Nashar : Kidung Jiwa Sang Maestro
TRANSINDONESIA.CO – Nashar dianggap tidak berbakat melukis oleh sudjojono, berkali kali ditolak. Kegigihannya menunjukkan buahnya. Nashar gila melukis siang malam ia melukis. Karya karyanya memang tidak lazim seperti pelukis pelukis lainnya.
Spirit berkaryanya sangat luar biasa ia sampai sampai menuliskan bahwa: “Memasrahkan hidupnya untuk melukis”.
Karya Nasar sangat sunyi dari pujian atau kritikan dan para kurator seperti yang di tulis Hardi mungkin sebagai pengantar pamerannya atau tulisan dalam katalog. Selain sunyi kritikan para kurator juga sepi pengunjung. Nashar tahu pasti, namun ia tidak gentar dan tidak lekang dimakan popularitas pasar atau popularitas semu. Ia merasakan pahit getir hidupnya boleh dibilang hidup menggelandang. Nashar seakan tidak peduli kepada hidup dan kehidupannya bahkan dirinya.
Nashar dalam berkarya berani mengungkapkan konsepnya dalam kredo yang terkenal 3 non: non estetik, non konsep dan non teknik. Namun sebenarnya dalam karya Nashar yang dibiarkan mengalir sesuai dengan passionnya justru menjungkir balikkan ke 3 non tadi. Karya Nashar mampu menampilkan jiwa nampak atau taksu atau ada grengnya. Tidak sembarangan ia melukis. Karya karyanya begitu sarat interpretasi dari berbagai belahan dan sudut pandang dapat diberikan.
Karya karya Nashar merupakan suatu kidung jiwa. Mungkin saja ia sedang menyanyikan kidung akan pikiran perasaan dan jiwanya dalam wujud alunan garis dan bentuk bentuk yang tidak semua mudah dipahami. Banyak yang sebatas memahami bentuk warna teknik namun kedalaman akan jiwa karyanya justru terabaikan. Apa yang dialami Nashar bisa saja tergolong tragis walau tidak seperti Vincent Van Gogh. Namun keterbatasan akan kehidupan sosialnya boleh dikatakan pada lini di bawah normal atau bahkan minus.
Nashar dalam kidung jiwanya mengalirkan apa yang ia rasa dalam kanvas. Ia tidak peduli akan jadi seperti apa atau berbentuk apa. Bisa saja apa yang diungkapkan sebenarnya tanda teriakkan atau senyum dari kidung jiwanya. Di dalam karya yang abstrak sebenarnya ditemukan hakekat dari jiwa sang senimannya. Karya Nashar memang nampak datar namun sentuhan dialog antara jiwa dan inderanya klop saling bertemu saling kait mengkait.
Mengabstraksikan sebenarnya mampu menunjukkan hakekat hubungan antara teknis estetis dan konsepnya yang merupakan prinsip prinsip mendasar dan berlaku umum. Tidak semua mau dan berminat mendalami memikirkan dan mengembangkannya.
Nashar sebagai Maestro batasannya apa? Memang absurd namun setidaknya dapat ditunjukkan bahwa seorang maestro di dalam berkarya antara lain:
1. Menemukan jati dirinya dalam karyanya
2. Memiliki komitment dan konsisten serta ahli
3. Tekun dan bangga menjalani profesinya dengan landasan kesadaran tanpa pamrih
4. Lepas dari belenggu keduniawian walaupun dirinya harus menanggung dampaknya.
5. Berkarya adalah memenuhi panggilan jiwa
6. Karyanya menunjukkan refleksi jiwanya
7. Terbebas atau mampu memutus rantai belenggu konseptual teknis dan estetis.
8. Menyandarkan hidup dan kehidupannya bagi terus berkesinambungannya berkarya kapan sja, di mana saja bahkan dalam keadaan apa saja.
Masih banyak lagi point untuk menjabarkan tentang maestro namun setidaknya 8 hal tersebut dapat menjadi kerangka acuan atau dasar menjabarkan konsep maestro. Nashar sudah melampaui 8 point dasar tersebut. Ia benar-benar menunjukkan totalitasnya dalam berkarya. Siang malam ia berkarya. Saking totalnya dalam memenuhi panggilan hidupnya banyak label negatif harus disandangnya, seperti keras, malas, semaunya sendiri, dsb.
Nashar tidak sekedar melukis melainkan melantunkan kidung jiwanya. Walaupun dalam sunyi sepi sendiri ia terus berkarya. Hidupnya boleh dikatakan menggelandang. Keterbatasan kondisi sosial dan kondisi kemiskinannya bukan menjadi seumbar bagi kesenangannya berkarya. Nashar tak hanya melukis namun ia juga menulis. Dalam karyanya surat surat malam dan Nashar untuk Nashar merupakan tonggak bagi jiwa sang maestro yang menjadi keabadian. Nashar seakan terlupakan atau sebatas lips service saja dalam mengapresiasi. Karya Nashar memang bisa dikatakan menyebar entah ke mana rimbanya. Ketidak pahaman akan karya seni sang maestro bagi pemegang kuasa dan kekuasaan berdampak pada political willnya.
Dapat dipastikan seni budaya yang menjadi ikon peradaban akan kering gersang tandus. Hidup tidak mampu matipun belum diijinkan. Kidung kidung jiwa Nashar membuat kita rindu padanya. Literasi seni budaya merupakan pilar bahkan wadah sebagai ruang apresiasi dan interpretasi. Kaitan dengan karya karya Nashar maka apresiasi dan interpretasi kidung jiwanya sunyi sepi dan sendiri dpt terus ada hidup tumbuh dan berkembang. Semoga!
Penulis: Chryshnanda Dwilkasana – Pemerhati Seni Budaya