Dr. Suharizal, S.H., M.H.: Fungsi-fungsi Kenegaraan IDI
TRANSINDONESIA.co | by: Muhammad Joni, SH., MH.
Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional, juga Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.
Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua. Bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 40 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.
**
Bagaimana dalil dari perspektif hukum tata negara mendudukkan sumber kewenangan IDI? Bagaimana argumentasi pakar hukum tata negara menghargai wadah satu IDI? Menurut Dr. Suharizal, S.H., M.H., “kemauan pembentuk Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 menginginkan Ikatan Dokter Indonesia sebagai subjek hukum. Dengan kata lain, adalah akan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 jika penamaan organisasi profesi untuk dokter berikut kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-undang ini, tidak bernama Ikatan Dokter Indonesia”.
Mengapa perlu satu organisasi profesi dokter? Masih mengacu Dr. Suharizal, S.H., M.H. yang berpendapat “…dengan adanya satu organisasi dokter otomatis dapat diberlakukan satu standar pelayanan bagi dokter, satu kode etik serta pengembangan kualitas dan pengawasan yang sama atas semua dokter oleh satu organisasi dalam menjalankan praktik kedokteran”.
Berikut ini keterangan ahli Dr. Suharizal, S.H., M.H pada sidang tanggal 4 September 2017.
“KONSTITUSIONALITAS
IKATAN DOKTER INDONESIA”
(Keterangan Ahli dari “Pihak Terkait” di Mahkamah Konstitusi Tanggal 4 September 2017 dalam Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 disampaikan pada hari Senin, 4 September 2017)
Keterangan ahli ini khusus menanggapi norma Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dan hal-hal lainnya yang terkait dengan Ikatan Dokter Indonesia sebagai Organisasi profesi yang disebut dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004.
Pada bagian awal ini, saya ingin mempersoalkan penulisan “Ikatan Dokter Indonesia” yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikaitkan dengan praktek pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi”. Letterlijk Ikatan Dokter Indonesia menggunakan huruf besar untuk huruf (I), (D) dan (I). Dari teknik pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dikatakan bahwa kemauan pembentuk Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 menginginkan Ikatan Dokter Indonesia sebagai subjek hukum. Dengan kata lain, adalah akan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 jika penamaan organisasi profesi untuk dokter berikut kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-undang ini, tidak bernama Ikatan Dokter Indonesia.
Hal mana dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan dapat kita bandingkan dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi;
“Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undangundang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, dimana tertulis huruf K, T, P dan K dengan huruf besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah subjek hukum yang dikehendaki oleh pembentuk Undang-undang ini. Kemudian Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan; “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi”. Komisi Pemberantasan Korupsi yang mana tertulis huruf K, P dan K dengan huruf besar adalah subjek hukum.
Di level konstitusi, hal ini juga dapat kita lihat dalam beberapa pasal dalam UUD 1945. Misalnya Pasal 22E ayat (5) berbunyi:
“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”.
Penulisan komisi pemilihan umum yang menggunakan huruf kecil untuk k, p dan u mengisyaratkan bahwa pembentuk Undang-undang pemilihan umum dapat membuat nama lain sebagai organ yang menyelenggarakan pemilihan umum yang tidak mesti bernama Komisi Pemilihan Umum seperti adanya sekarang. Lain hal dengan Pasal 23E ayat (1) yang berbunyi; “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Dengan penggunaan huruf besar B, P dan K, Pembentuk Pasal 22E ayat (1) telah menetapkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan adalah nama untuk organ yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah Ikatan Dokter Indonesia sebagai subjek hukum dapat digolongkan sebagai organ negara?.
Sebelum pertanyaan ini dijawab, penting untuk ditegaskan bahwa Organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Disamping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (normcreating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). Singkatnya, siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) dalam kehidupan ketatanegaraan adalah organ negara.
Dalam bahasa yang sederhana Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State menegaskan bahwa “Whoever fulYills a function determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ.
Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa organ negara identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan public atau jabatan umum (public ofYices) dan pejabat publik atau pejabat umum.
Dalam sistem ketatanegaraan terdapat tiga kelompok lembaga negara, yakni; (1) Lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945, (2) Lembaga negara yang ditentukan oleh Undang-undang, dan (3) Lembaga negara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang derajatnya berada di bawah Undang-undang.
Organ negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang merupakan organ Undang-undang. Sehingga dapat ditegaskan bahwa Ikatan Dokter Indonesia adalah organ negara dalam arti luas, yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004. meskipun bukan dalam pengertian lembaga sebagaimana lazim dalam perbincangan sehari-hari. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 menjelaskan fungsi/kegiatan kenegaraan yang dijalankan oleh Ikatan Dokter Indonesia, yang antara lain;
Pasal 8 : Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai wewenang; f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
Pasal 14 (1) : Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuah belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari : a. organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang;
Pasal 26 (3) : Asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berkoordinasi dengan organisasi profesi, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.
Pasal 26 (3) : Kolegium kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.
Pasal 28 (1) : Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 28 (2) : Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 38 (1) : Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus : c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Pasal 60 : Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi.
Pasal 71 : Pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
Fungsi-fungsi kenegaraan diatas membuktikan bahwa Ikatan Dokter Indonesia adalah organ negara dalam arti luas. Andaikan Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 berbunyi “Organisasi profesi adalah Komisi Dokter Indonesia untuk dokter,… dan seterusnya, bukan menggunakan kata Ikatan, barangkali tidak akan menimbulkan multitafsir yang luas menyangkut Ikatan Dokter Indonesia sebagai sebuah organ negara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004.
Lalu, apakah Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945?.
Guna menjawab pertanyaan ini perlu dipahami bahwa salah satu prinsip negara hukum yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah adanya jaminan kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum yang berintikan kepada nilai-niiai kebenaran dan keadilan.
Kemudian, benar bahwa terkait dengan Hak Asasi Manusia termasuk hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dijamin oleh UUD 1945. Namun menafsirkan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tidaklah dapat dilakukan secara mandiri dan terpisah dari ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur dalam UUD 1945 khususnya dan keseluruhan pasal dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia.
Ingin ditegaskan bahwa hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945 harus dipahami satu bagian yang tidak terpisah dengan norma yang terdapat dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi; “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
“Pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang” adalah dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Sehingga, dengan dasar itulah Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, khususnya Pasal 1 angka 12 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Jadi sesungguhnya, pembatasan hanya satu wadah organisasi bagi dokter berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 diperlukan dalam rangka untuk menjaga ketertiban umum dan hak-hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum. Perlu juga dipahami, bahwa dengan adanya satu organisasi dokter otomatis dapat diberlakukan satu standar pelayanan bagi dokter, satu kode etik serta pengembangan kualitas dan pengawasan yang sama atas semua dokter oleh satu organisasi dalam menjalankan praktik kedokteran.
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 sama sekali tidak melarang dokter untuk membentuk organisasi lain. Hanya saja dalam beberapa kewenangan dan urusan tertentu menjadi hak mutlak dari Ikatan Dokter Indonesia. Kewenangan yang dimaksud misalnya adalah hal-hal yang diatur dalam Pasal 1 angka 12, dan angka 13, Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 38 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Lalu, dapatkah dokter berhimpun dalam organisasi lain selain Ikatan Dokter Indonesia?. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan junto Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan adalah dasar hukum bagi dokter untuk menghimpun diri dalam perkumpulan atau organisasi. Dengan kata lain, dokter dapat menjadikan Undang-undang Ormas sebagai dasar untuk membentuk organisasi lain selain Ikatan Dokter Indonesia.
Hanya saja, sekali lagi, kewenangan atau urusan-urusan yang telah ditentukan menjadi urusan dan kewenangan Ikatan Dokter Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tidak dapat menjadi urusan atau kewenangan organisasi atau lembaga lainnya.
Sebagai perbandingan, penting diutarakan 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi sebagai berikut;
1. Putusan MK Nomor 009-014/PUU-III/2005 dalam Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Halaman 126;
“Menimbang bahwa tentang ada atau tidak adanya pertentangan antara UU JN, termasuk Pasal 82 ayat (1), dengan Pasal 22A UUD 1945, telah dipertimbangkan dalam bagian Pengujian Formil tersebut di atas. Sedangkan mengenai ada atau tidaknya pertentangan antara Pasal 82 ayat (1) UU JN dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (6) UUD 1945, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa Pasal 82 ayat (1) UU JN tidak melarang bagi setiap orang yang menjalankan profesi Jabatan Notaris untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Namun dalam hal melaksanakan hak berserikat, mereka harus berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris, karena Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh negara, diberi tugas dan wewenang tertentu oleh negara dalam rangka melayani kepentingan masyarakat, yaitu membuat akta otentik. Tugas dan wewenang yang diberikan oleh negara harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya, karena kekeliruan, lebih-lebih penyalahgunaan, yang dilakukan oleh Notaris dapat menimbulkan akibat terganggunya kepastian hukum, dan kerugian-kerugian lainnya yang tidak perlu terjadi”
2. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 dalam Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Halaman 22;
“Menolak permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3346)”;
Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 berbunyi; “Dengan Undang-undang ini ditetapkan adanya satu Kamar Dagang dan Industri yang merupakan wadah bagi pengusaha Indonesia, baik yang tidak bergabung maupun yang bergabung dalam organisasi pengusaha dan/atau organisasi perusahaan”.
Demikian keterangan ahli ini dibuat dengan penuh rasa tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai keilmuan yang dimiliki. Mudah-mudahan keterangan ahli ini bermanfaat dalam mengungkap kebenaran untuk mencapai keadilan, dan menjauhkan proses peradilan dari ketidakadilan”. Tabik. (Bersambung #41).