Nashar Martir Seni Lukis, Menulis dan Melukis Belajar dari Alam Sambil Mempertaruhkan Diri
TRANSINDONESIA.CO – Suatu malam saya mendapat foto copy tentang pameran tunggal Nashar di Balai Budaya Jakarta yang dibuka ibu Tuti Nurhadi, 3 Maret 1995. Buku itu diantar sendiri oleh Gogor Purwoko seorang pelukis anggota Peruja. Kami bincang-bincang, ngobrol ngalor ngidul tentang seni apa saja juga tentang Nashar. Singkat kata setelah mas Gogor pamit, saya mandi kemudian mapan tidur badan rasanya capai. Foto copy itu saya bawa ke kamar dan memang belum saya baca lengkap. Baru sekilas saja.
Pagi harinya, saya membaca awal surat kepada kawan yang tak kukenal, yang ditulis Nashar tahun 1981. Di paragraf awal saya tersentak seakan diingatkan Nashar sendiri bahwa melukis, menulis yang ia lakukan terus menerus adalah karena batinnya bukan sekedar pikiran dan perasaan. Kembali saya termenung sebegitu dalam Nashar mencintai dan bangga dalam berkesenian. Ia bener bener nggetih (rela berkorban dan bahkan mengorbankan dirinya). Mungkin bagi orang kebanyakan aneh karena apa yang ia lakukan memang tidak mudah dipahami. Namun dari tulisan tulisannya maka sebenarnya kita dapat melihat betapa besar gejolak jiwanya untuk melukis melukis dan melukis.
Nashar ingin berbicara apa saja kepada semua orang, di situlah ia melukis dan menulis apa saja yang ingin ia sampaikan. Tidak tergantung kata orang atau lingkungannya. Nashar mengajak berdialog kepada publik seperti ia berbicara kepada dirinya. Ia pun tidak sakit hati atau marah terhadap respon orang orang yang berdiri bulu romanya bahkan muak.
Nashar berkata: “aku tak mengapa”. Nashar percaya diantara sekian banyak orang yang memandang lukisannya atau membaca tulisannya pasti ada yang sefrekwensi dengannya. Nyambung dan bisa memahami apa yang menjadi isi jiwanya. Dari pengantar Prof Dr Tuti Nuhadi pun dikatakan bahwa: Nashar alergi dengan analisa dan kembali ia pada hal yang sederhana yang pasti jauh dari kata canggih.
Satu lagi kalimat Prof Tuti yang mengatakan: “Nashar terus belajar dari alam sambil mempertaruhkan diri”. Ini kalimat yang jleb dan menghentakkan kita semua yang seringkali mengaku idealis, patriotik, membela ini itu apakah sudah seimbang dan benar seperti yang dikatakan. Luar biasanya Nashar, ia melakukan apa yang ia pikirkan, katakan, tuliskan dan lukiskan. Mungkin Nashar tersentak pertanyaan Chairil Anwar berkaitan pendalam atas jiwa penderitaan.
Apapun orang bilang Nashar tetaplah Nashar. Ia menemukan jatidirinya dan berani mempertaruhkan dirinya. Prof Tuti Nurhadi mengatakan juga: “Nashar seakan simbol penderitaan dari badannya yang kurus kering terbongkok”.
Dikatakannya juga lebih ekstrim: “Nashar itu martir. Memahami hal tersebut terbesit ada hidup yang tragis. Dari penderitaan itu ada kebijaksanaan dan menimbulkan suatu penghormatan”.
Nashar yang guru mengajarkan dengan semangat kesanggaran model nyantrik atau magang. Menurutnya cara ini akan menanamkan dan menumbuhkembangkan jiwa seniman, bukan jiwa sarjana seni. Tulisan-tulisan Nashar menjadi suatu keabadian hingga memerlukan adanya pengkajian penulisan ulang sehingga menjadi bagian dari literasi seni budaya bangsa Indonesia maupun dunia. Nashar telah memberikan keteladanan sebagai seniman atau pelukis sejati. Yang gigih tak tergoyahkan karena ia pembelajar dan mau bergaul dengan siapa saja. Itulah caranya belajar dari alam untuk menemukan kejujuran dalam mengisi batinnya.
Batin yang sehat kuat akan melahirkan karya-karya yang menembus sekat bakat. Karena batin inilah jiwa yang memang akan menjadi kekuatan Nashar dalam menjalani kesenimanannya bahkan ia pasrahkan hidupnya sekaligus bagi melukis. Melihat kehidupan nashar menjadi teringat puisi karya Chairil Anwar sahabatnya yang berjudul aku.
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Apa isi puisi chairil anwar bisa saja menginspirasi Nashar mengimplementasikan dalam mendaraskan kidung jiwanya.**
Jakarta 16 Januari 2021
Penulis: Chrysnanda Dwilaksana adalah Penggiat Seni Budaya Tanah Air dan Creator Kampoeng Semar