Alasan MKI Tolak Amandemen Konstitusi: Batasi Jabatan Presiden 2 Periode sebagai Identitas Konstitusi
TRANSINDONESIA.co | Mencuatnya wacana tiga periode jabatan Presiden, kuat diduga memuluskan kelompok tertentu yang tidak menghendaki kehilangan jabatan, hingga dengan menghalalkan segala cara dan tabrak sana sini pun dilakukan untuk memenuhi syahwat berkuasa.
Dalam praktek ketatanegaraan maupun konvensi, perihal amandemen UUD 1945 dilakukan dengan prosedural formil suatu komisi konstitusi. Amandemen bukan sontak diusulkan sendiri, disiapkan sendiri, segera diputuskan sendiri. Presedennya, amandemen konstitusi hanya dengan prosedur formal-rasional-kajian mendalam dengan “komisi rakyat”, bukan “rapid and self amendment”.
“Jika kehendak amandemen UUD 1945 yang menuju pada 3 periode Presiden –yang dilakukan degan “self amendment” itu, adalah tidak memiliki validitas yuridis-konstitusional, dan konflik kepentingan karena hendak diberlakukan untuk diberlakukan sekarang dan kebutuhan politik praktis elektoral pemilihan Presiden bagi petahana 2 periode,” demikian pendapat Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni, S.H., M.H, kepada Transindonesia.co, di Jakarta, Senin (11/4/2022).
Jika hal itu terjadi lanjut Muhammad Joni, maka terbukti tendensi kuat amandemen terbatas menjadi 3 periode jabatan Presiden adalah untuk mengekalkan hegemoni dan absolutisme kekuasaan –yang nota bene membelakani semangat reformasi konstitusi. “Kalaupun sudah beralasan dan memenuhi syarat dilakukan amandemen menjadi 3 periode Presiden, mulai dan hanya diberlakukan setelah dan untuk pemilihan Presiden yang baru bukan petahana,” kata Advokat senior dari Universitas Sumatera Utara.
Kendatipun kehendak melakukan amandemen menjadi 3 periode kata Joni, Presiden itu secara politik formal diupayakan, namun rakyat perlu mengingatkan bahwa Presiden RI, DPD RI, DPR RI dan MPR RI terpilih, –yang tengah bekerja dalam masa jabatan sekarang dan terikat sumpah jabatan mematuhi dan melaksanakan UUD 1945– tidak memiliki mandat yuridis konstitusional pun hanya menggagas amandemen seinci pun norma konstitusi jabatan Presiden 2 periode. “Justru dengan sumpah jabatan yang mengamanatkan untuk loyal kepada UUD 1945, dengan mematuhi, menjalankan, mengawal dan memagari ‘tanaman’ konstitusi dalam UUD 1945. Jangan sampai pula bagaikan pepatah pagar makan tanaman,” ucap Joni.
Dikatakannya, landasan yuridis konstitusional yang ajeg perihal Norma Konstitusi Presiden (hanya) 2 periode itu –sejak reformasi politik, ketatanegaraan dan konstitusi–sudah berlaku, dihargai, dan bertumbuh menjadi konstitusi yang hidup (living constitution) dari Presiden ke Presiden semenjak orde reformasi. Sebab itu, Presiden, DPD RI, DPR RI, MPR RI, bahkan MK RI, dan lembaga tinggi negara lainnya –yang merupakan hasil dari install reformasi politik, ketatanegaraan dan konstitusi– telah mengangkat sumpah jabatan yang wajib mematuhi, merawat, dan menghidup-hidupkan konstitusi. Bukan mencabik dan uninstall norma konstitusi jabatan Presiden hanya 2 periode yang berlaku, dihormati dan hidup sebagai living constitution.
“Merawat semangat konstitusi yang hidup itu adalah ikhtiar konstitusionalisme (constitutionalism) yang tak lain adalah ikhtiar sistematis melawan dari absolutisme kekuasaan. Konstitusionalisme adalah hasil reformasi konstitusional yang merupakan kehendak rakyat mulai membuat langkah segar (to make a fresh start) demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang dianut dalam UUD 1945,” paparnya.
Sebab itu sambung penggiat hukum ini, aspirasi, kritik, bahkan perlawanan politik rakyat akar rumput, masyarakat sipil, cendekia, mahasiswa, anak SMA dan STM, profesional madani, pun emak-emak pemberani, itu bukan sekadar menjalankan hak konstitusional mengawal kesehatan konstitusi, namun itu wujud tanggungjawab konstitusional yang otentik dan mulia dalam bernegara. Tanggungjawab rakyat itu secara konstitusi bukan hanya memiliki legal standing, namun juga kuat dalam moral standing dan mission standing mengawal konstitusi yang hidup –yang musti dihormati, difasilitasi, dikawal dan dijaga ruhnya, bukan menghadang dan menghambatnya.
“Norma konstitusi jabatan Presiden hanya 2 periode saja –hasil install reformasi konstitusional– adalah dimaknai dalam kerangka sistem penangkal kekuasaan absolut atau absolutisme kekuasaan yang menjadi alasan dan ciri reformasi konstitusi moderen UUD 1945. Sebab itu valid dan relevan jika norma konstitusi Presiden (hanya) 2 periode saja, menjadi Identitas Konstitusi (constitutional identity) UUD 1945 yang tidak dapat diubah yang analog dengan Pembukaan UUD 1945 –sebagai Identitas Konstitusi. Sehingga menjadi norma konstitusi yang berlaku terus tak hingga (infinity norm of constitution) dalam Negara Republik Indonesia,” pungkas Joni.[sfn]