Kepala Biro Al-Jazeera Ditahan Pasukan Sudan
TRANSINDONESIA.co | Jaringan berita satelit asal Qatar, Al-Jazeera, mengatakan pada Minggu (14/11) bahwa kepala bironya di Sudan ditahan pasukan keamanan, sehari setelah unjuk rasa massal di seluruh negeri terhadap kudeta militer bulan lalu.
Jaringan itu mengungkapkan melalui Twitter, pasukan Sudan menggerebek rumah sang kepala biro, El Musalmi El Kabbashi, dan menahannya.
Perkembangan itu terjadi setelah pasukan keamanan menembakkan peluru tajam dan gas air mata pada Sabtu (13/11) untuk membubarkan pengunjuk rasa yang mengecam pengetatan cengkeraman pihak militer terhadap negara itu.
Komite Dokter Sudan menyatakan, seorang pengunjuk rasa berusia 15 tahun tewas akibat luka tembakan pada perut dan pahanya hari Minggu (14/11) – menambah jumlah korban jiwa menjadi enam orang.
Dalam pernyataan selanjutnya, Al-Jazeera menyatakan El Kabbashi ditangkap di rumahnya di Khartoum, ibu kota Sudan. Media itu mengatakan bahwa militer Sudan bertanggung jawab atas keselamatannya.
“Al-Jazeera mengutuk keras tindakan tercela pihak militer dan menyerukan kepada pihak berwenang untuk segera membebaskan El Kabbashi dan membiarkan wartawannya bekerja tanpa hambatan, bebas menjalankan profesi mereka tanpa rasa takut atau intimidasi,” ungkap Al-Jazeera.
Pejabat Sudan tidak segera dapat dihubungi untuk dimintai tanggapan
Ribuan pengunjuk rasa pro-demokrasi turun ke jalan di seantero Sudan pada hari Sabtu (13/11) untuk menentang kudeta militer bulan lalu. Pengambilalihan kekuasaan itu menuai kritik dunia internasional dan unjuk rasa besar-besaran di jalanan ibu kota Khartoum dan daerah lain di negara itu.
Para pengunjuk rasa yang terbunuh hari Sabtu (13/11) berada di Khartoum dan kota kembarnya, Omdurman. Korban termasuk empat orang yang tewas akibat tembakan dan satu orang yang tewas akibat terkena tabung gas air mata. Remaja 15 tahun yang tewas akibat luka yang dideritanya hari Minggu (14/11) menambah jumlah korban tewas menjadi enam orang, kata Komite Dokter Sudan. Beberapa pengunjuk rasa lain terluka, di antarnya akibat terkena tembakan.
Kejadian tersebut membawa jumlah total korban tewas sejak kudeta militer 26 Oktober lalu menjadi 21 pengunjuk rasa, menurut organisasi tersebut.
Unjuk rasa hari Sabtu (13/11), yang disebut sebagai gerakan pro-demokrasi, berlangsung dua hari setelah pemimpin kudeta Jenderal Abdel-Fattah Burhan menunjuk kembali dirinya sebagai kepala Dewan Berdaulat, badan pemerintahan sementara Sudan. Hal itu memicu amarah aliansi pro-demokrasi dan membuat frustrasi Amerika Serikat dan negara-negara lain yang telah mendesak para jenderal untuk membatalkan kudeta mereka.
Badan yang baru dilantik itu menggelar pertemuan pertama mereka, diketuai Jenderal Burhan, pada Minggu (14/11) di Khartoum, menurut keterangan dewan itu di laman Facebooknya.
Gerakan pro-demokrasi mengutuk “penggunaan kekuatan yang berlebihan” terhadap para pengunjuk rasa hari Sabtu (13/11). Pasukan untuk Deklarasi Kemerdekaan dan Perubahan mengatakan perjuangan mereka untuk mendirikan pemerintahan sipil yang seutuhnya “tidak akan berhenti” dan menyerukan digelarnya demonstrasi massal pada Rabu (17/11).
Militer Sudan merebut kekuasaan negara itu pada 25 Oktober 2021, membubarkan pemerintahan transisi dan menangkap puluhan pejabat dan politikus. Pengambilalihan itu menjungkirbalikkan transisi terencana namun rapuh untuk menuju pemerintahan yang demokratis, lebih dari dua tahun setelah pemberontakan rakyat memaksa penggulingan diktator Omar al-Bashir yang telah lama menjabat dan pemerintahannya yang Islamis. [rd/jm]
Sumber: AFP/VOA