Radio dan Perdamaian

TRANSINDONESIA.co | Perang sebagai antonim dari perdamaian, menandakan konflik bersenjata antarnegara atau kelompok dalam suatu negara. Namun juga bisa diterjemahkan menjadi konflik narasi dalam media.

Narasi dapat meningkatkan ketegangan atau menjaga kondisi perdamaian dalam konteks tertentu. Misalnya mempertimbangkan pelaksanaan pemilu yang panas atau sejuk, penolakan atau penerimaan pengungsi, bangkit atau meredam semangat nasionalisme, dan masih banyak lainnya.

Dalam melaporkan dan menginformasikan kepada masyarakat umum, stasiun radio mampu membentuk opini publik dan membingkai narasi yang bisa memengaruhi situasi domestik maupun internasional. Hingga akhirnya dijadikan sebagai salah satu pijakan dasar mengambil keputusan.

Itulah alasan mengapa dukungan terhadap radio independen harus dilihat sebagai bagian integral dari perdamaian dan stabilitas. Dalam peringatan Hari Radio Sedunia 2023 pada 13 Februari ini, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco), mengambil tema “Radio dan Perdamaian”. Ini sebagai dukungan terciptanya radio independen menjadi salah satu pilar pencegahan konflik dan pembangunan perdamaian.

Radio adalah pemain penting dan menjadi salah satu pilar pemeliharaan serta transisi menuju perdamaian. Itu adalah bagian dari fungsi penetapan agenda dan penyediaan layanan penting yang mengedepankan isu-isu yang menarik perhatian.

“Radio menawarkan metodologi alternatif pencegahan konflik dengan mengklarifikasi frustrasi atau benturan kepentingan. Radio juga berperan membersihkan kesalahpahaman, mengidentifikasi masalah ketidakpercayaan, membantu melawan kebencian, dan lain-lain,” begitu salah satu cuplikan dalam artikel khusus yang dibuat Unesco dalam menyambut Hari Radio Sedunia 2023.

Radio Penjaga Perdamaian

Sebagai bagian dari upaya global untuk mendukung pembangunan perdamaian, PBB telah membangun jaringan radio di daerah-daerah berbagai negara yang mengalami konflik. Kehadiran radio penjaga perdamaian untuk memastikan penduduk memiliki akses informasi yang kredibel dan tepercaya.

Stasiun-stasiun radio itu beroperasi melalui kerja sama dengan radio setempat. Misalnya di Sudan Selatan disiarkan di Radio Miraya. Kemudian Radio Okapi di Republik Demokratik Kongo, lalui Guira FM di Republik Afrika Tengah, hingga Radio Mikado di Mali.

Stasiun radio serupa juga ada dalam operasi perdamaian sebelumnya. Misalnya di beberapa bagian Eropa, Asia, dan Timur Tengah.

PBB melihat radio adalah metode komunikasi vital dengan komunitas berskala besar dan beragam. Terutama di lokasi ketika penetrasi internet buruk dan populasinya terus bergeser karena konflik.

Contohnya di Sudan Selatan saat survei persepsi menunjukkan 83 persen orang mendapatkan berita dari radio. Sementara hanya empat persen yang mengakses informasi secara daring.

Radio Penjaga Perdamaian PBB sebagian besar dikelola penduduk lokal. Hal itu sekaligus membantu meningkatkan standar jurnalisme lokal dan memberikan kesempatan pengembangan karier bagi reporter, presenter (penyiar), produser, hingga teknisi penyiaran.

Dalam kebanyakan kasus mereka ikut menentukan langkah masa depan industri penyiaran radio. Atas dasar itu masa depan radio diyakini akan terus eksis sepanjang zaman.

​Sumber: Unesco

Share