Sebetulnya, Kesulitan itu Lebih Aman

TRANSINDONESIA.CO | Sangat wajar apabila orang bergembira dengan jabatan tinggi yang didudukinya, uang banyak yang dikantonginya, atau aneka kesuksesan hidup yang mengirinya. Namun, berhati-hatilah saudaraku apabila kita tengah memiliki itu semua. Sebab, yang namanya kesenangan itu lebih berbahaya daripada kesulitan.

Mengapa? Di dalam kesenangan, nafsu biasanya akan lebih bebas beraksi. Saat memiliki banyak uang misalnya, kita lebih leluasa untuk membeli apa saja yang kita inginkan. Sesuatu yang tidak penting dan tidak bermanfaat pun dibeli itu tidak bermanfaat ketika sedang kesulitan uang atau saat melihat ikhlas jual-beli barang bekas.

Begitu pula dengan gelas, jabatan, atau kedudukan, dia bisa menjadi ujian yang melenakan. Saat sedang menjabat kita merasa pentig dan mulia sehingga bisa dengan seenaknya memerintah dan memarahi orang lain. Nafsu kita merajalela disana. Namun, ketika jabatan itu lepas, nafsu kita akan diam tidak berkutik. Andaipun setelah tidak menjabat kita masih suka mengatur dan merasa penting, kita harus segera sadar. “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh-kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (Q.S Al-Ma’arij 70 : 19-21). Ayat-ayat berikutnya mengungkapkan pengecualian bagi orang-orang yang setia melaksana kan salat, bersedekah, meyakini adanya Hari Pembalasan dan azab Allah, menepati janji, dan selalu berbuat baik.

Manusia diciptakan suka mengeluh. Namun, dalam menghadapi sebuah kesulitan, kita bisa curhat dan memohon pertolongan Allah, misalnya ketika shalat. Kita yakin sepenuh hati bahwa hanya Allah Ta’ala yang dapat menolong karena Dialah yang menciptakan dan mengerakkan semuanya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi tanpa izin-Nya.

Kesulitan lebih mudah dijadikan jalan bertobat dan mendekatkan diri kepada-Nya daripada kesenangan. Bagaimana tidak, dalam kesenangan nafsu pun ikut menggelora. Ketika memperoleh pangkat dan jabatan atau harta, kita cenderung pelit dan lupa kepada Zat yang Maha Pemberi, apalagi terhadap sesama makhluk-Nya yang semestinya kita berbagi. Kita akan beranggapan kalau semua itu merupakan hasil kerja keras sendiri.

Kita perlu meragukan ucapan diri sendiri. Misalnya saat kita berucap, “Saya akan bersedekah tetapi nanti kalau saya sudah memperoleh untung lebih banyak.” Apabila kemudian mendapat lebih, nafsu akan tetap merasa kurang. “Tidak, Bahkan. Kamu mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan akhirat).” (Q.S Al-Qiyamah 75:20-21). Dalam kesenangan kita mudah lupa dan bernafsu pada hal-hal duniawi daripada kehidupan akhirat yang lebih penting.

Jadi, apalah artinya kesulitan di dunia, apabila dia bisa membuat kita bertobat dan mulia disisi Allah. Ada banyak orang yang hidup bersama kesenangan akan tetapi dibiarkan leluasa berbuat maksiat dan dosa. Naudzubillah. Menurut saya, lebih baik keadaan sulit yang mengantarkan kita pada tobat dibandingkan kesenangan yang membuat semakin jauh dari-Nya.

Hal ini tentu saja bukan berarti anjuran untuk mencari-cari kesulitan maupun kesulitan untuk sekedar pencitraan. Kesulitan yang dimaksud adalah episode-episode kehidupan yang ditakdirkan Allah yang harus kita terima sambil bertobat kepada-Nya. Yakinkan diri bahwa “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Q.S Asy-Syarh 94:5-6)

Mari kita tetap berikhtiar dan berharap hanya kepada Allah Ta’ala.*

KH. Abdullah Gymnastiar

sumber : Buku Ikhtiar Meraih Ridha Allah

 

Share