Keteraturan Sosial Dunia Virtual
TRANSINDONESIA.CO | Di era digital dunia virtual semakin marak bahkan dapat menghambat merusak hingga mematikan produktivitas. Pembunuhan karakter hingga mengganggu hidup kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan.
Berita hoax pembodohan penyesatan pun secara virtual banyak menjadi pilihan. Memang ada yang marah merasa dikungkung atau dibungkam atau banyak hal yang menuntut kebebasan sebebas bebasnya. Hujat menghujat dengan kalimat tidak sepatutnya pun seakan menjadi pameran ketololan dan sikap pengecut. Netizen +62 dilabel paling buruk tatakramanya. Entah itu refleksi budaya atau oknum yang tak lagi bisa menghargai orang lain. Sikap budaya bangsa yang adiluhung seakan luntur akibat evoria dunia maya. Tatkala diminta pertanggungjawaban kembali air mata maaf bahkan sikap minta dikasihani memelas yg ditampilkan. Ujaran kebencian menghakimi luar biasa memalukan kata katanya. Seakan memang otak dan hatinya lupa segala edukasinya.
Kritik disamakan dengan hujatan. Tabiat buruk seakan menjadi moralitas. Provokasi pembodohan menjadi sesuatu yang membanggakan. Kalau menampilkan hujatan seakan juara jagoan dan merasa pahlawan. Menyedihkan.
Dalam kehidupan sosial di era digital maka keteraturan sosial di dunia virtual memang diperlukan tatanan dan pertanggungjawaban. Mau tidak mau tatkala segala sesuatu yang berdampak pada konflik dan berbagai hal yang kontra produktif menjadi tanggung jawab kita semua mengatasinya. Konteks demokrasi menjadi acuan bebas bertanggungjawab, jaminan perlindungan HAM, supremasi hukum, transparan dan akuntabilitas orientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Menjaga kedaulatan bangsa dengan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi landasan ketahanan dan daya tangkal bahkan daya saing. Kritis atas penyimpangan atau ketidakbenaran merupakan suatu kecerdasan keberanian bahkan juga wujud tanggung jawab moral. Keras dalam prinsip dan penyampaian secara elegan akan mengundang simpatik dan solidaritas.
Kekerasan simbolik ujaran kebencian pembodohan hingga pengadilan sosial bukan sesuatu yang spontan melainkan by design. Era post truth antara fakta dan kebohongan diolah sedemikian lupa pembenaran seolah menjadi kebenaran. Dan dilakukan orang orang cerdik pandai yang terus menerus diviralkan hingga seolah menjadi kebenaran. Bumbu bumbu hoax dengan primordialisme menjadi penyedap. Keteraturan sosial dalam dunia virtual belum sepenuhnya dianggap sebagai sesuatu yang kontra produktif.
Namun sebenarnya tanpa sadar taburan taburannya sudah dapat merasuki bahkan mencandui pikiran hingga emosi publik. Dunia virtual jembatan harapan dalam era digital. Hal yang positif tentu banyak sekali dan mendukung pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang mampu menembus sekat ruang dan waktu. Namun hal hal yang kontra produktif dan menjadi potensi rusaknya karakter bahkan kedaulatan bangsa apakah dimaklumi dan dianggap biasa biasa saja?*
Dalam Kegelapan Menjelang Malam
240721
Chryshnanda Dwilaksana