Rusia Mulai Mobilisasi Pasukan untuk Melawan Ukraina

TRANSINDONESIA.co | Moskow memulai pemanggilan pasukan cadangan yang bersifat wajib hari Kamis (22/9) untuk mencoba meningkatkan kekuatan perangnya di Ukraina, di mana pihak berwenang mengatakan ribuan orang telah mengajukan diri secara sukarela, bahkan ketika warga Rusia laki-laki meninggalkan negara itu untuk menghindari kewajiban berperang.

Rekaman video amatir yang diunggah ke media sosial hari Rabu (21/9) sejak Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan mobilisasi pasukan cadangan itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ratusan warga Rusia di seantero negeri memenuhi panggilan militer negara itu.

Pemanggilan pasukan dilakukan ketika wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki Moskow akan menggelar pemungutan suara dalam beberapa hari ke depan untuk menentukan apakah mereka akan menjadi bagian dari Rusia dalam referendum yang disebut pemerintah Ukraina dan sekutunya sebagai pencaplokan wilayah yang tidak sah.

Moskow mengambil langkah tersebut setelah pasukan Ukraina merebut kembali sebagian besar wilayah Kharkiv timur laut yang dipandang sebagai titik balik dalam perang selama tujuh bulan terakhir yang menemui jalan buntu.

Militer Rusia hari Kamis mengatakan bahwa setidaknya 10.000 orang telah mengajukan diri secara sukarela untuk berperang dalam 24 jam pertama perintah itu dikeluarkan. Namun pada saat yang sama, warga laki-laki di negeri beruang merah itu juga meninggalkan Rusia sebelum dipaksa bergabung.

“Saya tidak mau terjun ke medan perang,” kata seorang pria bernama Dmitri, yang telah melarikan diri ke Armenia dengan membawa sebuah tas kecil, kepada AFP. “Saya tidak mau mati di tengah perang yang tidak masuk akal ini. ini adalah perang saudara.”

“Pemungutan Suara” Pencaplokan Wilayah

Sebagian besar penumpang yang tiba di bandara Armenia setelah turun dari penerbangan terakhir dari Moskow adalah laki-laki usia militer. Banyak di antaranya yang enggan memberikan komentar.

Yerevan telah menjadi destinasi utama warga Rusia yang melarikan diri sejak perang dimulai 24 Februari lalu, yang memicu tentangan keras dunia internasional dan kemudian mencoba mengisolasi Rusia.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada hari Kamis menuntut pertanggungjawaban Putin ketika ia menghadapi Rusia dalam sesi Dewan Keamanan, di mana PBB telah membuat daftar pelanggaran di Ukraina.

“Kami tidak bisa – kami tidak akan – membiarkan Presiden Putin lolos begitu saja,” kata Blinken di hadapan Dewan Keamanan PBB dalam sebuah sesi khusus ketika para pemimpin dunia bertemu di markas PBB di New York.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov – yang enggan ditemui Blinken secara empat mata sejak invasinya ke Ukraina Februari lalu – mengecam tuduhan negara-negara Barat.

“Hari ini muncul upaya untuk memaksakan narasi yang benar-benar berbeda terhadap kami bahwa agresi Rusialah yang menjadi asal mula tragedi ini,” kata Lavrov kepada DK PBB.

Konfrontasi di panggung diplomatik semakin meningkat seiring janji para pejabat yang ditunjuk Rusia di wilayah Ukraina yang diduduki untuk tetap menggelar referendum pencaplokan wilayah pekan ini.

Empat wilayah pendudukan Rusia di Ukraina – Donetsk dan Lugansk di sisi timur serta Kherson dan Zaporizhzhia di sisi selatan – mengumumkan bahwa mereka akan menggelar pemungutan suara itu selama lima hari, dimulai pada Jumat (23/9).

Vladimir Saldo, kepala wilayah Kherson yang ditanam Rusia, yang merupakan salah satu wilayah pertama yang jatuh ke tangan Moskow, mengatakan bahwa referendum itu akan tetap dilakukan di wilayahnya terlepas dari kritik yang muncul.

“Tanggalnya sudah ditentukan. Kami sudah mendapat lampu hijau. Pemungutan suara dimulai besok [Jumat] dan tidak ada yang bisa mencegahnya,” katanya kepada media pemerintah Rusia.

“Orang-orang sudah menantikan ini dan mereka meminta agar pemungutan suara ini segera dilakukan,” tambahnya.

Para pemimpin Barat yang berkumpul di New York pekan ini secara bulat mengutuk referendum itu.

Pada sidang Majelis Umum PBB, Presiden AS Joe Biden menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin telah “tanpa malu-malu” melanggar Piagam PBB dengan sebuah perang yang bertujuan untuk “memusnahkan hak Rusia untuk berdiri sebagai sebuah negara.” [voa]

Share