“Hikmah Kisah Menyebrangi Sungai pada Malam Hari”
TRANSINDONESIA.co | Saudaraku, kali ini saya hendak bercerita mengenai pengalaman ketika menghadiri undangan ceramah di Morotai, Maluku Utara. Saat itu ceramah selesainya di sore hari, dan besoknya tidak ada penerbangan. Sehingga malam harinya harus menggunakan perahu kecil uyang ada motornya. Maka diputuskanlah berangkat jam satu malam, karena harus mengejar jam tujuh pagi sampai di suatu tempat.
Ketika menaiki perahu yang sederhana itu bersama beberapa orang, saya mencari pelampung sebagai syaratnya. Ternyata yang ada hanyalah bantalan kursi. Kemudian saya lihat nahkodanya juga tidak memiliki lampu. Tidak punya kompas, dan tidak ada alat komunikasi. Padahal lautnya gelap. Sempat terbayang seandai salah arah, atau perahunya tenggelam dan dimakan hiu.
Tetapi saya tetap berupaya husnudzan. “Mungkin nahkodanya memang pelaut ulung yang bisa melihat dalam kegelapan (maksudnya, mungkin dia berpatokan pada bintang). Ya Allah, tiada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau dalam gelapnya laut ini, dan Engkau Yang Maha Tau apa yang akan terjadi.”
Lelah sendiri juga kalau sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Sehingga walaupun mengantuk, tetap berusaha sebisanya untuk sholat daripada tidur. Karena doa itu syariatnya menjadi jalan berubahnya takdir. Jika ada takdir musibah, maka doa dan musibah saling bertarung mana yang lebih kuat dan akan mengalahkan.
Alhamdulillah, setelah sekian jam sampailah di pelabuhan yang dituju. Saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih pada pelaut yang luar biasa tadi. Perjalanan tenang dan selamat sampai tujuan. Tapi rupanya tenang itu ada beberapa jenis. Satu, tenang karena zikir, dan kuda, tenang karena tidak tahu.
Beberapa waktu kemarin, setelah kembali ke Daarut Tauhiid, teman-teman mengungkapkan bahwa nahkoda itu ternyata baru pertama kali juga melaut dalam kegelapan. Semua yang di perahu sebetulnya juga takut. Kata nahkoda nya, “Saya baru berani kalau yang diantar kiai, Insya Allah selamat.” Rupanya sama-sama husnudzan.
“Ya Allah, Mahabenar dan Mahasuci Engkau yang menyembunyikan ketidaktahuan ini.” Kalau saya mengetahuinya saat itu, bisa bertambah stress. Semakin sibuk berpikir macam-macam. Bagaimana jika ada satu balok kayu yang tidak kelihatan lalu menembus perahu? Bisa langsung karam. Seperti baru terdengar kabar juga kemarin, tentang adanya tamu dari daerah yang sama, yang perahunya tenggelam dan enam orang meninggal.Jadi, ada benarnya juga tidak tahu.
Alhamdulillah, ya Allah. Ketika berada dikegelapan laut, betapa terasa kecilnya diri ini. Begitu jelas jika tidak apa-apanya diri kita. Manusia sangat lemah sekali. Seharusnya jika kita bertemu dengan laut, gunung, bahkan ciptaan Allah lainnya seperti binatang yang berukuran kecil, maka bertafakurlah.
Misalnya, bertafakur lah ketika melihat burung yang bisa terbang. Jangan malah, “Wah itu ada burung, cari senapan angin.” Rendah sekali diri kita kalau begitu. Nikmatilah bagaimana burung itu terbang atau saat dia menukik tajam, yang tidak jarang hingga di permukaan lalu dengan koordinasi otot dan gerakannya yang menakjubkan kembali naik. Mahabenar dan Mahasuci Engkau ya Allah, karena sehebat – hebatnya penerjun payung kalau sudah menukik tajam berarti selesai.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda kebesaran Kami disegenap penjuru, dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah bagi kamu bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. al-Fushilat (41):53)
Jadi, Saudaraku. Memperbanyak tafakur merupakan cara untuk mengenal Al-Haqq, mengenal Allah dan mengenal kebenaran Al-Quran. Kita harus sering-sering bertafakur. Kalau kita tidak meluangkan waktu untuk bertafakur, maka banyak pelajaran yang terlewat kan. Karena disegenap penjuru, termasuk yang ada pada diri kita sendiri, bisa menjadi bahan bertafakur.*
KH. Abdullah Gymnastiar