Barbados akan Menjadi Republik, Tinggalkan Monarki Inggris

TRANSINDONESIA.com | Barbados akan memutuskan hubungan dengan monarki Inggris. Namun, warisan kolonial di masa lalu yang terkadang brutal, sekaligus dampak pandemi COVID-19 terhadap sektor pariwisata, menimbulkan tantangan besar bagi negara pulau di Karibia sebagai republik terbaru di dunia.

Terkenal karena pantai dan olahraga kriketnya, pekan ini Barbados akan mengganti kepala negaranya, Ratu Elizabeth II, dengan wakilnya saat ini, Gubernur Jenderal Sandra Mason.

Upacara Senin (29/11) malam hingga Selasa akan mencakup parade militer dan berbagai perayaan saat Mason dilantik sebagai presiden, dengan disaksikan Pangeran Charles – pewaris takhta Inggris.

Era yang baru telah memicu perdebatan di tengah masyarakat Barbados yang berjumlah 285.000 jiwa terkait pengaruh Inggris selama berabad-abad, termasuk perbudakan selama lebih dari 200 tahun hingga tahun 1834, hingga kemudian Barbados merdeka tahun 1966.

“Sebagai gadis kecil, ketika saya mendengar soal ratu, saya akan sangat senang,” kata Sharon Bellamy-Thompson (50), pedagang ikan di Ibu Kota Barbados, Bridgetown, yang mengenang masa kecilnya saat menyaksikan kunjungan keluarga kerajaan.

“Seiring bertambahnya usia, saya mulai bertanya-tanya apa arti ratu ini bagi saya dan bangsa saya. Sungguh tidak masuk akal,” ujarnya. “Memiliki presiden perempuan asli Barbados akan luar biasa.”

Penjajahan dan Perbudakan

Bagi aktivis muda seperti Firhaana Bulbulia, pendiri Asosiasi Muslim Barbados, penjajahan dan perbudakan Inggris ada di balik kesenjangan modern di pulau itu.

“Ketimpangan kekayaan, kemampuan untuk memiliki tanah, dan bahkan akses pinjaman bank, semuanya berkaitan dengan struktur yang dibangun di bawah kekuasaan Inggris,” ungkap Bulbulia (26) kepada AFP.

“Rantai (perbudakan) yang sesungguhnya sudah putus dan kita tidak lagi mengenakannya, akan tetapi rantai itu secara mental itu terus ada dalam pola pikir kami.”

Oktober lalu, Barbados memilih Mason sebagai presiden pertamanya, setahun setelah Perdana Menteri Mia Mottley mendeklarasikan negara itu akan “sepenuhnya” meninggalkan masa lalu kolonialnya.

Namun beberapa warga Barbados berpendapat ada masalah-masalah nasional yang lebih mendesak, termasuk gejolak ekonomi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, yang telah mengekspos ketergantungan negara itu secara berlebihan terhadap sektor pariwisata – yang ironisnya, bergantung pada pengunjung asal Inggris.

Ketenangan nan suram di kota Bridgetown yang biasanya ramai, sepinya wisatawan di situs-situs wisata populer hingga kehidupan malam yang mati suri menunjukkan kesulitan yang dihadapi Barbados setelah menjalani kemakmuran selama bertahun-tahun.

Tingkat pengangguran hampir menyentuh 16 persen, naik dari sembilan persen beberapa tahun terakhir, meski pinjaman pemerintah meningkat tajam untuk mendanai proyek-proyek kepentingan publik dan membuka lapangan pekerjaan.

Negara itu baru saja melonggarkan jam malam COVID yang sudah berlangsung lama, menggesernya dari pukul 21.00 menjadi tengah malam.

Pemimpin oposisi Uskup Joseph Atherley mengatakan, perayaan pada pekan ini sebagian besar tidak akan dapat dinikmati masyarakat biasa.

“Saya tidak merasa kita memberikan penghargaan dan layanan yang adil dengan menyelenggarakan ini, sementara orang-orang diminta duduk di rumah masing-masing dan menyaksikannya dari layar kaca,” kata Atherley.

“Kasus COVID naik, tingkat stress dan ketakutan juga naik – saya hanya merasa ini bukan waktu yang tepat.”

‘Berdikari’

Beberapa kritik menyoroti Mottley yang mengundang Pangeran Charles sebagai tamu kehormatan dan menganugerahinya gelar Order of Freedom dari Barbados, penghargaan nasional tertinggi.

“Keluarga kerajaan Inggris adalah sumber eksploitasi di wilayah ini dan, sampai sekarang, mereka belum menawarkan permohonan maaf resmi atau perbaikan apa pun atas kerugian yang timbul di masa lalu,” kata Kristina Hinds, dosen hubungan internasional Universitas West Indies di Barbados.

“Saya tidak mengerti bagaimana mungkin seseorang dari keluarga tersebut diberi penghargaan ini. Tidak masuk akal.”

Didukung gerakan Black Lives Matter di seluruh dunia, aktivis lokal tahun lalu berhasil mengadvokasi pencabutan patung Laksamana Inggris Lord Horatio Nelson yang berdiri di Lapangan Pahlawan Nasional selama dua abad.

Akhir pemerintahan ratu dipandang beberapa pihak sebagai langkah yang diperlukan demi realisasi reparasi keuangan untuk mengganti rugi konsekuensi sejarah terkait penggunaan para budak yang dibawa dari Afrika untuk bekerja di perkebunan gula.

Bagi banyak warga Barbados, mengganti Ratu Inggris dari jabatan pemimpin negara adalah langkah yang sudah lama dinantikan.

“Menurut saya mengubah negara kita menjadi republik adalah hal yang bagus, karena kita sudah 55 tahun merdeka sekarang dan sudah waktunya kita berdiri di atas kaki sendiri,” kata Derry Bailey (33) pemilik toko penyewaan kursi pantai dan peralatan olahraga air.

“Saya berharap segala sesuatunya akan lebih baik di bawah sistem yang sekarang. Tidak masuk akal ketika kita sudah merdeka tetapi tetap bertanggung jawab kepada kerajaan. Maka itu saya percaya menjadi sebuah republic adalah langkah yang tepat.” [rd/ah]

Sumber: Voaindonesia

Share