Mengintip Sejarah Islam di Amerika dari Riwayat Omar Ibn Said, Muslim Afrika yang Dijerumuskan ke dalam Perbudakan

TRANSINDONESIA.co | Sejarah Islam di Amerika dimulai sejak berabad-abad lalu, ketika praktik perbudakan masih sah dilakukan. Namun tak banyak jejak yang bisa ditelusuri untuk memahami bagaimana Islam hidup pada era tersebut. Sosok Omar Ibn Said menjadi jendela untuk mengintip lebih jauh kehidupan Muslim kala itu.

Perbudakan di Amerika dimulai sejak abad ke-16 di bawah kolonialisme bangsa Eropa hingga tahun 1865, setelah terbentuk Amerika Serikat. Selama itu, identitas sekitar 400.000 orang yang diperbudak dicerabut, termasuk agama dan keyakinan mereka. Dari jumlah tersebut, sejarawan memperkirakan seperlimanya menganut Islam.

Sebuah manuskrip berbahasa Arab yang diperoleh Library of Congress AS pada tahun 2017 menjadi bukti penting sejarah Islam di Amerika, yang dimulai sejak era perbudakan. Manuskrip itu ditulis Omar Ibn Said, pria kelahiran tahun 1770 asal Futa Toro, yang kini menjadi bagian dari Senegal. Catatan itu berisi surat, ayat-ayat Al-Quran dan Injil, serta riwayat hidupnya sendiri yang ia tulis pada tahun 1831. Autobiografi itu menjadi satu-satunya riwayat hidup berbahasa Arab yang tersisa di Amerika, yang ditulis oleh seseorang semasa ia diperbudak.

Lanisa Kitchiner, kepala divisi Afrika dan Timur Tengah di Library of Congress, menuturkan, “Dalam manuskripnya yang dibuat dengan luar biasa, ia mengatakan… ‘Saya adalah seseorang yang punya asal-usul. Saya berbahasa. Saya punya sistem kepercayaan. Saya bukan properti. Saya adalah manusia. Kulit kita sama. Rasa kemanusiaan kita sama.’ Itu semua menjadi kekuatan manuskrip ini.”

Dijerumuskan ke dalam Perbudakan

Dalam catatannya, Omar mengaku telah mempelajari Islam selama 25 tahun kepada seorang syekh di tanah kelahirannya. Maka itu tak heran Omar mampu berbahasa Arab, ketika tak satu pun orang kulit putih di Amerika mengerti aksara maupun bahasa itu.

Fakta itu bertolak belakang dengan tujuan perbudakan di mata bangsa Eropa, kata peneliti dan dosen Praktik Studi Asia dan Timur Tengah dan Studi Komparatif Internasional Duke University, Mbaye Lo.

“Salah satu pembenaran filosofis perbudakan dulunya adalah untuk mengedukasi dan membuat orang Afrika beradab,” jelasnya.

Omar dijerumuskan ke dalam perbudakan pada tahun 1807 ketika berusia 37 tahun. Ia menulis, dirinya ditangkap sekelompok besar tentara “yang membunuh banyak orang,” yang kemudian membawanya ke laut lepas sebelum dirinya dijual ke tangan “orang-orang Kristen.” Ia termasuk ke dalam gelombang terakhir orang-orang Afrika yang diperjualbelikan ke Amerika melalui jalur Trans-Atlantik.

Omar tiba di kota Charleston, South Carolina, setelah menempuh perjalanan laut selama 1,5 bulan. Di kota itu, ia dijual kepada seorang “pria kejam” dan “kafir” bernama Johnson untuk bekerja di perkebunan.

Empat tahun berselang, Omar melarikan diri hingga tiba di kota Fayetteville, North Carolina – 350 kilometer dari Charleston.

Suatu malam dalam pelariannya, Omar memasuki sebuah gereja untuk berdoa. Kala itu, tak ada masjid atau bangunan keagamaan lain. Keberadaannya dipergoki salah seorang warga. Omar lantas ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan.

Omar di Mata Bangsa Kulit Putih

Di dalam penjara, Omar memenuhi dinding sel dengan coretan arang. Ia menulis doa-doa, memohon perlindungan Allah, dalam bahasa Arab. Pemandangan itu tak biasa di mata bangsa kulit putih.

Kemampuannya menulis dalam bahasa asing menjadi buah bibir dan memukau salah satu keluarga terkaya di North Carolina saat itu: keluarga Owen. Tak lama setelahnya, Omar dibawa James Owen, kakak dari gubernur North Carolina saat itu, John Owen, ke perkebunannya di Bladen County, North Carolina.

Dalam catatan Omar, di tangan James Owen, dirinya diperlakukan dengan baik. Ia tak dibebani pekerjaan berat, tak pernah dimarahi, apalagi dipukuli. Ia diperkenankan memakai penutup kepala semacam sorban, juga diizinkan membaca Alkitab. Keluarga Owen sendiri diakui Omar sering membacakan ayat-ayat Injil kepadanya.

Sejarawan Gereja First Presbyterian Fayetteville, Bengie Matthew Hair, mengatakan, “Ia memelihara tempramen tertentu dan sebuah keyakinan, entah Islam atau Kristen, di mana dirinya menemukan kesamaan di antara keduanya. Menurut saya, upayanya merangkul Kristen mungkin menjadi sebuah pembelajaran baginya dan menjadi langkah besar ketika ia kemudian setuju untuk dibaptis ke dalam agama Kristen.”

Keberadaan pemeluk Islam di tengah masyarakat kulit putih pemeluk Kristen kala itu bukanlah hal yang awam, terlebih ketika penganutnya adalah mereka yang diperbudak. Tanpa memandang agama yang dianut, mereka diperlakukan sebagai properti tanpa pandang bulu. Yang kerap terjadi, identitas asli mereka diabaikan, diganti dengan identitas baru: nama dan agama mereka diubah menyesuaikan majikan masing-masing.

Dalam kasus Omar, ia dikatakan sering diajak keluarga Owen untuk menghadiri misa di Gereja First Presbyterian Church, Fayetteville. Di kalangan gereja, ia diyakini sebagai seorang ‘pangeran Arab,’ identitas yang ia sendiri tak pernah sebut dalam catatannya.

Omar menulis, “Ketika saya seorang Mohammedan, saya berdoa: ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam’. Tapi sekarang saya berdoa ‘Bapak kami.’”

Meski demikian, sejarawan lain ragu Omar sungguh-sungguh beralih keyakinan. Peneliti dan salah satu direktur Pusat Studi Timur Tengah dan Islam di University of North Carolina Carl Ernst mengatakan, “Kita patut bersikap skeptis terhadap kisah Omar masuk Kristen, meski cerita bahwa dirinya pergi ke gereja setiap minggu amat bisa dipercaya. Ia tentu akan menikmati kegiatan itu, karena ia seorang cendekiawan. Ia paham apa itu kitab suci. Ia tahu apa itu doa.”

Keraguan yang sama dimiliki Adam Beyah, mantan imam Masjid Omar Ibn Said di kota Fayetteville, North Carolina, yang selama lebih dari dua dekade terakhir turut menelusuri jejak Omar.

“Saya tidak begitu percaya Omar pindah keyakinan. Dari semua catatan berbahasa Arab yang Omar tulis, ia mengawalinya dengan basmallah, yang berarti ‘dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.’ Itu membuat saya yakin Omar tetap seorang Muslim,” jelasnya.

Cendekiawan Muslim

Dalam penelitian Carl Ernst dan Mbaye Lo, yang akan dituangkan ke dalam buku berjudul “I Cannot Write My Life”, keduanya menemukan bahwa Omar mengutip lima potongan ayat Alkitab dan 25 potongan ayat Al-Quran. Keduanya juga menemukan bahwa beberapa tulisan Omar mengandung prosa para penyair Sufi dan cendekiawan Muslim dari berabad-abad sebelumnya, yang menandakan keistimewaan Omar sebagai seorang Muslim.

Kembali, Carl Ernst, “Ia mengutip karya-karya itu sebagai pernyataan teologis, sebagai caranya memahami Alkitab, sebagai nasihat dan kritik tajam kepada majikannya. Ia bukan saja mengutip ayat Al-Quran untuk menyinggung kesombongan orang-orang kaya, tetapi juga mengutip penyair Sufi untuk memberitahu mereka bahwa ‘Anda perlu bertobat atas dosa-dosa Anda.’”

Omar menggambarkan kehidupannya sebagai seorang Muslim yang taat dalam autobiografi yang ia tulis. Sebelum diculik ke Amerika, ia senang membaca Al-Quran, salat lima waktu di masjid, bersedekah dan berzakat setiap tahun, hingga menunaikan ibadah haji. Omar mendeskripsikan sebuah peradaban yang maju di wilayah Afrika barat, kampung halamannya.

Lanisa Kitchiner dari Library of Congress menuturkan, “Apa yang dilakukan Omar Ibn Said dengan luar biasa adalah… ia menceritakan hidupnya, yang meminta kita melihatnya sebagai seorang manusia, bukan sebagai budak dagangan.”

Omar wafat pada tahun 1863 ketika masih berstatus sebagai budak James Owen. Ia wafat dua tahun sebelum praktik perbudakan di Amerika dihapuskan.

Pada akhirnya tidak ada yang tahu keyakinan mana yang dianut Omar di sisa hidupnya. Namun goresan tangannya menjadi bukti bahwa identitasnya sebagai Muslim tak akan pernah bisa dirampas dari sejarah hidupnya. [rd/ab]

Sumber: Voaindonesia

Share