yang seharusnya. Dadi ratu kudu ono lelabuhane, ora ono lelabuhane ora ono gunane. Ratu iku anane mung winates dadi kawulo tanpo winates.
“Saya lebih senang dan bangga berada di tengah-tengah anak buah saya,” demikian dikatakan oleh Jend. Sudirman. Walau sakit dan harus ditandu, ia ikut bergerilya untuk merasakan apa yang menjadi penderitaan anak buahnya. Kehebatan seorang pemimpin bukanlah pada dirinya dan tebar pesonanya, tetapi ada suatu transformasi menjadi kebaikan dan selalu ada perbaikan.
Mahatma Gandi sebagai pemimpin berani dan mau memberi teladan dengan menenun sendiri pakaiannya. Ia tidak harus dengan berjas dasi.
Martin Luther King Jr, pemimpin pergerakan antirasialis di Amerika, pun memperjuangkan hak-hak kaumnya dan berempati untuk tidak dengan kekerasan. Bahkan, ia pun menjadi korban kekerasan yang menghilangkan nyawanya.
Lagi-lagi pemimpin memang yang akan memberi warna menjadi bintang pedoman arah dan tujuan. Menginspirasi, mampu memberdayakan dan mengajak anak buahnya mewujudkan mimpi-mimpinya. Di zaman modern ini pemimpin dituntut untuk berani, cerdas, dan murah hati, bukan dilayani. Dia mau menjembatani dan mau memahami bahkan menjadi role model bagi rekan dan bawahannya.
Ki Hajar Dewantoro tokoh pergerakan nasional pendidikan mengajarkan filosofi kepemimpinan: 1. Ing Ngarso Sung Tulodo, 2. Ing Madyo Mangun Karso, 3. Tut Wuri Handayani.
Para Pemimpin yang transformatif akan memberikan polisi dan pemolisiannya menjadi Presisi yang mampu mewujudkan Polisi sebagai penjaga Kehidupan, pembangun peradaban dan sekaligus pejuang kemanusiaan.**
Daftar pustaka
Bayley Wiliiam G, 1995, The Encyclopedia of Police Science ( second edition ), Newyork & London, Garland Publishing.
Bayley David H , 1994, Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),jakarta, Cipta Manunggal.
————————, 1998, What Work in Policing, New York, Oxford University Press
Coser, Lewis, 1956, The Functions of Social Conflict. New York: The Free Press, 1956
Chryshnanda, 2009, Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2009, Polisi penjaga kehidupan, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2011a, Kenapa Masyarakat Takut dan Enggan Berurusan dengan Polisi, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2011b, Pokoknya Anda Saya Tilang, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2014, Polisi Rakyat Iku Jujur Ora Ngapusi, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
—————-, 2015, Electronic Policing “Pemolisian di era digital, Jakarta, Belum diterbitkan
—————-, 2016, Othak Athik Gathuk“Celometan Mafia Birokrasi, Jakarta, Group Mataraman Press
Finlay mark dan Ugljesa Zvekic,1993, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal,.
Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Kompas
—————–,2014, Etika Publik, Yogyakarta, Kanisius
Mangun Wijaya YB, 1999, Menuju Indonesia yang serba baru, Jakarta, Gramedia.
Kunarto, 1995, Polisi harapan dan Kenyataan, Klaten, CV Sahabat.
————,1995, Merenungi kritik terhadap Polri (buku ke 2),Jakarta, Cipta manunggal.
Rahardjo, Satjipto, 2002, Polisi Sipil,Jakarta, Gramedia
———————–,2000, Sosok Polisi Rakyat Menuju Indonesia Baru, Diskusi panel LP3HI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Penegakan Hukum Indonesia) Semarang.
———————–, 2001, Tentang Community Policing di Indonesia, Makalah seminar “ Polisi antara harapan dan kenyataan”, Hotel Borobudur, Jakarta.
Reiner, Robert, 2000, The Politic of The Police, Oxford University Press.
Suparlan Parsudi,1997, Polisi dan Fungsinya Dalam Masyarakat, makalah Diskusi dengan Angkatan I KIK UI, jakarta, 6 Agustus 1997.
————————, 2004 (ED), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
————————, 2009, Ilmu Kepolisian, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
Sutrisno SJ, Mudji, 2004, Ide-ide pencerahan, Jakarta, Penerbit Obor
Wibowo, Setyo, 2015, Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta, Kanisius.