INDONESIA: Persenyawaan Yang Menyatukan Tujuan
TRANSINDONESIA.co | Oleh Anies Rasyid Baswedan (Tulisan ketiga dari tiga tulisan)
Pelajaran penting dari pembentukan bangsa Indonesia adalah bahwa para pemuda terdidik, pada masa awal abad 20 itu, telah berhasil membentuk jalan sejarah untuk menghadapi ketidakadilan kolonialisme.
Jalan sejarah yang dimaksud adalah kesadaran dan keyakinan bahwa kemerdekaan sejati akan dapat dicapai, ketika yang berbeda asal-usul dan latar belakang, bersedia dan sanggup bersatu dalam tujuan. Bersatu dalam tujuan itulah terobosan yang berdampak hingga kini.
Konsekuensi dari itu terjadilah proses persenyawaan yang menghasilkan entitas baru bernama Indonesia. Ia bukan sekadar sebuah percampuran semua unsur. Persenyawaan berbeda dengan percampuran. Percampuran tidaklah membentuk entitas baru. Persenyawaan justru menghasilkan entitas baru dan bila diuraikan kembali menjadi unsur pembentuknya, entitas baru itu menjadi hilang.
Sebagai ilustrasi: Air adalah hasil persenyawaan antara hidrogen dan oksigen. Air berbeda dengan hidrogen, dan bukan juga oksigen. Tapi dalam air ada oksigen, dan dalam air ada hidrogen. Keduanya tidak hilang dan tetap ada. Namun, mereka berada dalam satu susunan tertentu. Kondisi ini dapat dibuktikan bahwa keduanya masih bisa dipisahkan, dengan reaksi tertentu, kembali menjadi hidrogen dan oksigen. Dan kita harus sadari, jika oksigen dan hidrogen itu terpisahkan, tidak ada lagi air.
Seperti keluarga, ada unsur suami, istri dan anak. Kalau berbicara tentang keluarga, tidak berarti masing-masing keunikan unsurnya hilang. Namun kalau masing-masing hanya melihat unsur pembentuk, melupakan unsur yg terbentuk yaitu keluarga dan lalu melupakan tujuan berkeluarga, maka sebenarnya keluarga itu telah tercerai berai ikatannya meskipun masih tinggal di dalam satu atap rumah yang sama.
Fokus Pada Tujuan
Keluarga disatukan oleh tujuan dan karena persamaan dalam tujuan itulah maka yang berbeda memilih untuk tetap bersatu. Nusantara inipun adalah sebuah persenyawaan besar. Unsur-unsur yang ada di dalamnya bergabung, saling mengisi, baku pengaruh dan membentuk sebuah entitas baru, itulah Indonesia.
Bersatu dalam tujuan, tidak berarti menghilangkan unsur-unsur pembentuknya. Jadi, yang Minang tetap Minang, yang Sunda tetap Sunda, yang Bugis tetap Bugis, tidak ada perubahan. Melalui persenyawaan maka semua unsur itu membentuk unsur baru bernama Indonesia. Dalam indonesia ada Minang, ada Sunda, ada Ambon.
Namun, yang akhir-akhir ini sering terjadi pada saat kita membaca dan membahas Indonesia adalah kita justru fokus dan menonjolkan pada unsur-unsur pembentuknya. Bahkan membesarkan unsur pembentuknya. Padahal kita justru perlu lebih memfokuskan pada unsur baru yang terbentuk yaitu: Indonesia.
Filosofi Bhinneka Tunggal Ika
“Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa”, yang berarti: berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua. Kini kita tuliskan sebagai semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda itu yang menyatu itu.
Kata terpenting dalam kalimat itu adalah “tunggal”. Bahkan ditegaskan dengan kata “ika”, diksi bahasa sansekerta yang dalam bahasa Jawa setara dengan kata iki, iku, ataupun kuwi. Pesan kuncinya adalah menjadi tunggal, menyatu sebagai sebuah persenyawaan.
Karena itu aneh jika kita membaca Indonesia justru dengan hanya menekankan bineka. Mengapa? karena itu sama dengan membahas hasil persenyawaan dengan memfokuskan pada unsur pembentuknya. Apalagi kita sadar bahwa berbagai unsur itu menyatu bukan karena asal-usul tapi bersatu karena kesamaan tujuan.
Kebinekaan tetap bisa dan perlu dirayakan sebagai bentuk syukur kita akan anugerah dari Tuhan. Walau sesungguhnya, jika bicara bineka maka ada banyak sekali bangsa-bangsa lain yang jauh lebih bineka daripada Indonesia. Yang unik dari Indonesa itu bukan binekanya, melainkan persatuannya. Tak banyak bangsa yang punya persenyawaan seperti Indonesia.
Kebinekaan adalah ciptaan Tuhan, karunia Tuhan, sementara persatuan adalah hasil usaha manusia. Salah satu usaha paling awal untuk mensenyawakan semua unsur di Nusantara ini adalah dengan mensepakati sebuah bahasa bersama. Kesepakatan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah membuat semua unsur dengan mudah bersenyawa jadi Indonesia.
Bahasa bersama adalah jembatan menuju persatuan, alat untuk menyatukan jadi unsur baru bernama Indonesia. Inilah bangsa yang berhasil menyepakati satu bahasa bersama dan disepakati sebelum negara terbentuk. Lihat India dengan 2 bahasa resmi dan 22 bahasa lain yang bisa digunakan dalam kegiatan pemerintahan, atau Uni Eropa dengan 24 bahasa resmi.
Adanya satu bahasa persatuan membuat serumit apapun persoalan, bahkan konflik yang dihadapi antar unsur di bangsa ini, tidak perlu penerjemah untuk menjembatani. Semua pakai satu bahasa persatuan. Sebuah terobosan cemerlang.
Tujuan Menjadi Indonesia
Apa yang menjadikan semua unsur-unsur yang ada di bangsa ini memilih untuk menjalani proses persenyawaan ini? Mengapa menyatu menjadi “Tunggal Ika”? Jawabnya sederhana: ada tujuan yang sama, yaitu meraih kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan yang sejati adalah tergulungnya kolonialisme serta hadirnya rasa adil dan makmur.
Semua unsur menginginkan hadirnya rasa keadilan, seperti kesetaraan kesempatan untuk maju, untuk makmur, dan untuk kehidupan yang lebih baik. Itulah tujuan bersatu menjadi Indonesia. Jadi, ketika melihat atau membahas tentang Indonesia maka tujuan inilah yang perlu menjadi fokus.
Di satu sisi, corak warna-warni unsur pembentuk Indonesia hanya indah jika ada persatuan. Di sisi lain, persatuan sulit dibangun dalam ketimpangan atau ketidakadilan. Persatuan akan mudah dibangun dan makin kokoh jika ada kesetaraan kesempatan dan perlakuan, serta jika ada rasa keadilan sosial.
Sebuah pesan bagi semua: merayakan Indonesia bukan hanya ditandai dengan menunjukkan keragaman unsur pembentuknya. Merayakan Indonesia adalah dengan menunjukkan keberhasilan pencapaian tujuan awal mengapa semua unsur memilih untuk bersenyawa “menjadi” Indonesia yaitu hadirnya keadilan sosial dan kemakmuran bersama. ***