Pulang ke Jogja, Bukan karena Anak yang Hebat Tapi Orang Tua yang Luar Biasa
"Saya tumbuh besar di kota ini, dari kecil masih TK sampai kuliah di sini"
TRANSINDONESIA.co | Tidak lama setelah selesai tugas di balai kota, saya mengkhususkan diri pulang ke Jogja, ziarah ke makam Ayah, kami biasa panggil dengan sebutan Abah. Ayah, Drs. Rasyid Baswedan, SU, mengabdi sebagai dosen, pendidik dan pendamping bagi semua mahasiswanya.
Ayah yang meneladankan kombinasi unik dari kesabaran, kerahiman, dan ketegasan. Pemimpin yang mengajarkan anak-anaknya dengan contoh. Mengantarkan kita semua untuk berani, untuk mau mencoba yang baru dan untuk tahan bertarung dengan masalah. Mengajarkan dengan contoh untuk stabil dalam kondisi gelombang yang menggoyang keras.
Ayah menunjukkan bahwa stabil itu bukan sekadar santun. Santun itu ekspresi kasat matanya, tapi stabil itu kematangan dan ketenangan mental. Orang santun belum tentu stabil, tapi orang stabil hampir pasti dia santun.
Bekal itu bukan untuk saya sendiri. Kami 4 bersaudara, 3 laki-laki dan 1 perempuan (wafat usia 7 tahun). Jadi kami tumbuh besar bersama laki-laki semua. Selisih usia 4 dan 7 tahun, lumayan jauh jarak usianya. Semua dibekali dengan berbagai kebiasaannya. Mulai dari kebiasaan untuk rapi, tertib dan tuntas.
Bila kita tengok ke masa itu, mereka mendidik kami hingga saat sampai di bangku SMA di Yogyakarta, kami bertiga terpilih bisa berangkat dari Jogja mengikuti pertukaran pelajar AFS selama setahun. Saya ke Amerika tahun 1987, adik-adik ke Selandia Baru tahun 1991 dan ke Belgia 1996.
Saat itu, satu-satunya orang tua di Indonesia yg tiga anaknya bisa lulus seleksi dan berangkat. Kami bertiga mendapatkan bekal pengalaman yang luar biasa di usia belia. Satu-satunya orang tua yang ketiga anak-anaknya itu dipilih oleh sebayanya menjadi Ketua OSIS di SMA, pada masanya masing-masing. Bukan karena anak yang hebat, tapi orang tua yang luar biasa.
Kami bersyukur Allah SWT takdirkan kami dilahirkan dan dididik oleh orang tua yang luar biasa. Jejak didikan dari Ayah dan Ibu ada dalam setiap langkah yang kami jalani sekarang.
Ayah dikuburkan di pemakaman dlm kampus UII. Ketika Ayah betugas sebagai Pembantu Rektor bidang Keuangan, alm ikut bekerja ekstra untuk mendapatkan lahan dan fund raising utk pembangunan kampus terpadu Universitas Islam Indonesia (UII).
Sy masih di bangku SMA dan menyaksikan dari dekat kerja all out agar UII punya kampus terpadu di lokasi sekarang. Satu hal, beliau cerita tentang mendapatkan lahan di samping pemakaman lama di desa itu, katanya lahan itu biar untuk jadi kompleks pemakaman civitas akademika UII. Lahan yg Ayah bahas itu kemudian jadi makamnya. Ayah adalah salah satu orang pertama yg dikuburkan di sana.
Di perjalanan dari bandara menuju makam di komplek Kampus UII, teringat masa kecil saat diajak jalan-jalan sore menyusur kota Jogja dengan duduk di kursi anak, di depan sepeda onthelnya. Ketika Ayah sdh punya Vespa, saya menikmati perjalanan dengan berdiri di bagian tengah Vespa.
Suasana penuh kenangan itu terasa makin hidup setiap kali kembali ke Jogja, saat berkeliling menjelajahi setiap sudutnya yang romantis dan nostalgis.
Buat Abah, Al-Fatihah…
Anies Baswedan