Ilmu Kepolisian dan Pengembangan di Era Digital

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Kasespim Polri Irjen Pol Prof. Chrysnanda Dwilaksana

I. PENDAHULUAN

Pengalaman, pekerjaan, alam, permasalahan, dan berbagai fenomena lainnya akan terus mengalami perubahan serta perkembangan. Dalam proses perkembangan ataupun perubahannya menjadi suatu ilmu pengetahuan, akan terjadi ketika berbagai fenomena itu dipikirkan secara rasional, terus-menerus dipertanyakan secara kritis bahkan radikal, secara sistematis dikembangkan menjadi sesuatu yang ilmiah (mengacu kepada standar-standar serta ketentuan-ketentuan yang menjadi persyaratan suatu karya ilmiah); serta terus dikembangkan menjadi berbagai konsep dan teori dimana sebagai suatu ilmu pengetahuan keberadaanya dapat ditunjukkan berdasakan epistimologi, ontologi, metodologi, serta aksiologinya.

Menurut konvensi umum yang berlaku secara tradisional, maka ilmu pengetahuan secara garis besar dapat dibagi menjadi 3, yaitu: ilmu-ilmu pengetahuan alamiah (natural sciences); ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences), dan humaniora (humanities), yang kesemuanya mencakup sejumlah bidang ilmu pengetahuan (disciplinary).

Sebuah bidang ilmu pengetahuan ditandai adanya paradigma yang membedakan dengan paradigma bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya. Menurut Thomas Kuhn (1970), ilmu pengetahuan berkembang karena adanya paradigma baru yang mengenyampingkan paradigma-paradigma lama, atau ilmu pengetahuan berkembang melalui proses revolusi ilmiah –bukan evolusi ilmiah. Pada sisi lain, filsuf Karl Popper (1959) berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara bertahap berdasarkan paradigma-paradigma yang ada sebelumnya.

Pendapat di atas ditentang kebenarannya oleh Taylor (1985: 26-33, dalam Suparlan, 1998), yang menyatakan bahwa pada dasarnya perbedaan yang ada dalam ilmu pengetahuan adalah antara ilmu pengetahuan alamiah dan humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Ilmu pengetahuan alamiah tidak diperlukan interpretasi oleh gejala yang dikaji, karena tujuan penelitiannya untuk memecahkan masalah yang terwujud di dalam dan hubungan-hubungan di antara gejala-gejala yang dikaji. Sebaliknya, humaniora bercorak interpretatif atau hermeneutic karena kebenaran itu sendiri ada dalam interpretasi, bukan pada fakta-fakta sosial. Penelitiannya bertujuan untuk memahami kelakuan manusia dan ungkapan-ungkapannya, dengan landasan paradigma bahwa manusia itu makhluk pemikir dan berperasaan, maka maka manusia itu sebenarnya menginterpretasi dirinya sendiri dan lingkungannya.

Dalam perkembangannya, ilmu-ilmu pengetahuan sosial berusaha menjadi ilmiah dengan mengadopsi filsafat positivisme yang merupakan landasan paradigma bagi ilmu-ilmu pengetahuan alamiah. Aliran tersebut ditantang oleh paradigma-paradigma baru yang interpretatif, yaitu post-positivism atau constructivism (Guba, 1980). Perbedaan antara keduanya adalah pada metodologi yang kuantitatif untuk positivism, berlaku pada ilmu pengetahuan alamiah dan metodologi humaniora yang kualitatif untuk post-positivism. Metode kualitatif semula merupakan andalan dalam antropologi, saat ini telah digunakan dalam semua bidang-bidang ilmu pengetahuan sosial (Denzin dan Lincoln, 1994).

Hal yang patut diperhatikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah adanya perubahan paradigma, yang semula berlandaskan satu paradigma, selanjutnya berkembang menjadi beberapa paradigma, antara lain antropologi dan sosiologi. Selain itu, muncul bidang-bidang ilmu pengetahuan yang semula hanya bidang-bidang kajian saja, misalnya, ilmu administrasi dan ilmu komunikasi. Bidang-bidang kajian tersebut telah memenuhi persyaratan untuk menjadi ilmu pengetahuan, yaitu: (1) adanya komunitas ilmiah, terdiri dari para pakar dalam bidang-bidang yang tercakup dalam bidang kajian tersebut, saling berkomunikasi dan merupakan pilar penegak bagi keberadaan bidang kajian tersebut; (2) adanya paradigma yang menjadi acuan dan bidang kajian yang berbeda dengan paradigma yang dimiliki oleh bidang kajian lainnya; dan (3) adanya jurnal ilmiah, dimana para ahli/alumni saling mengomunikasikan hasil-hasil kajian ilmiahnya.

Suatu kajian penting diselenggarakan di suatu perguruan tinggi karena kajian tersebut penting bagi masyarakat yang bersangkutan (seperti Kajian Amerika, Jepang, Australia, Perempuan, dan lainnya). Suatu kajian biasanya bercorak antar bidang (interdisciplinary) sehingga hemat biaya dan hanya menghasilkan tenaga-tenaga profesi. Kajian antar bidang biasanya tidak diselenggarakan di perguruan tinggi untuk tujuan menghasilkan tenaga ahli intelektual atau akademik (seperti antropologi, sosiologi, biologi, dan lain-lain) (Suparlan 1998).

Apakah sesuatu bidang kajian di perguruan tinggi dapat menghasilkan tenaga ahli pada tingkat S3 atau doktor? Menurut prof. parsudi Suparlan, hal itu dapat saja dibenarkan sepanjang syarat-syarat yang telah dikemukakan di atas terpenuhi. Bagaimana dengan Ilmu Kepolisian? Pada awalnya, berbagai pekerjaan pengamanan dilaksanakan oleh pranata-pranata adat. Namun, dalam perkembanganya, pekerjaan-pekerjaan pengamanan menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dalam masyarakat yang modern, untuk dapat hidup tumbuh dan berkembang maka diperlukan adanya produktivitas yang dihasilkan dari berbagai aktivitas. Dalam kenyataannya, proses-proses aktivitas untuk menghasilkan produksi-produksi itu, ada kalanya menghadapi tantangan, hambatan, gangguan, serta ancaman yang dapat menghambat, merusak, bahkan mematikan produktivitas. Untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang berproduksi diperlukan aturan, norma, etika, dan hukum. Untuk menegakkan dan mengajak masyarakat mentaatinya, maka diperlukan institusi yang menangani. Disinilah dapat dipelajari dan ditunjukkan bahwa keberadaan polisi adalah karena adanya kebutuhan dari masyarakat akan pelayanan keamanan dan rasa aman (Suparlan, 1999).

Tatkala masyarakat semakin berkembang dan kehidupan semakin kompleks, maka berbagai pekerjaan pengamanan itu tidak lagi sederhana, melainkan memerlukan kompetensi dan keahlian. Polisi yang awalnya sebagai craft saja, sekarang ini telah menjadi suatu profesi. Tatkala polisi menjadi profesi, maka polisi diwajibkan untuk menjadi profesional (Bayley, 1995). Pelaksanaan tugas-tugas yang profesional membutuhkan kompetensi atau keahlian yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan.

Mengacu kepada uraian di atas, suatu ilmu ditemukan dari proses belajar dan pengalaman. Suatu ilmu menjadi hidup, tumbuh, dan berkembang karena ada kebutuhan dan digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Perkembangan suatu ilmu pengetahuan terjadi karena: (1) paradigma yang menjadi acuan bagi pengembanganya; (2) tempat belajarnya; (3) dosen pengajar yang berkualitas; (4) mahasiswa yang belajar; (5) riset atau penelitian; (6) laboratorium untuk sumber data dan membuat model-model pemikiran; (7) perpustakaan; (8) forum ilmiah yang dibangun sebagai wadah bagi alumninya maupun sebagai mitra diskusi; (9) penerbitan jurnal ilmiah untuk menampung karya-karya ilmiah para dosen maupun mahasiswanya; (10) kegiatan-kegiatan ilmiah baik di dalam maupun luar kampus untuk membahas dan mengembangkan ilmu yang dipelajarinya (diskusi, debat ilmiah, seminar, lokakarya, simposium dan sebagainya); (11) buku-buku ilmiah hasil riset, seminar, kegiatan ilmiah, dan tulisan dari para dosen atau gurunya.

Ilmu pengetahuan akan tumbuh hidup dan berkembang tatkala memiliki paradigma tersendiri: ontologi, epistimologi, metodologi, dan aksiologinya sendiri. Dalam perkembangannya, para ahli tidak semata-mata hanya mengembangkan ilmu yang menjadi kekhususannya, tetapi juga mempunyai perhatian dan mengembangkan bidang-bidang lain, sehingga pinjam-meminjam dan menghubung-hubungkan antara satu teori dengan teori yang lain akan menjadi hal yang biasa digunakan dan terjadi di antar bidang untuk menemukan sesuatu hal baru.

Ilmu Kepolisian sebagai ilmu pengetahuan semestinya dalam pengembangannya, mampu mengikuti bahkan melampaui perubahan-perubahan zaman, serta dirasakan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Pengakuan-pengakuan akan didapatkan tatkala ada keunggulan dari: (1) dosen/guru pengajarnya, (2) hasil didik/alumninya yang unggul dan mampu mengimplementasikan ilmunya dalam masyarakat; (3) program-program dan produk-produk unggulan yang menjadi kebanggaan bagi institusi pengguna dan masyarakat; (4) Konsep dan teori-teorinya mampu memperbaiki, cocok dan tepat bagi masa kini, dan mampu memprediksi atau menyiapkan masa depan yang lebih baik. Demikian halnya dengan kepolisian dimana untuk dapat tumbuh dan berkembang diperlukan ilmu kepolisian.

Banyak pakar yang mengeluarkan pendapat tentang ilmu kepolisian. Ilmu kepolisian, mengacu pada pemikiran Profesor Parsudi Suparlan, dinyatakan sebagai ilmu antar bidang yang mempelajari tentang (1) masalah sosial dan penangannya; (2) isu-isu penting yang terjadi dalam masyarakat; (3) keteraturan dan penataannya; (4) penegakan hukum dan keadilan; (5) penyelidikan dan penyidikan kriminalitas dan pencegahanya. Ilmu Kepolisian, sebagai dasar profesi Kepolisian, bersifat mempelajari apa yang dikerjakan atau yang menjadi pekerjaan polisi.

Membahas kepolisian dapat dilihat polisi sebagai petugas, sebagai fungsi, dan sebagai institusi. Ketiga pendekatan polisi tersebut terdapat dalam sebuah birokrasi kepolisian. Membahas birokrasi kepolisian dapat dikategorikan menjadi 4 bidang, yakni (1) kepemimpinan; (2) administrasi; (3) operasional; dan (4) capacity building. Dari penjabaran konsep-konsep yang terkandung dalam ilmu kepolisian dapat diketahui bahwa ilmu kepolisian, selain digunakan dalam institusi kepolisian, juga diimplementasikan dalam masyarakat. Benang merah antara pembangunan profesionalisme kepolisian dan perwujudan, pemeliharaan keamanan, dan rasa aman, adalah pada segala usaha maupun upaya kepolisian pada tingkat manajemen maupun operasional –dengan atau tanpa upaya paksa– dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan (pemolisian) (lihat Bayley, 1995; Rahardjo. 2002; Suparlan (ed). 2004).

II. POLISI DAN PEMOLISIANNYA

Polisi bekerja melalui pemolisian dimana pengertian pemolisian adalah segala usaha dan upaya untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas) pada tingkat manajerial dan operasional, baik dengan atau tanpa upaya paksa (Friedman, 1992; Garmire dalam Steadman, 1972; Spitzer, 1987; Shearing, 1992 dalam Reiner, 2000; Findlay, Mark and Ugljesa zvekic, 1993; Meliala, 1999; dan Reksodiputro, 1996). Pemolisian dapat menjadi suatu karakter bagi institusi kepolisian yang dapat dibangun menjadi model yang bervariasi antara satu tempat dengan yang lainnya. Model pemolisian dapat dibangun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kemajuan institusi kepolisian.

2. Wilayah, masalah yang dihadapi, potensi-potensi yang dapat diberdayakan, corak masyarakat dan kebudayaannya, nilai-nilai kearifan lokal, dan sebagainya.

3. Fungsi dan tugas pokok polisi, baik sebagai institusi, sebagai fungsi maupun sebagai petugas kepolisian. Arah untuk menuju kepolisian sebagai institusi yang profesional (ahli), cerdas (kreatif dan inovatif), bermoral (berbasis pada kesadaran, tanggung jawab dan disiplin) dan modern.

4. Model-model pembinaan baik untuk kepemimpinan, bidang administrasi, bidang operasional maupun capacity building.

Dalam membangun pemolisian di era digital ini, maka diperlukan pemikiran-pemikiran secara konseptual dan tindakan-tindakan pragmatis yang saling melengkapi dan menjadi suatu sistem. Tatkala kita membangun sistem, maka yang perlu diperhatikan adalah masukan (input), proses (cara mencapainya) maupun keluarannya (output), yang memerlukan adanya standar-standar baku sebagai pedoman operasionalnya (SOP) yang terdiri dari: (1) job description dan job analysis; (2) standardisasi keberhasilan tugas (3) sistem penilaian kinerja; (4) sistem reward dan punishment; dan (5) etika kerja.

Model-Model Pemolisian

Model pemolisian secara garis besar dapat dikategorikan sebagai pemolisian yang konvensional dan kontemporer. pemolisian konvensional berdasarkan pada pendekatan yang reaktif, law enforcement, dan crime fighter. Model pemolisian yang kontemporer yang dikenal sebagai community policing merupakan pengembangan antara yang reaktif dengan model yang proaktif, problem solving, kemitraan, dan mengedepankan tindakan-tindakan pencegahan yang berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Model pemolisian dapat dibagi menjadi 3 kategori: (1) berbasis wilayah; (2) berbasis kepentingan; dan (3) berbasis dampak masalah. Ketiga kategori memiliki pendekatan yang berbeda, tetapi terdapat benang merah yang menunjukan saling keterkaitan satu dengan lainnya. Model pemolisian itu dapat digunakan sebagai acuan dasar dan pedoman dalam implementasinya. Sekalipun berbeda variasinya berdasarkan corak masyarakat dan kebudayaannya, tetapi tetap ketiganya memiliki prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum. Romo Mangunwijaya (1999) mengatakan: ”satu prinsip seribu gaya”.

1. Pemolisian Berbasis Wilayah

Pemolisian dengan berbasis wilayah (geographical community), dalam implementasinya, membagi wilayah dalam lingkup kecil RW dan Kelurahan, serta dijabarkan sistem-sistem jejaring dan berbagai kelompok kemasyarakatan yang ada. Model ini dapat dikatakan sebagai model struktural dari tingkat Mabes sampai dengan Polpos bahkan hingga tingkat Babin Kamtibmas. Semua tingkatannya dibatasi wilayah hukum dengan mengikuti pola pemerintahan, atau pola-pola khusus seperti yang diterapkan di Polda Metro Jaya yang wilayahnya terdapat 3 propinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat). Ada Polres yang membawahi lebih satu wilayah kota/kabupten. Ada juga wilayah Polsek yang lebih dari 1 kecamatan. Pada tingkat Polpos dan Babin Kamtibmas, pemolisian perlu dibuat secara konsisten atau ada modelnya.

Dalam pemolisiannya, tentu berkaitan dengan penanganan-penanganan masalah dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, terdapat saling keterkaitan antara model yang berbasis wilayah dengan yang berbasis kepentingan maupun dengan yang berbasis dampak masalah. Maka timbul pertanyaan, bagaimana membangun sistem terpadu yang saling mengisi dan saling melengkapi serta saling menguatkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas)? Jawabannya adalah dengan membangun back office sebagai linking pin/pusat K4Ei (Komunikasi, Komando dan pengendalian, Koordinasi, Kontrol dan monitoring, Evaluasi dan informasi).

Back office merupakan ruang operasi –jika dianalogikan adalah dirigen dalam suatu orchestra– untuk mengharmonikan pekerjaan yang diselenggarakan antar wilayah, fungsi/bagian, maupun dalam kondisi yang diskenariokan, atau kondisi-kondisi kontijensi baik dari faktor manusia, faktor alam, maupun faktor kerusakan infrastruktur. Back office ini merupakan sistem terpadu yang mampu membangun database, komunikasi, komando dan pengendalian, koordinasi, kontrol dan monitoring, evaluasi serta informasi. Back office mampu memberikan pelayanan prima dengan pemolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern. Untuk itu diperlukan keunggulan-keunggulan dalam mengimplementasikannya: (a) unggul sumber daya manusia (SDM); (b) unggul data; (c) unggul pemimpin dan kepemimpinannya; (d) unggul Sarpras (berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi); (e) unggul Jejaring; dan (f) unggul anggaran.

2. Pemolisian Berbasis Kepentingan

Model pemolisian berbasis kepentingan tidak dibatasi wilayah, tetapi dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan bersama (community of interest). Pendekatan polmas yang diterapkan dapat juga meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah lebih luas seperti Kecamatan bahkan Kabupaten/Kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan (Rahardjo, 2002). Berbagai kepentingan tersebut berupa hal yang berkaitan: dengan pekerjaan/profesi, hobby, kegiatan, dan kelompok kemasyarakatan. Model ini dimplementasikan secara variasi oleh fungsi-fungsi kepolisian yang ada pada pemolisian berbasis wilayah (Mabes sampai dengan Polsek) sesuai dengan kategori kepentingannya (internasional, regional, nasional, dan tingkat lokal). Melalui keunggulan-keunggulan itu yang diharmonisasikan oleh para petugas di back office, walaupun pemolisiannya pada tingkal lokal sekalipun, tetapi dampaknya dapat menjadi global karena terdapat sistem dasar dan sistem pendukungnya yang saling terkait.

3. Pemolisian Berbasis Dampak Masalah

Penanganan akar-akar masalah ini bukan pada tugas polisi, tetapi potensi konfliknya dapat berdampak menjadi konflik yang sangat mengganggu, menghambat, merusak, hingga mematikan produktivitas masyarakat. Tentu saja akan menjadi tugas kepolisian tatkala terjadi gangguan terhadap keteraturan sosial. Pola pemolisiannya juga berkaitan dengan yang berbasis wilayah maupun yang berbasis kepentingan, tetapi polanya berbeda karena penanganannya dengan pola khusus atau yang tidak bersifat rutin, dan tetap memanfaatkan sistem back office. Pola penanganan terhadap dampak masalah ini dilakukan dengan membentuk satuan-satuan tugas (satgas) yang juga bervariasi karena juga akan berbeda dampak masalah dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, keselamatan, dan sebagainya.

Jika sudah terjadi dampak masalah, di sinilah core dari model pemolisian berbasis dampak masalah yang penangannya diperlukan keterpaduan (integrasi) dari pemangku kepentingan ataupun antar satuan fungsi. Dengan membangun model pemolisian ini, akan menjadi wadah untuk mensinergikan, mengharmonikan dalam menangani berbagai masalah (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan pertahanan), sehingga solusi-solusi yang tepat dapat diterima semua pihak yang digunakan untuk pra, saat, maupun pasca. Keterpaduan inilah yang menjadi kecepatan, ketepatan, dan kekuatan sosial, yang juga akan menjadi ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai dampak masalah bahkan dampak globalisasi.

Electronic Policing (E-Policing): Model Pemolisian Di Era Digital

Di era global ini, sistem-sistem online merupakan kebutuhan untuk memberikan pelayanan prima, sebagai program inisiatif anti-korupsi, reformasi birokrasi, dan terobosan kreatif. Pemerintah mulai membangun e-government, dunia perbankan membangun e-banking, dan seterusnya. Bagi kepolisian dibutuhkan membangun model dan pola pemolisian melalui elektronik atau electronic policing (e-policing). Model e-policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat dapat terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu, tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi. Hal ini juga berarti membawa community policing pada sistem online.

Dengan demikian, e-policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu, sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif, dan mudah diakses. E-policing dapat menjadi strategi inisiatif anti-korupsi, reformasi birokrasi, dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif anti-korupsi karena meminimalisir bertemunya person to person dalam pelayanan kepolisian di bidang administrasi karena sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui electronic regident (ERI).

E-policing juga bersifat sebagai reformasi birokrasi karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit, mampu menembus ruang dan waktu, misalnya tentang pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet, dan hubungan tata cara kerja dalam birokrasi, dapat diselenggarakan secara langsung dengan Standar Manajemen Kinerja (SMK), yang dibuat melalui intranet/internet, sehingga menjadi less paper, dan sebagainya. E-policing sebagai bagian creative break through karena banyak program dan berbagai inovasi maupun kreasi dalam pemolisian yang dapat dikembangkan, misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam TMC, baik melalui media elektronik, cetak, maupun media sosial, bahkan secara langsung sekaligus.

E-policing bukan berarti menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya. E-policing menyempurnakan dan meningkatkan pelayanan sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral, dan modern, yang mampu berperan sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanuasiaan. E-policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik; yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis, saling mendukung, dan menghadirkan harmonisasi antar fungsi/bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.

Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif, dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman, hingga penegakan hukumnya. Pembahasan e-policing dapat dikategorikan dalam konteks: (1) kepemimpinan; (2) administrasi; (3) operasional; (4) capacity building (pembangunan kapasitas bagi institusi).

III. PENJABARAN ILMU KEPOLISIAN DAN PENGAJARANNYA

Pada tahap awal perkembangan ilmu kepolisian, kajian kepolisian di berbagai pendidikan di luar negeri pada dasarnya bertujuan menghasilkan tenaga-tenaga ahli atau profesi di bidang kepolisian. Hal demikian juga terjadi dalam perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia (Bachtiar, 1994). Bidang kajian kepolisian di perguruan tinggi di Amerika Serikat, misalnya, berubah menjadi bidang ilmu pengetahuan dengan nama ilmu kepolisian (police science) administrasi kepolisian (police administration), dan lain-lain. Meskipun telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan, tetapi kajian kepolisian (police studies) tetap ada. Hal ini bukan karena perbedaan prinsip, tetapi lebih pada permasalahan sejarah setempat dan keberadaan kajian kepolisian atau ilmu kepolisian.

Menurut Harsja W. Bachtiar (1994), Ilmu kepolisian merupakan penggabungan unsur-unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan hukum, khususnya Hukum Pidana dan Acara perdata, Kriminologi, kriminalistik, dan Ilmu Kedokteran Forensik khususnya Patologi Forensik. Penggabungan tersebut dapat dikatakan sebagai perwujudan ilmu pengetahuan dengan melihat bagaimana para ahli menggabungkan dan pengaruhnya terhadap kemunculan sebuah bidang ilmu pengetahuan dan terhadap corak paradigma, metodologi, dan metode-metodenya, terhadap pengembangan konsep-konsep dan teori-teori yang dikembangkannya menjadi ciri-ciri keilmuannya. Dengan demikian, ilmu kepolisian dapat didefinisikan sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah social dan isu-isu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan hukum dan keadilan, dan mempelajari teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya.

Sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan, Ilmu Kepolisian menekankan kajiannya pada identifikasi masalah-masalah dan pemecahannya secara profesional. Oleh karena itu, pendekatan metodologinya menekankan pada pendekatan antar bidang, meskipun mono bidang dan multi bidang juga dipergunakan, misalnya menggunakan pendekatan psikologi (Ainsworth dan Pease, 1987) dan pendekatan psikologi sosial untuk memahami polisi dan pekerjaannya. Sebagai bidang ilmu pengetahuan profesi, bukan hanya pendekatannya yang mempengaruhi perkembangan ilmu kepolisian sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap masalah-masalah dan isu-isu sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat dimana polisi tersebut berfungsi.

Konteks masyarakat dan kebudayaannya di mana polisi itu berfungsi merupakan isu kritikal dalam menilai berfungsi atau tidaknya polisi sebagai pranata otonom dan sebagai organisasi pengayom masyarakat serta penegak hukum. Dalam masyarakat otoriter, fungsi polisi sebagai pelayan penguasa untuk menjaga kemantapan kekuasaan otoriter pemerintah yang berkuasa. Dalam masyarakat madani yang demokratis dan modern, fungsi polisi harus sesuai dengan dengan corak kebudayaan masyarakat. Jika tidak, maka polisi tidak akan berfungsi dan bahkan tidak mendapatkan tempat sebagai pranata otonom yang dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia.

Memahami konsep-konsep di atas, ilmu kepolisian merupakan ilmu yang hidup dan terus berkembang. Penjabaran dalam pembelajaran yang menjadi dasar bagi kurikulum pengajaran pada ilmu kepolisian sebagai ilmu antar bidang dapat meminjam dan menggunakan serta mengembangkan dari berbagai cabang ilmu lain yang tetap mengacu pada paradigma ilmu kepolisian baik secara: ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologinya, yang benang merahnya adalah keamanan dan rasa aman yang merupakan landasan dasar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Polisi sebenarnya bukan sebatas pelindung, pengayom, pelayan serta penegak hukum, melainkan juga mampu sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan sekaligus pejuang kemanusiaan.

Kurikulum pendidikan pada Lembaga Pendidikan Kepolisian, managerial dibangun berdasarkan ilmu kepolisian sebagai sebuah kurikulum yang terdiri dari sejumlah mata kuliah wajib/kurikulum inti (core curriculum) dan sejumlah mata kuliah pilihan. Kurikulum pendidikan petugas kepolisian dari tingkat tamtama, brigadir, sampai dengan tingkat perwira, yaitu kurikulum yang menghasilkan petugas kepolisian yang profesional, cerdas, bermoral, dan modern dari tingkat terampil fisik sampai dengan terampil secara konseptual/teoritikal.

Kurikulum tingkat tamtama terdiri atas sejumlah mata pelajaran yang menekankan keterampilan fisik yang akan memungkinkan tamtama Polri mampu bertugas sesuai dengan fungsinya dalam masyarakat, yaitu menjaga ketertiban dan menjaga keteraturan. Kurikulum tingkat Bintara sama dengan kurikulum tamtama ditambahkan dengan pengetahuan mengenai organisasi dan administrasi kepolisian, pengetahuan dasar mengenai penyelidikan dan penyergapan dalam medan-medan yang terbatas.

Kurikulum untuk tingkat Perwira (Akpol) harus ditambahkan pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan fisik (penyergapan dalam berbagai medan yang berbeda), pengetahuan mengenai masalah-masalah sosial pengelolaan ketertiban dan keteraturan sosial, kemampuan pengambilan kebijakan (diskresi) dan melakukan negosiasi, penyelidikan dan penyidikan, dan pengetahuan serta keterampilan dalam hal penegakan hukum keadilan.

Kurikulum untuk PTIK berupa keterampilan fisik ditambahkan kemampuan kepemimpinan dalam pengelolaan berbagai masalah sosial dan pengelolaan ketertiban serta keteraturan sosial, mata kuliah yang tergolong sebagai administrasi kepolisian, hukum kepolisian, dan sejumlah mata kuliah pilihan antara lain kejahatan birokrasi, intelijen, pamswakarsa, dan lain-lain yang dirasakan perlu bagi pimpinan Polri. Kurikulum S2 merupakan lanjutan dari program PTIK, ditambahkan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk mengembangkan ilmu kepolisian melalui cara berpikir yang kritis, analitik, dan akademik sehingga menghasilkan peningkatan kinerja dalam pelaksanaan tugas.

Kurikulum S3 merupakan program pendidikan lanjutan dari program studi S2 Ilmu Kepolisian ditambahkan dengan: (1) keterampilan dalam pengembangan teori khususnya pada tataran ilmu hukum, administrasi, dan manajemen; (2) Keterampilan dalam mengembangkan dan mendorong peningkatan kualitas kinerja dikaitkan dengan budaya hukum dan budaya organisasi; (3) keterampilan mengembangkan konsep dan teori tentang politik terkait dengan eksistensi tugas pokok, fungsi, peran, dan kewenangan kepolisian; (4) terampil dalam mengelola, menganalisis, menyajikan dan menerapkan ide, konsep, penemuan, pengembangan ilmu kepolisian dan inter relasinya dengan cabang ilmu lainnya; dan (5) keterampilan menyusun disertasi berdasarkan kaidah ilmu, metodologi, dan pendekatan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh STIK.

Hal-hal spesifik yang dapat dikembangkan yang berkaitan dengan kewenangan kepolisian, sebagai berikut:

1. Safety Driving Centre (SDC); berkaitan dengan polisi sebagai pemegang otoritas penerbitan SIM. Suatu SDC adalah sistem yang dibangun untuk menangani pengemudi dan calon pengemudi berkaitan dengan SIM dengan sistem-sistem elektronik. Dengan sistem ini akan terkait dengan ERI –yang bisa dikembangkan dalam Regident Centre (RIC)– dapat digunakan sebagai bagian dari fungsi dasar regident (memberi jaminan legitimasi kompetensi untuk SIM), fungsi kontrol, forensik kepolisian, dan pelayanan prima kepolisian.

2. Security Training Centre (STC); berkaitan dengan polisi pengemban dan pembina private dan industrial security). Pengamanan yang dilakukan oleh polisi tidak sebatas reaktif tetapi proaktif, serta problem solving yang lebih mengutamakan pencegahan dan kemitraan yang dibangun dengan sistem terpadu dan berkesinambungan. Tentu saja tidak dilakukan dengan gaya dan pola preman atau bisnis jasa pengamanan. Namun, semua dilakukan secara profesional, modern, dan juga memberdayakan potensi yang ada untuk memberikan jaminan keamanan dan rasa aman warga, agar aktivitas untuk menghasilkan produksi yang menyejahterakan mereka senantiasa tumbuh dan berkembang.

3. Sekolah Penyidik; berkaitan polisi sebagai penyidik utama dan korwas PPNS. Sekolah ini untuk membangun kemampuan penyidikan dengan standar scientific investigation crime serta meningkatkan kemampuan teknologi penyidikan untuk cyber crime, cyber terorisme, cyber bioterorisme di seluruh jajaran Polri. Pelatihan ditujukan untuk meningkatkan keterampilan. Pengetahuan dan ketrampilan bagi petugas polisi sangat diperlukan karena polisi bertugas sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Mengapa pendidikan dan pelatihan penting? Karena polisi bekerja melalui otak, otot, dan hati (O2H) yang ketiganya harus diasah terus menerus. Dengan demikian, polisi semakin peka dan peduli terhadap berbagai masalah kemanusiaan, serta terampil dalam menggunakan sarana pendukungnya.

4. Pengembangan ilmu kepolisian di SPN-SPN; untuk membantu profesionalisme dan peningkatan kualitas pelayanan publik, baik dari kepolisian sendiri, kejaksaan, imigrasi, lapas, petugas-petugas security, dan sebagainya.

Berbagai lembaga dan cara pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bagian penting sebagai aset utama dari suatu institusi atau perusahaan. Demikian juga dengan Polri dimana pembinaan SDM yang baik menghasilkan atau menumbuh-kembangkan SDM yang berkarakter serta memperbaiki sistem pendidikan kepolisian sehingga mampu menjadikan lembaga pendidikan sebagai centre of excellence. Oleh karena itu, bentuk pengajaranya bukan sistem hafalan melainkan pemahaman, implementasi dan mampu mengembangkan:

1. Secara konseptual.

2. Masalah sosial dan isu-isu penting yang terjadi dalam masyarakat.

3. Studi kasus.

4. Problem solving: pencegahan, penanganan saat dan pasca kejadian

Semua itu bertujuan untuk menghasilkan polisi-polisi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai polisi penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan sekaligus pejuang kemanusiaan.

IV. MODEL BELAJAR DAN PENGEMBANGAN ILMU KEPOLISIAN

Lembaga pendidikan kepolisian bertujuan untuk menghasilkan para petugas polisi yang memiliki kompetensi yang berbasis pada ilmu kepolisian, baik pada tingkat pelaksana maupun calon-calon pimpinan kepolisian di masa yang akan datang. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya perlu dukungan, perlengkapan, infrastruktur:

1. Laboratorium sosial.

2. Back office sebagai bagian dari sistem pembelajaran dengan e-learning.

3. Ruang-ruang diskusi dan belajar di kelas.

4. Ruang-ruang untuk FGD/berlatih untuk debat ilmiah.

5. Penerbitan buku dan Jurnal ilmiah.

6. Website dan media sosial.

7. Sistem penilaian bagi dosen dan mahasiswa secara elektronik.

Bagi Dosen/instruktur/pengajar dapat berperan sebagai:

1. Menjadi mentor/pembimbing pada kelompok-kelompok kecil diskusi (satu sindikat bisa dibagi 2,3, dan 4.

2. Bertanggung jawab atas kompetensi mahasiswa asuhannya.

3. Memberikan ide-ide baru, motivasi dan persoalan sebagai bahan diskusi.

4. Memacu kompetensi bagi mahasiswa untuk dapat menulis karya ilmiah, diskusi maupun berdebat ilmiah sebagai bagian dari pengembangan ilmu kepolisian.

5. Melaporkan hasil penilaian kompetensi mahasiswa.

6. Menyelenggarakan lomba-lomba ilmiah baik internal maupun eksternal.

Bagi mahasiswa/peserta didik pada Lembaga Pendidikan Kepolisian:

1. Melakukan belajar mandiri, kelompok, dan wajib menyerahkan ide-ide baru untuk kemajuan bagi institusi kepolisian.

2. Menghasilkan produk-produk tertulis (karya ilmiah).

3. Siap untuk presentasi, diskusi dan berdebat.

4. Menyelenggarakan english day.

5. Melakukan lomba-lomba ilmiah tingkat sindikat/antar mahasiswa/baik internal maupun eksternal.

6. Menyiapkan diri sebagai generasi Polri sebagai bagian dari pengkajian isu-isu penting yang dihadapi Polri maupun masyarakat.

Lomba pengembangan Ilmu Kepolisian (Police Science Award) dapat dilaksanakan antar lembaga kepolisian baik nasional maupun internasional sebagai pemicu, motivasi, dan apresiasi melalui semacam lomba penulisan karya ilmiah, debat ilmiah, dan riset-riset ilmiah tentang Kepolisian.

V. PENUTUP

Pendidikan kepolisian semestinya dikembangkan serta dibangun untuk melahirkan kesadaran, tanggung jawab, disiplin tanpa paksaan, tanpa ancaman, atau iming-iming akan sesuatu. Dengan demikian, para alumni benar-benar menyadari hakekat peran dan fungsi polisi sebagai petugas, sebagai fungsi maupun institusi, yang mampu menunjukkan keutamaan Seorang Polri sebagai Penjaga Kehidupan, Penjaga Peradaban, dan Pejuang Kemanusiaan.

Pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan dapat melalui apa saja, salah satunya dengan memanfaatkan media sosial. Banyak orang yang masih mempertahankan pola konvensional dan cara-cara manual, parsial, dan mengisi dengan berbagai kepentingan pribadi atau golongannya. Model birokrasi patrimonial menjadi lilitan kusut dalam mengembangkan Ilmu Kepolisian dimana apa yang sudah ada tidak lagi dikembangkan dan dikataliskan sebagai kebenaran, tidak bisa lagi dipatahkan, walau bagai burung tak bersayap lagi untuk mengajarkan terbang.

Pendidikan dewasa ini semestinya bergeser menjadi: (1) memfasilitasi; (2) menginspirasi; (3) mewadahi; (4) mendampingi (5) mendorong untuk kreatif; (6) memberdayakan; (7) ada ide baru atau penemuan baru; (8) suasana riang gembira dengan fasilitas yang cepat, tepat, akurat, informatif, dan mudah diakses; (9) sebagai ajang kompetisi dan promosi berbagai pola pemikiran baru; (10) keberanian untuk berpikir di luar mind stream, dan banyak lainnya lagi.

Media sosial merupakan sarana yang mudah, murah, cepat untuk dapat memfasilitasi pelaksanaan 10 gagasan di atas. Tidak ada orang pandai hanya dengan mengucapkan kata-kata belajar atau study. Belajar adalah mendapatkan pencerahan serta tercerahkan. Tatkala tidak ada pencerahan itu bukan pendidikan, tetapi hanya penghafalan yang tidak beda dengan model pendidikan binatang sirkus.

Pendidikan bukanlah perebutan antara kepentingan dan kebutuhan. Tatkala pendidikan dijadikan obyek, maka pendidikan akan menjadi korban, sebagai pemenuhan persyaratan administrasi, dan berbagai kepura-puraan lainnya. Pendidikan sebagai korban, maknanya adalah pendidikan untuk saling menyalahkan baik dari sisi sumber daya pengajar, tempat belajarnya, serta sosok yang belajar akan menjadi objek kepentingan, sehingga transfer ilmu dalam pendidikan menjadi bualan-bualan dan penuh dengan seremonial-seremonial.

Dengan demikian Lembaga Pendidikan Kepolisian akan menjadi Lembaga terhormat dan dibanggakan serta akreditasinya benar-benar menjadi sesuatu nilai yang sakral dan sesuai dengan fakta dan manfaat pendidikan. Akreditasi menunjukkan kualitas dan produktivitas, bukan semata mata untuk gengsi dan kepentingan administrasi atau supervisial. Pada lembaga pendidikan yang belum memenuhi standar akreditasi, maka menjadi tugas dan tanggung jawab lembaga-lembaga/tim transformasi dari kementrian pendidikan untuk mampu memperbaiki, meningkatkan kualitas, bahkan menegur serta memberi sanksi hukum tatkala ada hal-hal fatal dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pendidikan merupakan kebutuhan bagi tumbuh dan berkembang serta lestarinya suatu bangsa, sekali lagi bukan untuk kepentingan. Tatkala kepentingan tidak lagi mendominasi, maka lembaga pendidikan akan menjadi pusat keunggulan dan kebanggaan karena ada pencerahan (transformasi); dan bagi yang belajar akan tercerahkan sehingga polisi-polisi muda akan mampu menjadi polisi-polisi yang profesional, cerdas, bermoral, dan modern yang mampu bagai rajawali mengangkasa kemana-mana sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ainsworth, Peter B. and Ken Pease. 1987. Police Work (Psychology in Action). United kingdom: Routledge

Bayley, William G. 1995. The Encyclopedia of Police Science (second edition ). New York & London: Garland Publishing.

Bahtiar, Hasrya W. 1994. Ilmu Kepolisian: suatu cabang ilmu baru. Jakarta: PTIK- Gramedia.

Bayley, David H. 1994. Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto). Jakarta: Cipta Manunggal.

——–. 1991. Forces of Order Policing Modern in Japan. California: University of california Press.

Denzin, NK & Lincoln, YS. 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks: Sage Publications.

Djamin, Awaloedin. 1995. Administrasi Kepolisian. Jakarta: CV Mandira Buana.

——–. 1999. Menuju Polri Mandiri yang profesional. Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja.

——–. 2000, Reformasi Aparatur/Administrasi Negara RI. Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Finlay, mark. dan Ugljesa Zvekic. 1993. Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto). Jakarta: Cipta Manunggal.

Friedmann, Robert. 1992. Community Policing (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto). Jakarta: Cipta Manunggal.

Kasim, Azhar. 1993. Pengukuran Efektifitas Dalam Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

——–. 1998. “Reformasi Administrasi Negara Sebagai Prasyuarat Upaya Peningkatan Daya saing Nasional” (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fisipol UI). Universitas Indonesia, Depok.

Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Science Revolution. Chicago: Chicago University Press.

Kratcoski, Peter and Duane Dukes. 1995. Issues in Community Policing. Academy of Criminal Justice System (ACJS), Northen Kenthucky University.

Kunarto, 1995. Polisi harapan dan Kenyataan. Klaten: CV Sahabat.

——–. 1997. Etika Kepolisian. Jakarta: Cipta manunggal.

——–. 1998. Tri Brata. Jakarta: Cipta Manunggal.

Mangunwijaya, YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein. Yogyakarta: Kanisius.

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. 1999. Reformasi menuju Polri yang Mandiri. Jakarta: Mabes Polri.

Meliala, Adarianus. 1999. Kumpulan tulisan menjelang dan Sesudah Polri Keluar dari ABRI. Universitas Indonesia.

——–. 2002. Mengkritisi Polisi. Yogyakarta: Kanisius.

——–. 2002, Problema reformasi Polri. Jakarta: Trio Repro.

More. 1998. Special Topics in Policing. Cincinati: Andarieson Publishing.

Popper, Karl. 1959. The Logic of Scientific Discovery. New York: Basic Books.

Rahardjo, Satjipto. 1998. “Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Masyarakat di Era Reformasi”. Makalah Seminar Nasional tentang Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi.

——–. 2002, Polisi Sipil. Jakarta: Gramedia.

Reiner, Robert. 2000. The Politic of The Police. Oxford University Press.

Secapa Polri. 1996. Vademikum Polri Tingkat I, Sukabumi, Secapa Polri.

Suparlan, Parsudi. 1997. “Polisi dan Fungsinya dalam Masyarakat”. Diskusi angkatan I KIK Program S2 UI.

——–. 1999a. “Etika Publik polisi indonesia”, Makalah sarasehan tanpa penerbit.

——–. 1999b. “Polisi Indonesia Dalam Rangka Otonomi Daerah”, Makalah Seminar Hukum Nasional VII, Departemen Kehakiman.

——–. 1999c. “Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat”, Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis PTIK ke-53.

——–. 2001. “Kajian Ilmu Kepolisian” Partnership Governance Reform in Indonesia, 23-24 oktober 2001.

Suseno, Frans Magniz. 1999. Kuasa dan moral. Jakarta: Gramedia.

——–. 1999. Etika Politik. Jakarta: Gramedia.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press

Trojanowicz, Robert. 1998. Community Policing: How To Get Started (co-authored with policing.com’s Bonnie Bucqueroux: Cincinnati: Anderson Publishing.**

Share